x

Iklan

Alifia Maharani

Pelajar SMA dan Penulis.
Bergabung Sejak: 22 November 2021

Selasa, 23 November 2021 05:48 WIB

Desa Ai Tam.

Petualangan sekumpulan pembuat film dokumenter yang tidak sengaja tersesat di sebuah pedesaan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

    "Vanya! Kamu sudah ditunggu teman-temanmu, lho!" seru bunda kepadaku pagi itu. Astaga! Bagaimana aku bisa lupa dengan adanya rencana pergi ke suatu desa dengan teman-temanku.

    Dengan wajah mengantuk, aku berjalan menuju kamar mandi dan membasahi tubuhku dengan air mandi yang hangat. Setelah itu, aku memakai sweater merah mudaku dan mencepol rambut hitamku. Lalu aku berjalan ke meja makan untuk mengambil beberapa potong roti dari meja makan. Sementara bunda dan adikku tampak hanya menggelengkan kepala melihat tingkahku.

    "Kamu gak makan dulu di sini?" tanya bunda khawatir seraya memperhatikan kelakuanku.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

    "Gak usah, Bun. Udah ditunggu Marra dan teman-teman, Vanya pergi dulu ya bun!" aku langsung melenggang pergi menuju van putih yang dikendarai Marra, pacarku. Lalu tak lama kemudian, Van putih itu melaju meninggalkan rumah bunda menuju sebuah desa.

    Ah, iya sedikit bercerita. Aku dan kawan-kawanku akan melakukan perjalanan ke sebuah desa bernama Desa Ai Tam atau Desa Air Hitam. Di sana, kami akan memulai sebuah film dokumenter untuk tugas perfilman kami.

    Sepanjang perjalanan, aku dan kawan-kawanku tampak bernyanyi-nyanyi dan bergembira menyambut perjalanan. Aku dan Yuri, sahabatku, tampak menyanyikan lagu-lagu terkenal. Begitu pula Marra dan Gibran yang ikut bernyanyi. Pendek kata, kami terlalu sibuk dengan perjalanan kami hingga tidak tahu apa yang terjadi kemudian.

    Sekonyong-konyong, sebuah panah meluncur dan memecahkan kaca mobil Marra. Kami tentu saja kaget dan berteriak. Terutama saat kami mengetahui bahwa mobil Marra kempes bannya sehingga membuat Marra tak dapat menguasai mobilnya dengan baik. Kecelakaan sudah pasti tak terhindarkan bila ini semua sudah terjadi.

    Tak lama kemudian, mobil tersebut melaju dengan kecepatan yang terlalu tinggi hingga menabrak sesuatu yang membuat kami seketika terpental. Aku sendiri akhirnya merasakan sekeliling ku mendadak gelap setelah kepalaku membentur aspal.

    Hingga tak lama kemudian aku merasa berada di suatu tempat. Begitu aku terbangun, aku terkejut begitu mendapati seorang perempuan tua beserta perempuan-perempuan lainnya yang mengelilingiku. Tampak pula seorang gadis muda yang umurnya sebaya denganku.

    "Syukurlah kamu sudah bangun, kami menemukanmu di semak-semak dalam keadaan tak berdaya," ucap perempuan tua tersebut.

   "Dimana saya?" tanyaku panik sambil melihat sekelilingku.

   "Kamu berada di Desa Ai Tam, nak. Teman-teman kamu juga sudah kami selamatkan dan sekarang sedang beristirahat di kamar," tutur wanita itu lagi sambil menunjukkan gigi-giginya yang tajam hingga membuatku terlonjak kaget.

    Aku segera berjalan ke kamar dan mendapati teman-temanku di sana. Dalam hati aku bernapas lega karena awalnya aku takut mereka dicelakakan oleh orang-orang aneh itu. Malam itu juga, kami berdiskusi apa yang akan kami lakukan besok, yaitu memulai proses pengambilan gambar sambil berbaur dengan masyarakat desa.

   Keesokan harinya, kami meminta izin kepada perempuan tua yang waktu itu menolong kami. Karena aku yang pernah mengobrol dengan beliau, maka akulah yang ditunjuk sebagai yang meminta izin untuk pengambilan gambar.

    "Bu, kami izin ingin melakukan pengambilan gambar di desa ini. Kira-kira boleh, tidak?" tanyaku takut-takut. Rupanya hari itu kami beruntung karena perempuan yang kami tanyakan adalah istri tetua desa yang di mana setiap izin atau apapun selalu dikembalikan ke beliau. Setelah meminta izin kepadanya, beliau mengizinkan dengan syarat kami tidak boleh melakukan pantangan yang sebenarnya kami pahami. Seperti berkata kasar, bersikap sombong, dan lain sebagainya.

    Proses pengambilan gambar dimulai. Aku dan Yuri berperan sebagai pembawa acara, sementara Marra dan Gibran berperan sebagai juru kamera. Kami ditemani tetua desa mulai menelusuri berbagai tempat di desa tersebut. Mulai dari pedepokan, rumah-rumah warga, hingga sungai yang dianggap mistis oleh warga desa yang bernama Sungai Kyai Tojo. Cukup menarik sekali karena ini pertama kalinya aku mendengar sungai dengan nama orang.

    Tetua desa bercerita juga tentang asal muasal nama desa tersebut. Menurut cerita, dulu pendiri desa itu bernama Kyai Tojo yang dikenal akan kesaktiannya. Saking saktinya, Kyai Tojo sampai ditakuti oleh bala tentara Belanda dan Jepang pada masa penjajahan karena menangkap beliau sangatlah sulit. Saking sulitnya sampai para tentara itu malah tewas di tengah hutan. Hingga kesaktian Kyai Tojo diketahui dari putranya yang berkhianat lantaran harta warisan. Putranya yang jahat itu membocorkan rahasia ayahnya ke pemerintah kolonial hingga diadakan penangkapan besar-besaran. Kyai Tojo yang sudah sepuh akhirnya dibantai tepat di tepi sungai, anehnya saat darah pemuka desa itu mengenai air sungai, sungai tersebut mendadak menghitam airnya selama tiga minggu. Hingga tiba-tiba sebuah air bah muncul dan menewaskan seluruh penduduk desa, termasuk putra Kyai Tojo yang jahat.

    Terlepas dari benar atau tidaknya cerita tersebut, tetua desa tetap memperingatkan kami untuk tidak melanggar setiap aturan terutama saat berada di sungai. Beliau bercerita bahwa dulu pernah ada seorang yang berasal dari kota yang tidak percaya larangan tersebut dan melanggar, lalu akhirnya dia pulang dalam keadaan gila. Cerita lainnya justru dialami oleh istri beliau yang waktu itu memarahi anaknya di rumah dan mengatainya sebagai anak monyet. Tiba-tiba saja, anaknya hilang dan baru ditemukan setelah dirinya berjanji untuk tidak menyakiti putrinya lagi.

    Akhirnya sampailah kami pada suatu acara yang berkesan, yaitu saat adanya para penduduk desa yang bersukaria dengan bernyanyi dan menari. Kami sebagai pendatang diikut sertakan dalam acara tersebut dengan tujuan sebagai ajang penyambutan.

    Aku dan Yuri tampak bersemangat mengikuti gerakan tarian yang diajarkan oleh Artika dan Srini, anak tetua desa yang sangat cantik. Sementara Gibran dan Marra diajarkan lomba ketangkasan dengan memainkan pedang dan melemparkan panah (mungkin saja panah itu yang kemarin nyasar ke mobil kita). Kami juga berkenalan dengan anak-anak desa yang ternyata sangat lucu dan ramah. Setelah puas mengikuti acara, kami diajak untuk menikmati dendeng belut buatan Mbok Asih-ibunya Artika dan Srini-dan ibu-ibu lainnya. Rasanya? Sudah tentu menggugah selera. Buktinya kami sampai menambah berkali-kali hingga ditertawakan oleh anak-anak kecil di sana. Tetapi Mbok Asih dan Pak Rusdi-tetua desa-tidak mempermasalahkan hal itu, malahan mereka yang menyuruh kami untuk terus menambah. Setelah perut kenyang dengan makanan dan aneka lauk pauknya, kami memutuskan kembali ke kamar dan beristirahat.

    Keesokan paginya, kami merasa agak bersalah bila tinggal terlalu cepat di Desa Ai Tam. Maka setelah sepakat untuk tinggal di sana lebih lama, kami memutuskan untuk tetap tinggal di desa dan membantu kegiatan masyarakat di sana. Marra dan aku pergi ke sawah untuk membantu Mbok Asih menanam padi, sementara Gibran dan Yuri membantu warga membuat irigasi dan kolam ikan. Ya, hitung-hitung sebagai tanda terimakasih kami kepada warga desa yang memberikan atraksi menyenangkan kepada kami.

    Di sawah, kami langsung diajari cara menanam padi yang kami kenal dengan istilah NamDur (Nanam Mundur). Suatu istilah yang kami pelajari saat SD. Rupanya menanam padi tidaklah semudah apa yang kami lihat di TV. Buktinya ada saja kejadian yang membuat kami saling bertabrakan satu sama lain. Tetapi tetap saja semua itu dilakukan dengan hati riang tanpa beban dan paksaan.

    Selang beberapa saat kemudian, aku dan Marra telah selesai melakukan pekerjaan kami. Kami berdua pun langsung berkumpul dengan Artika, Srini, Mbok Asih, dan ibu-ibu lainnya yang di gubuk sambil menikmati singkong rebus, pisang goreng, dan teh hangat yang semuanya diambil langsung secara alami.

    Kami tampak tertawa-tawa saat melihat betapa susah payahnya Marra saat dia bermain permainan tradisional seperti gasing, gundu, bedil, dan gobak sodor. Maklum, Marra adalah anak rumahan yang setiap harinya hanya dihabiskan di rumah jika tidak ada keperluan. Berkali-kali dia meminta tolong kepadaku sementara aku hanya bisa tertawa sambil menyemangatinya. Ah, iya aku juga belajar membuat permainan tradisional yaitu boneka Dakocan dari rumput, juga bermain congklak dengan gadis-gadis kecil berwajah ayu sambil mengajari mereka menyanyikan lagu nasional. Ya, hitung-hitung menyalurkan bakatku sebagai penyanyi nasional di sekolah dulu. Tak disangka gadis-gadis kecil itu sangat cepat hapalnya sampai memintaku menyanyikannya lagi.

    "Ayo sini makan dulu," ajak Mbok Asih sambil membuka dandang yang berisi ... keong rebus?!

    "Wah! Escargot!" seru Marra seraya mengambil nasi di centong dan menyendok beberapa keong rebus yang menurutnya rasanya enak.

    "Apa, Bang? Eskago?" tanya Ulin, anak laki-laki yang tadi mengajarkan Marra bermain bedil. Sebenarnya aku agak lucu ketika mendengar namanya, tetapi harus aku akui anak itu begitu manis dan lugu.

    "Esscargot, makanan Prancis itu," jawab Marra denga mulut penuh daging keong.

    "Prancis itu Parapatan Ciamis ya, Bang?" tanya Ulin polos hingga mengundang tawa semua orang yang ada di situ.

    Seketika itu juga gelak tawa kembali terdengar diantara kami hingga membuat Ulin malu. Tetapi kehangatan itu mendadak berubah menjadi kepanikan ketika Artika pingsan secara tiba-tiba. Seketika kami semua panik dan buru-buru menggotong Artika ke rumahnya. Aku yang melihat itu seketika menjadi bingung dan entah mengapa perasaanku jadi tidak enak.

    Di rumah, kami mendapati Pak Rusdi yang langsung membawa Artika ke kasur dan mengipasinya agar putri kesayangannya terbangun. Ketika sedang menunggu Artika bangun, aku dan Marra baru sadar bahwa Gibran dan Yuri belum menunjukkan kedatangannya. Maka sambil berpamitan karena hendak mencari keduanya, kami langsung bergegas keluar dari rumah.

    "Permisi, Pak. Kira-kira lihat dua teman saya, gak?" tanya Marra kepada seorang peladang paruh baya yang melintas.

    "Oh, dua teman kalian? Tadi ke sungai," jawab peladang tersebut seraya menunjuk ke arah Sungai Kyai Tojo.

    "Makasih, Pak. Hati-hati!" seru Marra, sementara aku menunduk kepada pria paruh baya itu seraya mengucapkan terimakasih.

    Sesampainya di sungai, kami terkejut dengan hanya ditemukannya sandal milik Gibran dan Yuri. Hal itu membuat kami berasumsi bahwa mereka berdua hanyut terbawa arus air. Maka dengan cepat kami langsung berlari kembali ke rumah. Sesampainya di sana, kami terkejut ketika Mbok Asih dan Pak Rusdi menatap kami dengan tatapan tajam seakan ada suatu kesalahan yang kami perbuat.

    "Sebelum kalian memberitahu, saya sudah tahu duluan kemana teman kalian. Rupanya mereka berdua melanggar aturan dengan melakukan hal senonoh di tepi sungai. Mereka pantas dihukum!" seru Pak Rusdi dengan penuh kemarahan hingga suaranya menggelegar ke seisi rumah. Seketika semua orang yang ada di sana saling berbisik, bahkan beberapa menatap kami dengan sinis.

    Aku dan Marra spontan saling berpandangan. Tampak tak lama kemudian Marra menepuk kening dan memijit jidatnya. Akupun juga bingung dengan ulah apa yang dilakukan kedua rekanku kali ini.

    "Pak, apa bisa mereka dikembalikan saja? Maksud saya, biarlah nanti di sini saja mereka menerima hukuman. Jangan di alam lain," pinta Marra dengan nada memohon. Namun Pak Rusdi hanya menggeleng dan menolak mentah-mentah permintaan Marra.

    "Mereka sudah mengganggu ketenangan di sungai hingga membuat penunggunya marah. Saya sudah berusaha berkomunikasi dengan penunggu sungai, tetapi mereka tidak mau dan tetap akan menghukum kedua temanmu sampai puas," ucap Pak Rusdi dengan nada tegas hingga membuat kami ketakutan. Sungguh saat ini bagaikan buah simalakama bagi kami. Bila kami menentang perintah Pak Rusdi, bisa jadi sesuatu yang buruk akan terjadi. Apabila kami kembali hanya dua orang kami bisa disangka yang aneh-aneh atau bahkan disalahkan oleh keluarga Yuri dan Gibran yang menyadari ketidakhadiran anaknya. Benar-benar membingungkan sekaligus menyebalkan!

    "Sudah, kalian istirahat saja. Berdoa saja agar teman kalian dapat ditemukan," ucap Mbok Asih seraya menggiring kami ke kamar. Di sana kami langsung beristirahat dengan harapan ditemukannya kedua sahabat kami.

    Tetapi semua itu sia-sia setelah kami mendengar kabar terbaru bahwa kedua teman kami tak kunjung ditemukan. Aku dan Marra semakin stress terlebih setelah keluarga Gibran dan Yuri datang. Seketika isak tangis dan desakan penuh amarah terdengar di sepanjang desa dari orang tua yang tidak terima anaknya hilang dengan cara mengenaskan. Aku dan Marra tak luput dari omelan mereka yang merasa anaknya tak bersalah. Semuanya akhirnya bisa mereda setelah dijelaskan dengan kepala dingin oleh Artika.

    Sudah beberapa hari kami tetap di desa dengan harapan kedua rekan kami ditemukan. Tetapi semuanya sia-sia hingga diputuskan bahwa hari itu juga pencarian ditutup. Keluarga sudah mengikhlaskan kepergian anak mereka masing-masing, sementara aku dan Marra memutuskan untuk diam dan merahasiakan apa yang terjadi. Untuk film dokumenternya, kami akan mendedikasikan film tersebut kepada Gibran dan Yuri yang gugur dalam proses pengambilan gambar. Cukup sedih, tetapi mau bagaimana lagi. Mungkin sudah garis takdir.

    Dua bulan kemudian.

    Aku tampak membaca buku sambil memakan kue pukis buatan bunda ketika Fiki, loper koran cilik datang dan memberikan selembar koran kepadaku. Aku langsung mengambil koran tersebut seraya membayar dan tak lupa memberika beberapa potong kue pukis yang tentunya tak dapat ditolak olehnya. Sambil berjalan masuk, aku membaca sedikit berita di sana dan betapa terkejutnya diriku setelah membaca apa isi berita utama pagi itu. Saking terkejutnya, aku sampai tidak sengaja menginjak kaki Kiko, kucing berbulu pendek kesayanganku hingga membuatnya mengeong kesakitan dan pergi. Maaf ya, Kiko.

    Dua mahasiswa yang hilang dua bulan lalu ditemukan membusuk di tepi Sungai Kyai Tojo.

    Aku yang membaca berita utama itu lantas mengambil ponselku untuk menghubungi Marra secepat mungkin. Dia harus tahu hal ini dan minimal sebentar lagi akan menghampiriku.

Ikuti tulisan menarik Alifia Maharani lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler