x

Iklan

Dodo Hinganaday

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 November 2021

Jumat, 26 November 2021 21:14 WIB

Tanpa Lidah


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mungkin memang tak seharusnya aku lahir dengan lidah. Atau, mungkin sekalian saja aku tercipta tanpa mulut. Toh orang tidak ada yang tertarik pada ceritaku. Namun, mereka seolah-olah berusaha memasukkan aku ke dalam perangkap ocehan mereka. Terus, terus begitu. Berjam-jam, berhari-hari, bertahun-tahun. Sampai aku tidak sadar, rambutku sudah memutih. Bukan hanya rambutku. Bahkan, bulu hidungku juga memutih.

Seperti saat ini, aku sedang memelototi Prabu, teman kosku. Sudah kira-kira satu jam dia mengoceh, tanpa memberiku kesempatan untuk bicara. Sementara itu, laptop di hadapanku masih terbuka. Tugas makalah di dalamnya memohon belas kasihan, menuntut perhatianku juga karena akan dikirimkan pada dosen nanti malam.

"Sabar ya, tugas-tugasku, setelah ini kalian akan kugarap," kataku dalam hati, sambil melirik laptop.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

"Eh, Jok, lu dengerin gue atau nggak sih?"

"Iya, Prabu. Kamu nggak lihat mataku melototin kamu dari tadi?"

"Habisnya lu malah kelihatan kayak orang ngelamun gitu sih."

Dan dia melanjutkan cerita. Lebih tepatnya gosip. Atau keluhan. Atau sindiran. Atau...ah, semuanya tersaji lengkap di dalam ceritanya. Sampai kupingku panas, mataku berair, dan perutku kenyang dengan ceritanya. Ya, aku sampai lupa, aku belum makan. Dan Prabu mungkin lupa, dia belum bernapas selama lebih dari satu jam terakhir.

"Prab, aku makan dulu ya. Laper nih, tadi siang belum makan."

"Bentar lagi deehh…Ah, masa lu tega sih sama gue? Katanya lu temen yang paling setia?"

Dan dia kembali melanjutkan ocehannya. Dan aku kembali memelototinya. Kali ini soal Rina, pacarnya, yang kemarin datang untuk minta putus.

"Ya wajar saja Rina minta putus. Pacarnya saja kayak begini. Cuma aku yang betah menjadi temannya," batinku.

Syukurlah, akhirnya episode soal Rina berakhir. Prabu ingat harus menyelesaikan makalah untuk dikirim nanti malam. Selama satu jam sebelumnya, aku sudah dibanjiri Prabu soal Pak Fairus si dosen sok galak, yang terus meneror mahasiswanya dengan dua kata, "Mana makalahmu?" Belum lagi episode mengenai ibunya yang meminta Prabu agar segera menyelesaikan kuliah, lalu menikah. Rupanya ibunya sudah kebelet pengin punya cucu. Sementara itu, episode Rina berakhir dengan keputusan Prabu untuk mempertahankan hubungan cintanya.

"Berjuang terus, Prab. Pantang mundur!" Itu kataku sambil mengepalkan tangan ala Bung Tomo dalam perang kemerdekaan di Surabaya. "Ya, karena belum tentu ada perempuan lain lagi yang mau sama kamu," kataku dalam hati.

Kulirik lagi laptopku. Makalah-makalahku menatapku balik, memohon perhatian. Tapi, akhirnya aku berbohong pada mereka, tidak menepati janjiku tadi. "Maaf, makalah-makalahku, tubuh dan pikiranku terlalu lelah. Besok kalian akan kugarap kalau aku ingat," kataku dalam hati, sambil memikirkan strategi untuk memohon belas kasihan dari Pak Fairus. Kusiapkan mentalku juga, agar tabah menghadapi pelototannya. Yang pasti, dia tidak akan mau mendengar cerita dan alasan yang kubuat.

***

Sudah hampir satu jam Rina tersedu-sedu di hadapanku. "Aku nggak kuat. Prabu maunya terus-terusan ngoceh tanpa mau dengerin aku," kata Rina sambil mengusap air matanya.

"Memang betul, Rina, akupun capek mendengarkan dia," batinku. Ingin aku mengatakan hal itu langsung di depannya.

Tapi, belum sempat aku bicara, Rina melanjutkan kisah merananya. Dan aku melotot, supaya dia tahu, aku serius mendengarkan.

Ah, Rin, dirimu ya sama saja sebenarnya. Bisa jadi kamu lupa kapan terakhir kali mendengarkan suaraku. Jangan-jangan kamu lupa, orang di hadapanmu ini juga punya suara dan bisa berbicara. Atau, mungkin kamu cuma mau mengungkapkan kerinduan. Kamu rindu untuk didengarkan. Tapi, kalau begitu, kepada siapa aku harus meluapkan kerinduanku? Siapa yang mau mendengarkanku?

Akhirnya kisah cinta Rina yang mengharukan itu berakhir. Tapi ceritanya belum berakhir. Dari Prabu, topik beralih ke Pak Fairus, yang marah-marah karena banyak mahasiswa belum mengumpulkan makalah. Termasuk aku. Dan Rina mengeluh panjang lebar mengenai Pak Fairus. Menurutnya, Pak Fairus bagaikan raksasa bengis pemakan anak-anak.

Sebelum disantap, anak-anak itu akan diayun-ayun terlebih dulu di atas mulutnya yang menganga. Supaya terbit rasa takut dalam hati anak-anak itu. Supaya mereka pasrah, lemas, tidak memberontak, dan bisa dicerna dengan mudah oleh si raksasa Fairus. Dan, syukurlah, Rina bercerita sambil tertawa. Sejenak lenyap dari hatinya, kabut sendu yang dibawa oleh Prabu. Setidaknya aku bisa ikut tertawa mendengarkan ceritanya.

Obrolan beralih ke keluarga Rina, yang ternyata tidak setuju dia berpacaran dengan Prabu. Eh maaf, aku lupa, ini bukan obrolan, tapi monolog dengan Rina yang menjadi tokoh utamanya. Atau, bisa juga disebut siaran radio. Dan dia mengaku, mungkin sudah saatnya mendengar keluarganya. "Pria itu tidak bisa dipegang omongannya," kata Rina, menirukan ibunya yang bersuara seriosa. Persis seperti Madam Castafiore dalam cerita Tintin. Sedangkan, menurut Rina, "Pria itu terlalu banyak omong sehingga nggak ada kata-katanya yang bisa dipegang." Dan, batinku, aku juga adalah pria yang tidak bisa kamu pegang kata-katanya, Rin. Jangankan memegang, bahkan kamu tidak memberiku kesempatan untuk berkata-kata.

***

Itulah hidupku setiap hari. Dengan Prabu, kisah berulang antara Rina, orangtuanya yang pengin dia cepat kawin, dan Pak Fairus yang terobsesi pada makalah. Bersama Rina, cerita berputar, mulai dari Prabu, Prabu, dan Prabu. Jika sudah puas, ia berpindah ke topik soal keluarganya, lalu membicarakan Pak Fairus. Itu-itu saja, seolah jalan hidupku tiada lain kecuali mengurusi kisah-kisah Prabu dan Rina.

***

"Aku udah minta putus dari Prabu. Dan itu harus terlaksana," tegas Rina. Mantap. Dan aku masih memelototi dirinya.

"Kok kamu melototin aku begitu sih?" Setelah sekian lama berteman dengannya, akhirnya aku diberi kesempatan untuk bicara.

"Iya, biar kamu tahu kalau aku bener-bener dengerin kamu."

"Tapi aku baru sadar kalau kamu dengerin aku sambil melototin begitu."

"Padahal, selama ini aku ya ngeliatin kamu kayak begitu, Rin."

Dan, entah mengapa, suasana tiba-tiba hening. Kami terdiam seketika. Rina terlebih dulu membuka suara.

"Eh, kamu kan cowok juga."

"Ya iyalah," ujarku tersinggung. Memang dipikirnya selama ini aku apa?

"Dan kita udah kenal lama."

"Terus?" Aku bertanya, tidak lagi melotot, tapi menaikkan alis.

"Kenapa kita nggak jadian aja? Kamu juga baik, Jok, betah dengerin ocehan aku."

Eh, lha kok jadi begini?

"Waduh, jangan gitu dong, Rin. Gue nggak enak sama Prabu." Spontan saja aku berbicara dengan gaya seperti Prabu. Gaya anak gaul Jakarta.

"Biarin aja. Pokoknya gue maunya sama lu."

***

Aku sedang terdiam memikirkan kata-kata Rina tadi siang ketika Prabu memasuki kamarku. "Waduh, jangan-jangan Rina sudah bilang ke Prabu," batinku tidak enak. Prabu bersila di hadapanku. Wajahnya serius.

"Joko," mulainya, "gue perlu bicara sama lu."

"Tiap hari kan udah kayak begitu, Prab."

"Nah, justru itu, Jok." Ia mendadak terdiam, lalu menghela napas. Aku menyimak dengan seksama.

"Gue rasa, emang mendingan gue putus sama Rina." Aku kaget mendengarnya. Tiba-tiba saja hatiku deg-degan.

"Gue seneng lu mau jadi temen gue selama ini, Jok. Lu banyak dengerin keluhan gue. Lu setia banget dampingin gue." Dia terdiam lagi. Aku ikut diam, menyiapkan hati dan telinga untuk mendengar lebih lanjut.

"Terus?" Kali ini pun aku tidak melotot, tapi hanya menaikkan alis. Dia masih terdiam, lalu menghela napas.

"Mungkin gue nggak cocok sama cewek, Jok. Gue perlahan sadar: gue jatuh cinta sama lu."

Aku bagaikan tersambar geledek demi mendengar kata-kata Prabu. Sekarang aku cuma bisa melongo. Tidak ada sepatah katapun yang bisa terucap oleh mulutku.

***
Enam bulan berlalu. Ibu memintaku untuk pindah tempat kuliah. Supaya aku bisa membantunya merawat ayahku yang sedang sakit. Untuk menemani ibuku agar sabar menghadapi ayah.

Di tempatku yang baru, tidak ada lagi dosen seperti Pak Fairus, yang begitu terobsesi dengan makalah. Yang siap menyantap mahasiswanya jika mereka belum mengumpulkan tugas.

Oh iya, kalau kalian ingin tahu kelanjutanku dengan Rina dan Prabu...ya ada lanjutan cerita dari kami bertiga.

Prabu tetap menjadi temanku. Kalian perlu tahu: kami tidak berpacaran. Aku sadar masih tertarik pada perempuan. Tapi, semenjak aku pindah, dia tidak lagi ada teman berbagi cerita. Hari-harinya sekarang lebih banyak dihabiskan untuk menyelesaikan tugas makalah dari Pak Fairus. Dan, amat mengejutkan, sekarang ia menjadi anak emas Pak Fairus. Ia menjadi mahasiswa yang paling rajin dan tepat waktu mengumpulkan tugas.

Bagaimana dengan Rina? Mengejutkan, dia memilih ikut pindah ke kampus yang sama denganku. Di sana dia lebih banyak senyum dan tertawa, terutama karena tak perlu lagi dia berjumpa dengan dosen seperti Pak Fairus. Atau pria seperti Prabu. Dia masih tetap ceriwis. Tapi, sekarang dia lebih mau mendengarkan. Aku pun jadi senang masih punya lidah.

Ikuti tulisan menarik Dodo Hinganaday lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler