x

painting by Cathy Delnore Collins

Iklan

Robby Sudrajat

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 22 November 2021

Rabu, 24 November 2021 06:05 WIB

Capai Tersapu Amar Pujangga Hamka

Sebuah cerita pendek dari pelajar SMA yang sangat mengagumi Buya Hamka. Seorang yang mahsyur dari bumi Maninjau ini telah banyak mengukir pengaruh bagi perspektif penulis tentang sebuah hakikat beragama dalam kaca mata yang universal. Cerita pendek yang berusaha menyingkap nilai moril dari sebuah fenomena agregat bernama "pengangguran". Bagaimana sulitnya memiliki pekerjaan yang diinginkan adalah pangkal tolak utama cerita pendek ini.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Capai Tersapu Amar Pujangga Hamka

Karya Robby Malik Chandra Sudrajat

Capai terpatri dalam hati yang tak tahan menanggung beban. Asa yang dulu terlihat indah, mungkin kini hanya akan jadi debu dalam jiwa yang lumpuh. Sepotong kue cucur di tangan, bekal dari emak mungkin hanya cukup untuk dua jam lagi. Teriknya mentari siang semakin meletihkan hati Syamsul. Andai dikata abahnya masih hidup, apa yang akan ia terima dari jadi hanya seorang pencari kerja? Hati Syamsul bergitu jatuh sejatuh-jatuhnya dalam lubang angan-angan yang fana. Jikalau dulu ia ikut nasihat abah menuntut ilmu ke Sidogiri, pun kemungkinan terburuk masih bisa mengajar di sana hingga tua. Tapi, apa yang dapat ia banggakan dari keputusannya kini? Hanya seorang pengangguran yang katanya sarjana bisnis Islam.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Hahaha, duhai anak muda! Mengakunya lulusan bisnis Islam UI. Namun, tampangmu tak terlihat tampang sarjana. Mana bisa aku percaya kau ini terpelajar. Kalau memang sarjana berprestasi tak mungkinlah mencari kerja sana sini. Sudahlah, cobalah cari tempat lain saja,” cetus pria paruh baya tambun itu semakin menyayat hati Syamsul. Ia benar-benar hilang arah mencari kerja di Jakarta. Emaknya yang renta sudah berkepala enam hanya bisa mendoakannya dari jauh di sebuah rumah kontrakan yang hampir roboh di kampung halamnnya, Kabupaten Puwodadi.

Menyingkirlah Syamsul dari koperasi syariah di tengah keramaian kota tersebut. Dengan menenteng ransel tuanya itu, ia tak henti-hentinya berzikir kepada Sang Khalik agar segera mendapat pekerjaan yang layak. Syamsul adalah satu-satunya harapan emaknya agar ia segera bisa ke Baitullah. Dalam hatinya, “Bagaimana bisa emak naik haji dengan uangku? Sedangkan sepeserpun tak kunjung kumiliki”.

Setelah 3 kilometer ia berjalan mengelilingi Jakarta, dihampirinya banyak perusahaan, koperasi, toko, dan bank. Namun, sepertinya ia belum mendapatkan hasil dari penantiannya selama 7 bulan terakhir ini. Di bawah rimbunnya daun pohon mangga depan masjid sederhana di samping tugu kota itu, Syamsul menghabiskan kue cucur bekal dari ibunya selepas salat Ashar. Ia teringat, bahwa di ransel tuanya itu masih tersimpan buku kebanggan pemberian abahnya dulu.

“Ya, Allah. Kau tahu aku adalah asa dari emak abahku. Kuingin abah tersenyum di sana melihatku hidup lebih layak dari hanya sebagai pemuda pontang-panting seperti sekarang. Ya Sami’, mudahkanlah segala pintaku terwujud dan berikanlah jalan dari hamba yang menimba kasihmu ini,” mulut Syamsul berkomat-kamit memanjatkan doa dengan suara yang sangat lirih seraya memeluk buku dari tas ransel itu. Buku “Tasawuf Modern” karya Buya Hamka yang pertama terbit pada tahun 1939 ini adalah sumber motivasinya selama ini untuk tetap melanjutkan setapak jalan meraih impian walau dalam beribu keterbatasan.

***

Dalam sebuah misteri pada dimensi yang berbeda, Syamsul ketakukan berdiri sendiri dengan baju compang-camping ditengah guratan hitam udara penuh debu yang bau. Ia tak mengerti dimanakah jiwanya kini berada. Tak terasa gemburnya tanah ia pijak, tak terlihat silaunya mentari menyinari, tak terdengar riuhnya lalu lalang kendaraan kota, dan tak berada pula suasana dinginnya malam. Di manakah ia kini? Bukankah pohon mangga depan Masjid Al-Malik tadi masih meneduhi hatinya yang sendu?

Seberkas sinar bewarna biru tiba-tiba bergerak lurus dengan sangat cepat dari sebuah lubang hitam menuju pusaran di ujung dimensi itu yang tak lagi terjangkau netra. Tiba-tiba, seberkas sinar biru itu menjadi dua garis sinar panjang dan diantara sinar panjang itu tumbuh banyak ruas sinar kecil sehingga menjadikannya layaknya pita film sarana nostalgia sejuta umat. Dan benar, dengan perlahan muncul foto-foto dalam bidang diantara dua garis panjang dan dua ruas sinar kecil tadi. Persis layaknya pita film milik abah yang menjadi kenangan manis perkawinannya dulu dengan emak. Kini, entah di mana pita film itu berada.

Dengan sangat cepatnya, foto-foto dalam sinar tersebut bergerak dari ujung ke ujung dimensi tersebut hingga pada titik tak terhingga yang mungkin tak mampu Syamsul kejar. Dalam kebingungannya, Syamsul berusaha lari mengikuti gerak foto-foto itu. Ia berlari dan terus berlari hingga pada akhirnya ia merasa kelelahan dan tak sanggup melanjutkan larinya itu. Dalam rasa capai tersebut, ia melihat satu demi satu foto yang beruntun dalam sinar tersebut. Setelah belasan foto ia amati, sadarlah Syamsul bahwa rangkaian foto itu membentuk sebuah alur cerita. Benaknya kini semakin penasaran dengan bagaimanakah cerita ini akan berakhir?

Foto pertama hingga keenam menggambarkan bayi lucu yang bertumbuh menjadi anak yang sangat ceria. Foto ketujuh hingga kedelapan belas memperlihatkan cobaan demi cobaan yang dirasakan seorang remaja yang harus tetap sekolah dalam segala keterbatasan uang dan fasilitas. Foto kesembilan belas hingga kedua puluh dua menyajikan cerita perjuangan seorang mahasiswa hingga ia bergelar menjadi sarjana. Foto kedua puluh tiga menggambarkan seorang pemuda yang berjalan jauh mencari kerja. Foto kedua puluh empat hingga kedua puluh enam terangkai dalam diorama kehidupan seorang lelaki yang berjuang keras bekerja dalam sebuah perusahaan besar. Foto kedua puluh tujuh hingga ketiga puluh menunjukkan seorang pria dewasa yang sedang memimpin anak buahnya. Foto ketiga puluh satu mengabarkan raut bahagia seorang pria yang menikah dengan pendamping yang tepat. Adapun foto ketiga puluh dua hingga empat puluh menunjukkan sebuah keluarga kecil yang bahagia.

***

“Syam, Syamsul. Hai, bangun, Bung. Azan Maghrib akan segera memanggil itu. Bangunlah!” terdengar suara pemuda gagah seperti kesal membangunkan Syamsul yang masih terlelap dalam tidur sorenya. Ia memarkirkan mobil Corolla DX tipe sedan yang tergolong antik dan mahal di tanah lapang seberang masjid.

Hmm, dia menikah. Dia lalu punya anak. Anaknya lucu, ya,” suara Syamsul seperti mengigau membuat pemuda itu tertawa. Namun, tawa lepasnya itu masih tak mampu membangunkan Syamsul.

Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un, kebakaran! Kebakaran! Kebakaran!” Suara pemuda itu dibuat-buat selayaknya terjadi kebakaran yang sesungguhnya. Ia mengatakannya dengan keras dan semakin keras hingga tepat di depan kuping Syamsul.

Hah! Kebakaran, kebakaran? Mana kebakaran? Mana?” Syamsul langsung terbangun dan menoleh ke kanan dan kiri. Tapi, memang itu hanya cara membangunkan Syamsul sehingga iapun tak melihat adanya kebakaran. Beberapa detik kemudian, Syamsul melihat lelaki berperawakan besar di depannya yang masih belum menghentikan tawa gelinya itu.

“Hai, Bung. Kenapa Kau sebut pasal nikah, punya anak, anaknya lucu? Hahaha, siapa yang menikah dan punya anak, tuh? Kaukah? Tak habis pikir aku, nih. Kawanku rupanya sudah mendambakan seorang istri. Mau, tak, kukenalkan dengan kawan penaku. Cantik, loh, dia? Tapi masih sekolah, di Al-Azhar. Hahaha,” gurau pemuda itu dengan nada akrab kepada Syamsul seraya menunjukkan foto sahabat pena perempuan di ponselnya.

“Bentar, siapa Anda?” tanya Syamsul kebingungan.

“Amboi! Lupa kau, ya, dengan sahabat SMA sendiri. Aku ini kawanmu dulu di Purwodadi. Aku ini Amir.” pemuda itu terlihat sangat keheranan dengan Syamsul yang seakan lupa dengannya.

Astaghfirullah, Amir. Kowe, Amir? Masyaallah, kemana saja kamu, Mir? Alhamdulillah, kini Allah mempertemukan kita kembali. Aku pangling dengan kamu kini. Tampan, gagah, dan kelihatannya sudah jadi saudagar ini. Weleh-weleh,” ucap Syamsul menunjukkan decak kagumnya.

“Oh, ya. Bagaimana kabar Koh Chen, mamak Kau, dan Rosma. Sehat-sehat saja, kan?” tanya Syamsul.

Alhamdulillah, mamakku dan Rosma sehat-sehat saja. Kini, aku meneruskan bisnis Bapak. Yah, sekadar menghubungkan produsen guci di Xinjiang dengan para konsumen di sini. Lalu, bagaimana kabar abah dan emakmu?” tanya Amir sambil merangkul Syamsul.

“Abahku sudah meninggal saat aku dapat setahun belajar di UI, jurusan bisnis Islam. Kalau emakku masih di Purwodadi. Ya, beginilah, Mir. Nasib sarjana tanpa dibekali relasi yang bagus. Lulus kuliahpun masih lontang-lantung cari pekerjaan,” keluh Syamsul dengan sedikit meneteskan air mata.

Inna lillahi, turut berduka cita atas kematian abahmu, Syam. Terkait masalahmu yang sedang mencari kerja ini, nanti kita diskusikan selepas Maghrib. Sekarang, kita salat dulu. Yuk,” ajak Amir kepada Syamsul untuk menyegerakan mendirikan salat Maghrib.

***

“Jadi, sudah 7 bulan kamu keliling Jakarta? Dengan berbekal ijazahmu, belum juga Kaudapatkan pekerjaan?” tanya Amir sambil membayar parkir.

Bener, Mir. Namanya juga lulusan pas-pas-an, kuliah sambil kerja memang tak mudah bagiku saat itu. Kini, emak ingin naik haji, aku semakin merasa bersalah kepadanya” jelas Syamsul.

“Sudahlah, Bung. Emak Kau pasti bangga apapun kondisimu. Semua sudah diatur oleh Gusti. Inna ma'al usri yusra. Sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Percaya karo aku, Syam. Selama di Jakarta ini tinggal di mana, Syam?” kata Amir.

“Selama di Jakarta, aku tidur dari masjid ke masjid, Mir. Selain tidak mbayar, banyak masjid gede di ibu kota yang sering memberi upah kalau mau bantu-bantu marbot mbersihin masjid.” jawab Syamsul sambil membuka halaman demi halaman buku berjudul “Tasawuf Modern” itu.

“Syukurlah, kalau begitu, Syam. Yuk, makan malam dulu ke warung makan deket sini. Ada warung makan enak, lho. Ada sayur becek khas Purwodadi kesukaanmu juga. Tenang, aku yang mbayarin. Nanti aku nyusul, mau ke toilet dulu,” jelas Amir.

***

Sayur becek memang tidak ada duanya bagi Syamsul. Di Purwodadi, emaknya sering membuatkannya sayur becek sebagai sarapan. Ya, meskipun lebih sering tanpa daging mengingat kondisi keuangan keluarganya. Cita rasa sayur becek sangat khas. Makanan olahan iga sapi atau kebau yang disiram dengan kuah rempah ini memang selalu meninggalkan rasa unik di lidah. Sensasi gurih, segar, dan juga pedas berkolaborasi menciptakan sajian yang lezat.

“Enak, toh?” tanya Amir.

“Enak, banget. Tapi, masih kalahlah dengan buatan emakku. Hehehe,” jawab Syamsul dengan mulut yang masih penuh berisi iga kerbau.

Hehehe. Nanti kita Isya dirumahku. Cuma 5 kilometer dari sini. Sekalian saja menetap di rumahku sampai bisa dapat pekerjaan. Mamakku pasti kaget,” ajak Amir.

Alhamdulillah, terima kasih banyak, Mir. Kamu memang sahabat terbaikku dari dulu,” puji Syamsul dengan rasa penuh bangga memiliki sahabat seperti Amir yang sangat mengerti kondisinya.

***

Selamat pagi. Apakah ini benar dengan Saudara Syamsul Bahri? Lulusan Bisnis Islam UI yang kemarin mengirimkan CV online ke Bank BRI Syariah Jakpus?” suara seorang perempuan dari telepon dengan ramah menanyakan kebenaran informasi dari pengisian CV lowongan pegawai sebuah bank syariah atas nama Syamsul Bahri. Syamsul yang sengaja mengangkat telepon dari ponsel Amir saat Amir sedang mandi sontak kebingungan. Bagaimana tidak? Ia sama sekali tidak mendaftar lowongan kerja kemarin. Tiba-tiba, Amir datang dan merebut ponsel itu.

“Baik, selamat pagi, Ibu. Benar, Ibu, ini dengan saudara Syamsul Bahri,” jawab Amir berpura-pura sebagai Syamsul. “Baik, Ibu, terima kasih atas kesempatan yang telah diberikan. Besok lusa, saya siap datang ke kantor melakukan wawancara sekaligus membawa dokumen yang diperlukan,” perkataan Amir ini semakin memperjelas bahwa kemarin Amir diam-diam sengaja mencarikan pekerjaan untuk Syamsul. Segera kemudian, perempuan itu mematikan ponselnya.

“Mir, jadi kemarin kamu sudah berusaha mencarikanku pekerjaan?” tanya Syamsul.

“Ya, benar. Sebenarnya, aku kemarin tidak ke toilet. Tapi, aku mencoba mencarikanmu pekerjaan yang layak sesuai gelar sarjanamu. Sepertinya, Allah meridai perjuanganmu dan membalasnya dengan apa yang kamu inginkan selama ini. Temanku, Mahar, adalah direktur di bank tersebut. Katanya, ia sangat kagum dengan perjuanganmu dan beriktikad baik membuka lowongan pekerjaan untukmu. Aku yakin, kamu orang yang cerdas dan tak akan menyia-nyiakan kesempatan. Aku siap membantumu apa dan kapan saja,” jelas Amir menghadap cermin besar kamarnya sambil memasang dasi di kerah kemeja kerjanya.

Masyaallah. Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Engkau telah menjawab doa-doaku selama ini, Ya Mujib. Lewat seorang teman dari masa remaja Engkau akhiri penantian hamba dengan sebuah kabar baik yang tak pernah sebelumnya hamba bayangkan. Terima kasih, terima kasih banyak, Mir. Aku sangat berutang budi kepadamu,” seketika tetesan air mata keluar dari mata Syamsul dan dengan raut harunya itu ia memeluk sahabat karibnya dengan penuh syukur dan bangga.

Pada saat itu juga, Syamsul sadar bahwa mimpinya di bawah pohon mangga depan Masjid Al-Malik kemarin adalah cara-Nya menyemangati diri Syamsul agar tidak putus asa terhadap ujian Allah. Rangkaian diorama yang tersaji dalam mimpinya itu seakan gambaran pemuda tangguh yang mampu melewati segala keterbatasan dan mencapai cita-cita yang dimilikinya. Seberkas harapan itupun semakin kuat dan terpatri dalam diri Syamsul, menyapu segala capai yang dulu memenuhi hatinya.

Memang benar, kata Buya Hamka dalam “Tasawuf Modern”-nya di halaman 223: “Kalau Allah tak menjadikan kesengsaraan, di manakah orang akan kenal kelezatan bahagia? Kalau Tuhan tak menjadikan perhambaan dan perbudakan, di manakah akan ada keinginan hendak mengejar mereka?”. Sejak saat itu, amar demi amar dari Buya Hamka selalu Syamsul pegang dalam prinsip hidupnya. Tak akan dapat ia rasakan kebahagiaan sebesar ini walau hanya sebatas diberi kesempatan wawancara kerja jika ia sebelumnya sudah hidup dalam kemudahan. Niat yang tulus dan ikhlas, kesabaran, daya juang tanpa putus asa, dan rasa bergantung kepada Illahi telah dicontohkan Syamsul, dan hal inilah yang akan mendorong kita menjadi orang yang berani. Orang berani yang mengantarkan kita kepada kesuksesan.

“Orang pengecut mati beribu kali, orang berani matinya hanya sekali,” amar pujangga Buya Hamka dalam “Tasawuf Modern” halaman 33 yang mampu menyapu capai Syamsul.

Ikuti tulisan menarik Robby Sudrajat lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu