Peluang Selamatkan Anggaran Pendidikan dari Makan Bergizi Gratis

3 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Siswa SMP PGRI Cianjur diduga korban keracunan makanan makan bergizi gratis menjalani perawatan di ruang instalasi gawat darurat RSUD Sayang, Cianjur, Jawa Barat, 22 April 2025. Tempo/Deden Abdul Aziz
Iklan

Mengapa porsi anggaran MBG tidak dikurangi atau dipindahkan ke anggaran lain, misalnya ke sektor kesehatan atau perlindungan sosial?

***

Ketika memainkan media sosial sebagai seorang guru, saya sering terperangah dengan derasnya arus informasi yang muncul di layar. Beberapa hari lalu, rasa geram muncul ketika saya melihat potongan video yang menunjukkan seorang pejabat publik menyebut guru sebagai “beban negara.” Bagi saya, ucapan itu jelas menghina martabat profesi guru. Namun, sebelum larut dalam amarah, saya memilih bersikap lebih dewasa dalam bermedia sosial. Alih-alih langsung memaki, saya mencari rekaman utuhnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Hasilnya ternyata berbeda jauh. Video itu adalah deep fake. Wajah Menteri Keuangan, Sri Mulyani, dimanipulasi sedemikian rupa sehingga tampak meyakinkan. Padahal, dalam rekaman asli pidatonya di Forum Konvensi Sains, Teknologi, dan Industri Indonesia di ITB pada 7 Agustus 2025, tidak ada sama sekali pernyataan bahwa guru adalah beban negara. Bahkan, Sri Mulyani secara terbuka membantah narasi itu.

Sayangnya, banyak orang terlanjur percaya. Rasionalitas hilang digantikan emosi. Akun resmi Menkeu diserbu komentar pedas, sebagian bahkan bernada tidak pantas. Fenomena ini menegaskan betapa mudahnya publik digiring oleh potongan video singkat, tanpa upaya klarifikasi. Di sisi lain, ada juga kelompok kecil yang berusaha mencari informasi lebih dalam. Dari sanalah saya memahami substansi sebenarnya: Sri Mulyani justru mempertanyakan apakah masalah kesejahteraan guru dan dosen bisa sepenuhnya ditopang oleh APBN, atau perlu dicari solusi eksternal.

Mari kita tengok angka-angka anggaran pendidikan 2026. Jumlahnya fantastis: Rp 757,8 triliun, naik dari outlook 2025 yang sekitar Rp 690,1 triliun. Dari total itu, Rp 223,6 triliun dialokasikan untuk Makan Bergizi Gratis (MBG)—sekitar 29% dari total anggaran pendidikan. Anggaran untuk guru, dosen, dan tenaga kependidikan juga direvisi naik dari Rp 178,7 triliun menjadi Rp 274,7 triliun, karena sebelumnya belum mencakup gaji dan tunjangan di semua wilayah.

Revisi ini menarik, sebab muncul setelah kritik publik bahwa porsi MBG tampak lebih besar daripada kesejahteraan guru. Sebelum revisi, alokasi MBG bahkan disebut mencapai 44% dari anggaran pendidikan jika dihitung bersama dana lintas sektor (kesehatan, ekonomi, dan cadangan), yaitu total Rp 335 triliun. Namun, angka yang benar-benar murni dari pos pendidikan adalah Rp 223,6 triliun. Meski demikian, kekhawatiran guru cukup beralasan: apakah masuk akal jika hampir sepertiga anggaran pendidikan diarahkan untuk program konsumsi, sementara peningkatan profesionalisme dan kesejahteraan guru selalu dibilang masih menjadi tantangan?

Pertanyaan ini semakin tajam karena di lapangan, MBG belum berjalan mulus. Program ini memang idealis: memastikan anak Indonesia tumbuh sehat dengan gizi seimbang. Namun, kritik bermunculan—distribusinya belum merata, pengawasan masih lemah, bahkan ada kasus anak mengalami keracunan akibat kelalaian penyajian. Di titik inilah muncul kegelisahan: mengapa porsi MBG tidak dikurangi atau dipindahkan ke anggaran lain, misalnya ke sektor kesehatan atau perlindungan sosial?

Belajar Dari Singapura 

Du Bois dan Wright dalam Harvard Negotiation Project (2001) menyatakan bahwa “the only successful conflict resolution is a win-win agreement.” Prinsip ini relevan dengan tarik-ulur anggaran MBG dan kesejahteraan pendidik. Pemerintah ingin menjalankan MBG dengan idealisme mulia, tetapi guru dan dosen juga berharap jaminan hidup yang lebih baik. Bagaimana mencari titik temu?

Menurut saya, jawabannya ada pada pelibatan komunitas. Mari belajar dari Singapura. Tahun 1990, ketika pemerintah setempat menghadapi tuntutan penyediaan penitipan anak di kawasan apartemen, solusi yang ditempuh bukan semata dari negara. Warga diajak mendirikan pusat penitipan berbasis komunitas melalui proposal dan iuran. Pemerintah hanya menanggung 80% biaya pembangunan, sementara sisanya berasal dari warga dan komunitas itu sendiri. Hasilnya? Partisipasi publik tumbuh, rasa memiliki menguat, dan kebutuhan anak bisa terpenuhi tanpa membebani anggaran secara penuh.

Model serupa bisa diterapkan pada MBG. Bayangkan jika Bupati, Walikota, Gubernur, staf pemerintah daerah, dermawan, dan perusahaan peduli pendidikan duduk bersama menyusun basis data kebutuhan gizi anak. Masyarakat diajak urun iuran, baik dalam bentuk dana, bahan pangan lokal, atau tenaga. Pemerintah kemudian hadir untuk menutup kekurangannya. Dengan begitu, MBG tidak lagi hanya menjadi program top-down yang rawan salah sasaran, tetapi berubah menjadi gerakan sosial yang menumbuhkan solidaritas.

Selain itu, pendekatan berbasis komunitas akan mendorong kreativitas lokal. Daerah yang memiliki hasil pertanian berlimpah bisa memanfaatkannya untuk memenuhi menu MBG. Industri kecil kuliner bisa dilibatkan sebagai penyedia makanan dengan standar gizi. Semua pihak mendapat manfaat, dari petani hingga pedagang kecil.

Maslow pernah menyatakan bahwa orang dengan kesadaran sosial bisa keluar dari egonya, larut dalam kepentingan komunitas, dan berkontribusi. Dalam konteks MBG, kesadaran kolektif ini penting. Masyarakat merasa ikut memiliki program, bukan sekadar menjadi penerima. Anak-anak mendapatkan gizi yang baik, guru bisa fokus mengajar tanpa resah soal kesejahteraannya, dan pemerintah tidak kehabisan anggaran untuk membiayai semua sendiri.

Penutup

Pendidikan adalah hak semua orang, dan guru adalah pilar utamanya. Negara wajib melindungi keduanya. Namun, jika program seperti MBG menguras porsi besar APBN pendidikan, maka perlu keberanian untuk mencari jalan lain. Pelibatan komunitas bisa menjadi opsi strategis: meringankan beban anggaran, menumbuhkan rasa memiliki, sekaligus memastikan bahwa anak-anak tetap mendapat makanan bergizi.

Karena pada akhirnya, tujuan pendidikan tidak hanya mencerdaskan, tetapi juga menyehatkan dan menyejahterakan. Persoalannya tinggal: apakah kita cukup berani mengubah cara pandang bahwa program besar tidak harus selalu digerakkan sepenuhnya oleh negara, melainkan bisa ditopang oleh kekuatan masyarakat?

 

 

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Reszky Fajarmahendra Riadi

Guru Sekolah Dasar & Pecandu Belajar

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler