x

Iklan

Reszky Fajarmahendra Riadi

Guru Sekolah Dasar & Pecandu Belajar
Bergabung Sejak: 4 September 2020

Jumat, 26 November 2021 08:47 WIB

Merdeka Mengajar dengan Pareto Laws, Merdeka Belajar dengan Heautagogy

Pembelajaran yang saya lakukan hanya 30 menit ketika tatap maya, setelahnya untuk penugasan dan diskusi dilakukan secara asinkronus. Untuk menjaga kualitasnya saya mengusahakan selalu tatap maya. Dalam kegiatan tersebut digunakan prinsip Pareto, yaitu dengan meringkas kompetensi dasar yang ada dalam kurikulum, sehingga yang diterima oleh peserta didik adalah materi ajar yang esensial.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Memantaskan Diri Menjadi Guru yang Merdeka

Pendidikan bukanlah menabur benih pada dirimu, melainkan menumbuhkan benih-benih yang ada dalam dirimu (Jalaluddin Rumi)

            Hingar Bingar melanda dunia pendidikan kita ketika pandemi Covid 19 datang. Penutupan sekolah secara serentak dan mendadak membuat kebingungan bagi para guru. Terlebih lagi bagi para siswa dan orang tuanya karena ketidaktahuan bagaimana menyikapi keadaan tersebut. Pada waktu itu para pendidik seperti berjalan disebuah ruangan yang berliku tanpa adanya penerangan. Akhirnya insting berbicarara kepada hati untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran jarak jauh dengan menggunakan Whatsapp Group, saat itu juga era pembelajaran jarak jauh menggunakan teknologi informasi dimulai.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

            Rasa ragu muncul karena melihat tidak efektifnya pembelajaran jika hanya mengandalkan Whatsapp Group, beberapa pelatihan saya ambil mulai mengenai pembelajaran dengan menggunakan Microsoft, bersama Microsoft Indonesia, pembelajaran menggunakan rangkaian aplikasi dari Google bersama REFO Indonesia, hingga merancang Asesemen berbasis digital bersama Quizizz Indonesia.

            Pelatihan-pelatihan yang saya lakukan terasa kering sekali, bersifat teknis mengenai cara menggunakan platform aplikasi tersebut, tidak menyentuh faktor esensial mengenai pembelajaran yang bermakna untuk peserta didik. Setelah rangkaian pelatihan saya jalani, saya memilih untuk mengikuti dan menyimak bincang pendidikan yang dilakukan oleh beberapa tokoh dan praktisi pendidikan. Lembaga yang menginisiasi adalah Vox Populi Institute Indonesia. Pada saat itu saya mengikuti sesi yang berjudul Learning Loss Menjadi Learning Gain.

            Setelah dari pelatihan itu benar-benar saya dibuat pusing oleh kedua istilah asing itu. setelah berselancar melalui dunia maya saya menyadari bahwa arti dari learning loss adalah kehilangan kemampuan belajar yang dialami oleh peserta didik. Setelah mengetahui pengertian sederhana tersebut saya memberanikan diri untuk membaca jurnal-jurnal pendidikan dan artikel pendidikan mengenai Learning loss.

Berbekal rasa penasaran saya yang meledak-ledak akhirnya riset kecil-kecilan itu menjadi sebuah buku yang berjudul "Learning Loss di Indonesia: Serta Alternatif Solusi Pemecahannya" bersama dengan Penerbit Irfani. Rasa keingintahuan, dan keraguan mengenai pelatihan-pelatihan yang selama ini saya alami hanya bersifat teknikal, akhirnya saya memerdekakan diri untuk mencari apa permasalahan yang ada saat penutupan sekolah, dan apa yang harus dilakukan oleh guru untuk tetap melayani peserta didik secara optimal yang berakhir menjadi sebuah karya.  

Pareto Laws Untuk Merdeka Mengajar

Belajar dari masa lalu, hidup untuk hari ini, berharap untuk masa depan. Yang penting jangan berhenti mempertanyakan (Albert Einstein)

            Pada masa-masa belajar dan mengajar dari rumah kendala pembelajaran adalah sumber daya teknologi yang mahal, baik berupa kuota data internet maupun alat komunikasi digital seperti gawai dan juga laptop. Keluhan terbesar adalah bagaimana kuota data yang dimiliki peserta didik yang terbatas. Selain itu saya memikirkan bagaimana keadaan ekonomi keluarga peserta didik yang beberapa darinya ada orang tua murid yang terkena pemutusan hubungan kerja pada masa pandemi.

            Dari masalah tersebut saya berpikir bagaimana menyelesaikannya. Beruntungnya saya ketika berselancar di Youtube saat saya mengaktifkan fitur autoplay muncul video mengenai Prinsip Pareto (Pareto Laws). Prinsip Pareto ditulis dalam buku Living the Way 80/20 karya Richard Koch. Koch menceritakan bahwa untuk menggapai 80% hasil, usaha yang kita butuhkan adalah 20%. Argumen Koch membuat saya mencoba menyelami pemikirannya. Inti dari Parreto Laws adalah suatu kegiatan jika kita mengetahui hasil apa yang ingin kita dapatkan, kita bisa mencari cara super produktif untuk menggapainya dan mengabaikan cara-cara remeh yang memakan waktu dalam mengetahui hasilnya.

            Mengetahui hal tersebut saya langsung menyusun tujuan pembelajaran selama pandemi dengan menggunakan Prinsip Pareto. Apa yang saya susun? saya menyusun konsep pembelajaran yang paling sederhana serta menekan durasi pembelajaran tatap muka dikarenakan keterbatasan kuota peserta didik, sehingga lebih banyak waktu digunakan pembelajaran secara asinkronus oleh peserta didik.

            Walaupun ditekan sedemikian rupa menggunakan prinsip Pareto, kegiatan literasi tetap dilakukan. Dimulai dari pra pembelajaran, mereka mengisi presensi dengan berkewajiban menuliskan link cerita pada google form yang dipilihnya secara bebas dan merdeka. cerita yang dipilih peserta didik beragam, ada yang mengenai cerita rakyat, cerita fiksi, fabel, dan juga laporan berita terkini. kemudian menuliskan point point cerita yang dibacanya kembali pada google form presensi. Selain itu setelah berdoa saat memasuki awal pembelajaran saya memilih secara acak peserta didik untuk menceritakan kembali apa yang dia baca. Itulah salah satu ikhitiar saya menjaga kegiatan literasi tetap menyala selama masa belajar dari rumah.

             Pembelajaran yang saya lakukan hanya 30 menit ketika tatap maya, setelahnya untuk penugasan dan diskusi dilakukan secara asinkronus melibatkan aplikasi dari pelatihan-pelatihan yang saya ikuti. Untuk menjaga kualitasnya saya mengusahakan untuk selalu tatap maya. Dalam kegiatan tersebut kegiatan pembelajaran yang saya lakukan tetap menggunakan Prinsip Pareto yaitu dengan meringkas kompetensi dasar yang ada dalam kurikulum, sehingga yang diterima oleh peserta didik adalah materi ajar yang esensial.

            Apa hasil yang didapatkan selama menggunakan prinsip Pareto adalah waktu belajar yang efisien sehingga peserta didik dapat membantu dan berbakti kepada orang tuanya di rumah, peserta didik menjadi lebih fokus terhadap materi yang diringkas namun tidak menghilangkan esensi materi, dan terlebih guru dapat mengembangkan dan mengupgrade diri secara berkelanjutan melalui webinar yang diselenggarakan oleh Kemendikbud-Ristek, Dinas Pendidikan, maupun organisasi atau lembaga yang memiliki konsen terhadap pendidikan.

            Merdeka belajar yang diterapkan dalam kegiatan belajar dari rumah cukup sulit di implementasikan secara ideal oleh peserta didik, oleh karena itu ketika dibuka kembali sekolah dengan menyelenggarakan tatap muka terbatas, hal tersebut disambut oleh suka cita oleh sebagian besar guru, peserta didik dan juga orang tua murid.

Merdeka Belajar dengan Heautagogy

Guru jangan hanya memberi pengetahuan yang perlu dan baik saja tetapi harus juga mendidik si murid akan dapat mencari sendiri pengetahuan itu dan memakainya guna keperluan umum. (Ki Hadjar Dewantara)

            Merdeka belajar dan merdeka mengajar adalah suatu hal yang berkelindan. Pada prinsipnya sebelum menerapkan merdeka belajar guru harus menerapkan konsep merdeka mengajar. Merdeka mengajar menurut hemat penulis adalah, menerapkan kegiatan mengajar yang mengukur efektifitas, serta kebermanfaatan bagi peserta didik. Oleh karena itu proses mengajar harus secara kontinyu dievaluasi agar mengetahui sampai dimana efektifitas dan kebermanfaatanya.

            Terdapat tiga ilmu mengajar yang penulis ketahui, yaitu pendagogik, andragogik dan heautogogik (heautagogy). Satu diantaranya baru penulis kenal yaitu heautagogik. Heutagogik ialah studi tentang pembelajaran mandiri, yang menerapkan pendekatan holistik untuk mengembangkan kemampuan peserta didik, dengan menempatkan peserta didik sebagai ‘agen utama dalam pembelajaran mereka sendiri, yang terjadi, sebagai akibat dari pengalaman pribadi’ (Hase dan Kenyon: 2007).

            Penulis merupakan guru kelas VI Sekolah Dasar. Dari hari kehari saya melihat bahwa peserta didik aktif dalam mengaktualisasi diri ke dalam media sosial miliknya, seperti Tiktok, Youtube, Instagram dan lain-lain. Dikarenakan isu tersebut saya mulai memikirkan apakah bisa saya mengkorelasikan media sosial sebagai wahana mereka mengaktualisasikan diri sebagai kegiatan belajarnya. Dari definisi heatugogy itu saya menyadari bahwa, mereka pasti bisa menjadi penyaji ilmu pengetahuan dan memproduksi konten yang bermanfaat.

            Pelajaran dikelas saat itu materi mengenai perkembangbiakan hewan secara vegetatif. Saya memaparkan hanya 20% materi pembelajaran, kemudian 80% saya memberikan langkah kerja membuat sebuah proyek (Project Based Learning) Menebar Pengetahuan Pada Media Sosial. Saat diberikan langkah kerja peserta didik bebas memilih untuk tumbuhan apa, jenis vegetatif buatannya apa, dan platform mana yang dia pilih untuk mengupload karyanya, sehingga merdeka belajar menjadi gagasan yang membumi. Dengan cara itu peserta didik lebih mendapatkan pengalaman belajar yang bermakna, sekaligus melatih skill komunikasi dan berpikir kritis yang menjadi salah satu keahlian yang diperlukan pada Abad 21 yang dinyatakan oleh UNESCO. 

Sekian kisah yang bisa saya bagikan, Kaum Guru tetap semangat menebar manfaat!

 

 

Ikuti tulisan menarik Reszky Fajarmahendra Riadi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu