x

Iklan

exi gayaputri

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 23 November 2021

Rabu, 24 November 2021 20:00 WIB

Bidadari Tanpa Nama


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Perempuan itu berdiri diam di sana. Dalam balutan piyama berwarna hijau lumut, ia tampak seperti separuh bidadari. Bukan, bukan separuh. Di mataku dialah perwujudan bidadari itu sendiri. Tangannya bertopang pada birai balkon. Tatapannya menerawang jauh, seakan-akan ia tengah menengok masa depan yang tengah menantinya. Matanya begitu cantik, hitam legam dengan bulu mata lentik. Namun, entah kenapa sorotnya terlihat sendu. Dan anehnya lagi, itulah yang membuat sosok itu menarik. Kecantikannya yang dibalut oleh kesedihan memancarkan semacam aura tersendiri.

Bagai terkena sihir, aku diam mematung menatapnya. Cangkir kopi di tanganku berhenti separuh jalan menuju bibir. Siapa gerangan perempuan ini? Satu tahun aku menghuni apartemen ini tak pernah sekalipun aku lihat sosok itu. Mana mungkin aku melewatkan sosok sepertinya yang hanya tinggal beberapa unit di sebelahku. Apakah dia seorang baru yang menhuni unit itu?

Berbagai macam pertanyaan berkecamuk di pikiranku. Perempuan itu masih diam di balkonnya. Seperti tak terusik oleh keramaian di lapangan tenis di bawah sana. Tampaknya dia juga tak menyadari ada seorang lelaki yang tersirap oleh pesonanya yang unik. Seorang lelaki yang kini tengah setengah mati menjawab berbagai macam pertanyaan yang berkecamuk di otaknya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tiba-tiba wanita itu menunduk. Untaian rambut hitam terurai menutupi parasnya. Aku menahan napas. Apakah dia menangis? Kuletakkan cangkir kopiku di atas meja kecil. Perlahan aku mendekat ke sisi balkon, seakan-akan gerakan itu bisa membuatku lebih dekat dengannya.

Sesaat kemudian dia menegakkan kepalanya dan berbalik masuk ke dalam. Samar-samar kudengar pintu diseret menutup. Suara riuh rendah dari lapangan kembali menyusup ke telingaku. Ah, orang-orang itu. Tidakkah mereka tahu aku baru saja melihat seorang bidadari sendu yang muncul sekonyong-konyong di balkon tetanggaku?

Seketika itu juga aku tahu bahwa besok pagi aku akan kembali bertengger di balkon ini untuk menantikan kehadiran bidadari itu lagi.

***

Dia kembali. Bidadari khayangan itu. Aku diam-diam tersenyum seperti remaja ingusan yang tengah kasmaran.

Hari ini dia duduk di kursi balkonnya. Tubuhnya dibalut terusan berwarna khaki yang terlihat serasi dengan kulit kuning langsatnya. Rambut sebahunya diikat kencang ke belakang. Kugaruk kepalaku yang sebenarnya tidak gatal. Perempuan ini benar-benar kurang ajar, baru kemarin muncul sudah berani-beraninya merusak tatanan hidupku. Seharusnya pagi-pagi begini aku tengah meminum kopi dan bersantai sejenak sebelum pergi ke kantor. Tapi, kini aku malah tak henti-henti mencuri pandang ke arahnya. Macam penguntit gila saja!

Dengan anggun, perempuan itu mengambil sesuatu dari meja di sampingnya. Beberapa saat kemudian ia sangat fokus menekankan sesuatu ke lututnya. Apakah ia tengah mengobati luka? Gerakannya berpindah menuju tangan kanan. Dengan tenang, dia menotolkan sesuatu di siku dan punggung tangannya.

Ya. Sepertinya dia terluka. Apakah dia baik-baik saja? Haruskan aku mengetuk pintu apartemennya dan menanyakan keadaannya?

Aku hampir saja tertawa karena pertanyaan terakhir. Sepertinya aku mulai kehilangan akal. Mana mungkin aku tiba-tiba datang menanyakan keadaannya. Kenal saja tidak.

Sejurus kemudian satu ide muncul di otakku. Apakah sebaiknya aku memberanikan diri berkenalan dengannya? Bukankah itu yang seharusnya dilakukan oleh lelaki sejati? Aku mengangguk-angguk dengan khidmat.

Namun, aku tidak pernah ahli dalam berurusan dengan kaum hawa. Aku yang kikuk ini selalu saja mendapat nasib yang tidak mujur. Seumur hidup baru sekali aku menjalin sebuah hubungan, itu pun kandas di tengah jalan karena mantanku memilih lelaki lain yang lebih tampan dan luwes dalam masalah percintaan.

Aku tersenyum miris. Tekadku hilang seketika. Kalian boleh mengatakan aku pengecut, sudah berumur 25 tahun tapi tidak berani memulai obrolan dengan seorang perempuan. Tapi apakah aku salah? Perempuan itu bidadari! Aku merasa tidak pantas.

Ketika kutolehkan kepalaku dia sudah tidak ada disana. Baiklah, ini tandanya aku harus beranjak dan kembali ke kehidupan nyata, Aku menyeret langkah menuju pintu.

***

Pagi ini dia telat. Kulirik arlojiku, jika sepuluh menit lagi aku masih bertahan di sini, aku akan terlambat sampai di kantor.

Oke, aku memberimu waktu lima menit lagi, Bidadari. Jika kamu tidak muncul, aku akan pergi ke kantor. Namun, jika kamu muncul, aku berjanji esok pagi akan kuajak kamu berbincang.

Satu menit. Dua menit. Dia tak kunjung menampakkan diri. Aku menghembuskan napas frustasi. Di menit terakhir, aku berdiri. Kurapikan kemejaku yang sedikit kusut kemudian melirik balkon itu untuk terakhir kalinya.

Gerakanku terhenti ketika sayup-sayup kudengar suara pintu digeser, lalu keluarlah dia. Aku menahan napas ketika angin mulai meniup anak-anak rambutnya. Sinar mentari pagi membasuh wajah cantiknya.

Dia menoleh ke arahku. Mata sendunya tepat tertuju pada mataku. Sesaat, kami hanya berpandang-pandangan. Aku merasakan sesuatu bergetar di dadaku. Bukan, ini bukan tatapan mata tidak sengaja. Kami bertatapan seakan-akan selama ini kami hidup dalam keadaan buta dan baru kali ini kami sungguh-sungguh bisa melihat.

Perlahan dia melemparkan senyum. Senyum yang begitu sederhana, namun cantik sekali. Sekuat tenaga aku berusaha tersenyum. Apa daya, hasilnya hanya ringisan canggung yang tidak sebanding dengan senyum indahnya.

Dia mengangguk kecil. Aku tahu momen ini akan segera berakhir. Seharusnya aku langsung menyapanya, memanfaatkan momen yang sudah semesta anugerahkan kepadaku. Namun, terkutuklah aku yang kikuk ini! Tak ada satu pun kata yang terlontar dari bibirku. Perempuan itu mengangkat tangannya untuk melambai. Aku yang masih dalam keadaan trans balas melambai kaku. Hanya gerakan tangan patah-patah yang terlihat mengenaskan.

Aku berani bersumpah sekilas kesenduan di matanya sedikit menghilang, digantikan oleh sesuatu yang mirip dengan pendar kebagiaan.

Kemudian dia masuk kembali ke dalam, meninggalkan aku sendiri dalam keadaan melongo. Tidak tahu harus berbahagia karena perempuan itu baru saja mengetahui eksistensiku  atau memaki diri karena melakukan tindakan bodoh.

***

Baiklah, kemarin aku sudah berjanji untuk menyapanya jika dia keluar sebelum aku meinggalkan balkon, ditambah lagi kemarin kami melakukan interaksi kecil-kecilan. Yah, meskipun hanya dia yang berinteraksi, sementara aku adalah si bodoh yang hanya bisa bengong.

Hari ini hari Sabtu. Artinya, aku bisa duduk di balkon ini dan menantinya seharian. Sudah kukenakan baju santai terbaikku. Bahkan aku menyemprotkan parfum juga, walaupun aku tahu meski aku tidak mandi dan menggosok gigi, bauku tetap tidak akan tercium olehnya.

Kulirik jam di ponselku. Sudah satu jam aku duduk di sini dan dia belum menampakkan diri. Bagaimana jika dia tidak muncul? Sayang sekali, semalam aku sudah berpikir keras apa-apa saja yang hendak kukatakan padanya. Aku bahkan menyempatkan diri untuk berlatih menata ekspresiku tadi.

Ternyata memang dia tidak muncul hari ini. Dan tidak juga hari-hari setelahnya.

***

Setelah absennya sang bidadari hari itu, aku masih melanjutkan penantianku setiap pagi. Namun hasilnya nihil. Bidadari itu hilang seakan-akan selama ini dia memang tidak pernah ada. Aku menyeret kakiku masuk ke dalam apartemen. Kuputuskan untuk menyudahi penantianku pagi ini.

Keresahanku kemudian berubah menjadi kecemasan. Pertanyaan-pertanyaan baru mulai bermunculan di kepalaku. Apakah sesuatu terjadi padanya? Apakah dia sudah pindah ke tempat lain? Hingga yang paling parah: apakah selama ini aku berkhayal?

Aku berhenti sejenak di depan pintu apartemenku, kutolehkan kepala ke arah pintu kediaman perempuan itu. Sejenak aku mempertimbangkan untuk mengetuk pintu itu untuk memastikan apakah dia ada di dalam.

“Dani?” Seseorang menyebut namaku dari belakang. Aku menoleh dan menemukan sosok perempuan tua dalam balutan kardigan rajut.

“Eh, Bu Elis. Selamat pagi, Bu,” sapaku.

“Mau berangkat kerja, Nak?” Tanyanya.

“Iya, Bu. Ibu mau kemana?”

“Ah, saya mau ke supermarket. Mari, turun bareng saya,” ajaknya.

Kami berjalan bersisian menuju lift. Mungkinkah Bu Elis tahu siapa perempuan itu? Ragu-ragu kutanyakan kepadanya satu pertanyaan.

“Bu Elis kenal dengan perempuan yang tinggal di unit 274?” Tanyaku. Seperti dipantik sesuatu, mata Bu Elis berkilat kilat senang.

“Ah, ya. Saya tahu orangnya, tapi namanya tidak tahu.” Ujarnya dengan semangat menggebu-gebu. Sejurus kemudian dia berceloteh tentang gosip apa saja yang mengitari perempuan itu.

“Kata Ibu Jemi, perempuan itu…” dia berhenti sebentar untuk menengok sekitar, “perempuan nggak benar,” bisiknya.

“Saya sering lihat dia dijemput mobil sport bagus sekali. Pulangnya pasti larut malam. Wah, anak jaman sekarang memang berani, ya.”

Aku mengusap wajah. Bukan ini informasi yang kubutuhkan. Tapi tampaknya bu Elis tidak peduli. Dia tampaknya sudah menanti momen iseperti ni untuk menjaring penggosip baru.

“Oh iya, kadang dia pulang dengan keadaan lebam-lebam. Pernah malah saya lihat tangan kanannya berdarah-darah.”

Aku tertegun. Dari semua informasi yang disampaikan Bu Elis, informasi terakhir ini berhasil membuat ingatanku terlempar ke saat dimana aku melihatnya mengobati luka. Siapa sebenarnya perempuan ini?

Bu Elis masih bercerita tentang perempuan itu, sementara detik itu juga aku tahu sesuatu tengah terjadi padanya. Sesuatu yang buruk. Dan tak ada yang dapat kulakukan untuk menyelamatkannya.

***

Dua minggu sudah berlalu semenjak raibnya perempuan itu. Sampai saat ini aku belum mengetahui namanya. Seakan-akan dia ada sekaligus tidak ada. Orang-orang mengetahui keberadaannya tapi tak satupun mengenalnya.

Malam ini hujan turun. Dengan tubuh separuh basah, aku memasuki gedung apartemen. Taksi yang kutumpangi terjebak macet tak jauh dari sini, jadi kuputuskan turun dan berlari menuju apartemen.

“Selamat malam, Pak Daniel,” sapa satpam di dekat pintu masuk. Aku mengangguk dan balas menyapanya.

“Tunggu sebentar, Pak. Tadi siang ada titipan untuk Pak Daniel.” Katanya sambil mengeluarkan sesuatu dari balik mejanya. Sebuah amplop

“Dari siapa ini, Pak?” tanyaku bingung. Amplop itu putih polos. Bahkan namaku saja tidak tertera di sana.

"Tadi dari perempuan, Pak. Saya tidak tahu namanya, tapi wajahnya seperti tidak asing.”

Aku tertegun. Mungkinkah…?

“Tinggal di sini bukan, Pak?” Tanyaku berharap. Si satpam berpikir sejenak kemudian menggeleng.

“Aduh, maaf, Pak. Saya kurang tahu kalau itu. Tapi memang benar wajahnya tidak asing. Tadi dia jalan kaki ke sini.”

“Boleh tahu ciri-cirinya pak?” Aku masih belum menyerah.

“Rambutnya hitam lurus, kira kira panjangnya sebahu. Kulitnya kuning langsat. Tadi pakai baju terusan hitam motif bunga-bunga.”

Dia berhenti sejenak, “matanya bagus sekali, Pak. Saya sampai kagum,” lanjutnya. Tak salah lagi. Aku buru-buru mengucapkan terima kasih dan setengah berlari menuju apartemenku. Amplop putih itu kugenggam erat-erat..

Sesampainya di dalam kamar, kubuka perlahan amplop itu. Seolah-olah satu gerakan kasar akan membuatnya hancur berkeping-keping. Sebuah kertas putih menyembul. Kubuka lipatan kertas itu. Ternyata sebuah surat.

Halo Daniel,

Maaf saya tidak bisa langsung menemuimu. Saya hanya ingin mengucapkan terima kasih. Tiga hari bertemu kamu di balkon merupakan sebuah keajaiban. Benar, saya bukannya tidak tahu kamu ada di sana dan mencuri pandang ke arah saya, hahaha. Saya hanya diam karena saya pikir itulah keistimewaan pertemuan ini. kita bisa saling membuat nyaman hanya dengan duduk berjauhan dalam diam. Kamu dengan pikiranmu tentang saya dan saya dengan pikiran saya tentang kamu. Lucu sekali, bukan?

Asal kamu tahu butuh keberanian ekstra untuk tersenyum padamu pagi itu, hari ketiga pertemuan kita. Jika saja kamu tahu bagaimana jantung saya berdebar. Saya tahu kamu menunggu saya, tapi saya memang pengecut, berdiri diam di balik pintu balkon karena tiba-tiba saja saya merasa gugup. Namun, ketika kamu membalas senyuman saya, percayalah, semua kegugupan itu hilang. Senyummu memenuhi ruang pikir saya semenjak itu.

Terima kasih, Daniel. Kehadiranmu selama tiga hari itu benar-benar membuat saya terasa hidup. Bahkan, saya sempat mempertimbangkan untuk bertahan sedikit lebih lama. Tapi, ya, memang lagi-lagi saya yang pengecut. Andai saja kita bisa bertemu lebih awal, mungkin saat ini kita tengah berbincang hangat ditemani dua cangkir kopi seperti yang kamu minum setiap pagi. Jangan tanya  bagimana saya bisa tahu kamu minum kopi, saya sendiripun juga heran mengapa saya bisa tahu isi cangkirmu setiap pagi.

Intinya, saya bahagia bisa bertemu kamu. Tapi sayang sekali saya harus pergi, Daniel. Bahkan kamu sekalipun tidak bisa mencegah kepergian saya. Ini sebuah keniscayaan, salah satu akibat dari kesalahan masa lalu saya. Tidak masalah. Saya yakin di kehidupan yang lain, di semesta yang sama sekali berbeda, kita akan kembali dipertemukan. Mungkin bukan sebagai dua sosok asing, melainkan sebagai dua insan yang menjadi tokoh utama dalam satu kisah yang sama.

Oh iya, maaf saya tidak bisa memberitahu siapa nama saya. Panggil saja saya semaumu, saya tidak akan keberatan.

Salam hangat,

 

Perempuan Tanpa Nama

***

Esok harinya, di headline berita terkini, ditemukan sesosok tubuh tak bernyawa tak jauh dari daerah apartemenku. Sosok itu ditemukan dalam keadaan mengenaskan. Sekujur tubuhnya penuh luka dan lebam. Sampai-sampai wajahnya sulit untuk dikenali.

Polisi mengatakan perempuan itu kemungkinan meninggal dua belas jam yang lalu. Dia memiliki rambut hitam sebahu dan mengenakan baju hitam dengan aksen bunga-bunga.

Aku terduduk lemas. Itu dia. Bidadari Tanpa Nama-ku. Seseorang yang membuat duniaku jungkir balik beberapa minggu terakhir ini. Rasa sesal menghantamku. Jika saja aku berani mengetuk pintu apartemennya untuk berkenalan. Jika saja aku tidak sepengecut ini. Jika saja, jika saja.

Kupandangi surat yang masih teronggok di nakasku. Surat itu rupanya merupakan ucapan perpisahan untuk sebuah perkenalan yang belum sempat terjadi. Perkenalan yang tidak akan terjadi.

 

           

 

 

 

Ikuti tulisan menarik exi gayaputri lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler