x

Iklan

Ucy sugiarti

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 24 November 2021

Rabu, 24 November 2021 20:02 WIB

Beranjak Dewasa


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

        Dua tanganku sibuk memegang buku fiksi Tere Liye yang baru saja ku pinjam di  perpustakaan kampus. Teriknya matahari Jakarta, membuatku ingin pergi ke kutub utara dan tinggal disana. Topi yang saat ini aku pakai tidak menolong panasnya matahari hingga membanjiri bajuku dengan penuh keringat.

        Seperti biasa sebelum pulang ke rumah, aku pergi ke warung Mang Faiz yang menjual es dan ayam bakar, tetapi kali ini aku hanya ingin membeli es jeruk untuk membasahi tenggorokan yang sedari tadi sudah memanggil nama Mang Faiz untuk membeli es jeruk.

        Sembari nunggu es jeruk, aku mengeluarkan earphone dan mendengarkan lagu untuk menghilangkan kebisingan di sekitar dan membaca buku pergi dari Tere Liye.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

        “Na, tumben cuma pesan es jeruk saja, apa Nana nggak pesan makanan juga?” tanya          Mang Faiz sambil menaruh es di meja.

        “Nanti saja. Aku lagi sibuk baca buku.”

        Pada jam makan siang, kantin dipenuhi dengan kebisingan mahasiswa yang membuat fokusku menjadi terganggu. Banyaknya suara ketawa yang aku dengar berasal dari sekumpulan geng sudut kanan sambil memukul-mukul meja dan tertawa, sehingga mengganggu jam makan siang yang lain.

        Dengan cepatnya aku menyeruput es jeruk di depanku dan meninggalkan kantin yang membuatku tidak nyaman berada di keramaian. Pulang ke rumah bukan satu-satunya jawaban saat ini, biasanya aku pulang sebelum warung Mang Faiz tutup, tetapi hari ini ramai sekali maka aku memutuskan untuk mencari coffee shop di luar kampus.

****

        Alunan musik jazz menyambut kedatanganku, terlihat dua orang laki-laki yang sedang sibuk di depan laptopnya dan ada satu orang perempuan dengan rambut diikat seadanya sambil memakai earphone serta kopi yang sudah tinggal setengah di depannya. Sepertinya tempat ini tidak ramai dipenuhi pengunjung.

        Desain bangunannya dibikin seperti zaman kolonial serta terdapat beberapa lukisan tua menghiasi dinding, tentunya dapat menambah keindahan bangunan dan pastinya dapat menarik perhatian siapapun yang berkunjung ke sini. Sebelum aku naik ke lantai dua, aku memesan ice caramel latte dan waffle untuk mengganjal perutku.

        Dugaanku salah, di lantai dua ternyata lebih banyak orang dan dipenuhi dengan cewek-cewek berisik yang sibuk dengan berfoto untuk dibagikan di story Instagram. Ketika beberapa menit aku duduk, ada salah satu dari mereka yang berbisik-bisik melihat ke arahku dengan tatapan penuh.

        Aku merasakan sebuah keanehan di dalam diriku, biasanya aku merasa nyaman sendiri dan tidak peduli dengan yang lain, tetapi kali ini ada yang janggal. Aku menyadari bahwa selama ini tidak ada teman dekat ataupun teman ngobrol untuk berbagi cerita. Aku terlalu sibuk dengan duniaku sendiri, padahal seharusnya manusia hidup berinteraksi dengan yang lain.

        Mang Faiz benar, aku terlalu tertutup dengan yang lain sampai aku tidak punya teman dekat, tetapi disisi lain aku bingung harus memulai dengan cara bagaimana untuk bisa terbuka dengan yang lain kecuali Mang Faiz. Beliau sudah aku anggap seperti orang tua di kampus yang selalu menanyakan kabarku setiap hari. 

        Tak lama kemudian aku memutuskan untuk pergi dari tempat ini dan menunggu bis di halte sangat membosankan. Aku keluarkan earphone dan ditemani dengan lagu satu lagu beranjak dewasa dari Nadin Amizah. 

        Kita beranjak dewasa
        Jauh terburu seharusnya
        Bagai bintang yang jatuh
        Jauh terburu waktu

        Selama lagu diputar, aku bertanya-tanya dengan diriku sendiri, “Mengapa semakin dewasa aku seperti ini? ada hal apa yang membuatku jadi seperti ini sekarang?” Kehilangan orang lain memang menyakitkan, tetapi kehilangan diri sendiri justru lebih menyakitkan.

        Selama ini aku memendam apapun sendirian. Aku kehilangan diriku sendiri sekarang. Sebelum semuanya berubah, aku pernah punya keluarga yang hangat dan menjadikan rumah adalah tempat untuk aku terus ingin pulang. Hampir setiap liburan, ayah selalu mengajak aku dan ibu untuk bermain ke pantai sekaligus menghilangkan penatnya ayah dari banyaknya pekerjaan di kantor.

        Selain itu, ibu juga tidak pernah lupa untuk membelikan aku permen dan cokelat ketika ia pergi ke supermarket. Namun, semuanya berantakan bermula dari ayah yang tidak pernah ada waktu untuk mengajak liburan dan selalu menjadikan alasan pekerjaan di kantor untuk jarang pulang dan disitulah terjadinya pertengkaran hebat, ibu mengetahui bahwa ayah berselingkuh dengan teman kantornya.

        Semenjak itu keluargaku hancur berantakan, ibu yang dulu aku kenal adalah sosok yang hangat, tetapi sekarang ia menjadi orang asing. Sedangkan, ayah memilih untuk meninggalkan aku dan ibu. Saat ini, ibu jadi jarang pulang karena fokus ke pekerjaannya untuk membiayai aku kuliah dan ibu juga tidak pernah lagi berbagi cerita kepadaku. Aku jarang melihat ibu di rumah, tetapi sesekali aku pernah melihat beliau menangis tengah malam.

        Setidaknya pernah ada cerita di masa kecil yang bisa kuceritakan berwarna pelangi, tetapi setelah itu tidak pernah ada lagi cerita yang bisa kuceritakan. Hingga yang tersisa sekarang hanyalah warna keruh dari lunturnya pelangi yang pernah ada dihidupku.

****

        Di perjalanan, entah apa yang membuatku kepikiran untuk melangkah ke pantai ini, dibanding memilih pulang ke rumah. Biasanya ini tempat kedua aku selain warung Mang Faiz untuk menghabiskan waktu membaca buku yang kupinjam di perpustakaan atau hanya sekedar melihat matahari terbenam di sore hari.

        Akan tetapi, kali ini justru berbeda. Alasan aku datang kesini untuk mengingat semua kejadian yang menyenangkan di waktu kecil, rasanya ingin sekali kembali mengulang masa usia lima tahun, dimana aku dan ayah bermain di pinggir pantai untuk membuat istana dari pasir pantai atau sekedar makan ice cream dengan ibu.

        Jika Tuhan mengizinkan aku untuk kembali ke masa lalu, “Aku ingin sekali selamanya berada di usia itu Tuhan, jika diberi kesempatan aku ingin sekali kembali di masa-masa seperti dulu.” ucapku dalam hati.

        Embusan angin pantai dingin sekali menyelinap masuk ke dalam tubuhku. Suasana pantai sore ini membuatku ingin terus tetap berada disini hingga waktu dapat mengembalikan semuanya di masa lalu. Air mataku tiba-tiba mengalir deras ketika melihat anak kecil berusia lima tahun berlari-lari di pinggir pantai dengan seorang laki-laki yang bisa disebut sebagai ayah.

        Tanpa sadar, anak kecil tersebut lari ke arahku dan memanggil namaku. Anak  tersebut semakin nyata datang kepadaku dan memeluk tubuhku, kemudian air mata yang sempat berhenti mengalir kembali deras. Tuhan mendengarkan permintaanku, aku dipertemukan dengan diriku di mlalu.

        Sebelum Tuhan menghilangkan kesempatan ini, aku berkata dengan seseorang di masa laluku, “Halo Nana masa laluku yang terluka, kamu adalah lima belas tahun yang lalu diriku, aku adalah kamu. Kini sekarang kita sudah beranjak dewasa, dulu kamu ingin sekali mengubah waktu agar cepat menjadi orang dewasa. Maaf ternyata kisahmu sekarang tidak seindah masa lalu. Kita didewasakan oleh keadaan sebelum waktunya, tetapi tidak perlu takut. Kita aman bisa melewati semuanya, ayo ikut ke masa kini. Jangan biarkan masa lalu memenjarakan kita, pegang tanganku untuk kita bisa menikmati masa kini.”

        Tangisanku semakin pecah ketika bayangan masa kecilku kembali terulang, kalau saja pantai ini bisa berbicara, ia pasti akan menceritakan kembali masa lalu dan pastinya akan membawaku ke masa dulu. Namun, kini pantai menjadi saksi bisu kisah keluargaku yang tak akan pernah terulang kembali.

           

Ikuti tulisan menarik Ucy sugiarti lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler