Firman Hening
Senin, 29 November 2021 10:28 WIB
Pembuluh darah Firman rasanya mau pecah. Desirannya begitu cepat mengalir ke seluruh tubuh. Sekali lagi ia tatap foto gadis manis itu. Akun Facebooknya tertulis Hening. Duduknya mulai gelisah. Tangannya sibuk memutar-mutar mouse laptop, mengarahkan cursor untuk mencari jejak identitas profil itu. Dalam beberapa menit ia juga menemukan foto lukisan selain foto gadis itu. Firman suka dengan dugaannya sendiri bahwa Hening seorang seniman.
Layar laptopnya berkedip. Hembusan angin malam menyentuh tengkuknya, berhembus dari jendela kamar yang terbuka. Ia tak peduli dengan rasa atisnya. Terus saja matanya mencari foto dan komentar dari para teman Hening. Tapi, tak satupun ia mengenal mereka. Semuanya memuji kecantikannya . Namun tak pernah ada komentar balasan. Ini membuat hati Firman merasa lega untuk kedua kali.
Firman beralih membaca status-status Hening satu persatu. Semuanya tentang kepedihan atau kesunyian. Ia sangat suka salah satu status yang ditulis. “Sunyi ini mengantarku pada kerinduan tak bertepi. Entah pada apa dan siapa. Banyak cinta diucapkan, namun banyak orang tak memahami cinta itu sendiri.” Status ini terasa cengeng, tapi bagi Firman serasa mewakili dirinya. Hidup dalam dunia yang paradoks. Terjebak dalam rutinitas, mekanik seperti robot.
“Facebook itu dunia yang asik dan luas, kau harus ikut,” kata temannya waktu itu.
“Mungkin kau akan mendapatkan cinta di sana.” Temannya benar. Semua memang menjadi tak terlalu sepi. Ia menikmati. Meskipun begitu, ia tak juga mendapatkan cinta. Kenyataan itu masih membuatnya kesepian. Jadi, ketika ia melihat profil Hening, semangatnya seolah bangkit. Dan ia tak ingin melepaskan kesempatan itu.
Firman melihat tanggal status yang ditulis gadis itu sekitar dua hari lalu. Ia kemudian memberikan tanda suka dan memutuskan mengirim pertemanan. Hanya dalam hitungan menit, permintaan Firman direspon. Tanggapan yang cepat itu membuat hatinya senang bukan kepalang. Seolah tak ingin membuang waktu dengan sia-sia –segera saja ia mengirim pesan.
“Terima kasih sudah menerimaku sebagai teman,” tulisnya.
Tak ada balasan dari pesan yang dikirimnya. Bahkan setelah menjelang pagi. Firman kecewa. Ia mencoba mengabaikannya. Tapi gagal. Otaknya dipenuhi bayangan Hening. Kegelisahannya memuncak, dan akhirnya membatalkan niatnya untuk tidur sejenak. Ketika ia kembali membuka akun FB-nya, ia mendapatkan pesan. Buru-buru ia baca pesan itu.
Sama-sama. Hanya itu isinya.
Tapi itu cukup membuat semangat Firman pulih. Lalu ia mencoba membangun komunikasi. Ia pikirkan tema dan kalimat agar tersambung dengan pribadinya. Setelah berpikir sejenak, ia kemudian menuliskan beberapa kalimat, “ maafkan bila dianggap lancang. Tapi saya menyukai statusmu.”
Firman kembali menunggu. Tegang berharap. Ia lupa ia harus berangkat kerja pagi nanti. Setelah lebih dari satu jam, ia sadar, gadis itu tak lagi menjawabnya. Dengan kecewa, ia tutup laptopnya. Jam menunjukkan pukul 5:30 pagi. Di luar gelap berangsur terang. Kokok ayam bersahutan. Ia bergegas mempersiapkan dirinya untuk bekerja tanpa tidur sejenak. Sepanjang perjalanan di dalam bus, pikirannya menyempit, terkurung dalam kotak pesan Facebook. Tangannya terus memegang ponselnya, dan matanya terpaut di layar hingga ia tiba di kantor.
Ketika istirahat makan siang, semua kegelisahannya sirna. Hening membalas kembali pesannya. Kali ini Firman belajar bersabar. Ia mencoba mengoreksi kebiasaan prasangkanya. Ia mulai paham, tidak perlu tergesa untuk mendapatkan jawaban. Dengan perasaan ringan, ia hanya membaca sejenak pesan itu. Tapi, ia memutuskan tak segera membalasnya. Matanya hanya menatap layar ponsel-nya. Sementara otaknya mencoba menghitung kemungkinan yang akan terjadi. Dari jawaban diterima, ia yakin bahwa komunikasinya dengan gadis itu akan lancar. Harapannya itu memang terbukti. Setelah beberapa waktu, Firman dan Hening menjadi teman yang saling mengisi kekosongan sejak saat itu. Mereka berbalas pesan nyaris tiap waktu.
**
Dalam sekian bulan, hubungan mereka tiba-tiba berubah menjadi semacam sepasang kekasih. Meskipun mereka belum pernah saling bertemu muka. Itu tak masalah bagi Firman. Ia bahkan mengatakan bahwa hubungan mereka mewarisi kisah cinta paling legendaris milik Khalil Gibran dan May Zaidah. Jarak Kota New York tempat tinggal Khalil Gibran, dan Kota Mesir yang dipisahkan benua, tempat di mana penyair May Zaidah berumah adalah sekedar jarak material. Hati mereka berpaut tanpa jarak, dan tanpa fisik. Mereka tak pernah bertemu hingga Khalil Gibran meninggal dunia di tahun 1931. Kisah cinta mereka begitu murni, tulis Firman suatu ketika.
“Cinta,” tulis Firman kemudian, “ adalah dunia yang tak terlalu membutuhkan keadaan fisik. Ia adalah persenyawaan rasa pada substansinya. Ia tak menimbang angka dalam ruang dan waktu. Ia adalah pertemuan gagasan dan perasaan.”
“Bukankah fisik kita butuhkan agar sensasi erotis kita terpenuhi?” Balas Hening.
“Iya, namun fisik hanyalah sarana. Ia semacam alat agar cinta bisa menjadi subur dan tumbuh berkembang. Proses kimiawi yang menguar dari tubuh kita adalah alat identifikasi –di mana aku mencium bau harum tubuhmu dan mengekalkannya dalam ingatanku sebagai tubuh dari roh yang kucintai tanpa pretensi.”
“Hanya itu?”
“Iya, seperti itu.”
“Lihatlah,” sambung Firman, “bukahkah kita sering menyaksikan perceraian dari orang-orang yang sebelumnya mengandalkan pertemuan fisik, saling mengagumi tubuh mereka dan juga berbekal kekayaan materi mereka –yang sebelumnya, mereka kira akan membuat cinta mereka langgeng?”
“Iya, benar, aku sering melihatnya. Apakah dengan demikian, kamu tak mempedulikan fisik?”
“Aku tak mempedulikan yang material. Bagiku, cinta sejati tumbuh dari alam roh kita, bukan tubuh kita.” Lanjut Firman menegaskan.
“Benarkah?”
“Benar.”
“Terima kasih,” tulis Hening setelah beberapa jam kemudian. “Aku menghargainya jika kamu berkata benar.”
Namun setelah itu Firman punya rencana.
“Sebaiknya kita mulai bertukar nomor telepon dan kita harus segera bertemu. Aku ingin melihat lukisanmu secara langsung.” Tulis Firman dengan penekanan tertentu. Ia berharap Hening membalasnya dengan lebih hangat. Namun, saat itu, ia bahkan tak mendapatkan balasan hingga beberapa hari kemudian.
Firman mulai panik, ketika pesan terakhirnya tak dibalas begitu lama. Ia mencoba bersabar menunggu, namun setelah tiga hari, ia mulai sadar bahwa ada sesuatu yang membuat gadis itu tak membalas. Benaknya tak henti bertanya apa yang terjadi. Di saat itu, tiba-tiba ia merasakan ketakutan kehilangan. Lalu, ia mencoba menghubungi lagi dengan menulis permintaan maaf. Menjelang tengah malam, Firman mendapatkan balasan Hening.
“Aku baik-baik saja,” tulis Hening.
“Benarkah? Jangan menutupi sesuatu. Kita harus saling menjadi buku yang terbuka bagi diri kita,” pinta Firman.
“Tak apa, aku hanya merasa takut kamu berkata seperti itu.” Tulis Hening.
“Apa yang kamu takutkan? Bukankah aku sudah katakan semuanya?”
“Aku takut bertemu kamu.”
“Kenapa?”
“Tidak apa-apa. Sebaiknya kita seperti ini, seperti katamu, kita mewarisi kisah cinta Khalil Gibran dan May Zaidah.”
“Tapi pertemuan kita akan menyempurnakan hubungan kita. Kisah Khalil Gibran hanya sebagai pembentuk perasaan kita agar semua tidak mudah rusak. Percayalah. Khalil Gibran juga berniat bertemu May Zaidah.” Firman mencoba meyakinkan.
“Aku takut kamu berubah bila bertemu aku nanti,” jawab Hening.
“Tidak ada yang akan berubah, percayalah, Dewi.”
“Benarkah?”
“Benar, percayalah padaku.”
Satu jam kemudian Hening mengirim jawabannya.
“Baiklah, kalau begitu. Kuberikan nomor teleponku. Hubungi aku jika kamu mau datang ke studioku.”
“Nah, aku lega, Dewi. Kita akan segera bertemu.”
Percakapan akhir itu membuat seluruh tubuh Firman bereaksi keras. Tubuhnya terasa ringan. Ia melihat masa depannya seperti musim semi yang mencairkan seluruh kebekuan hatinya selama ini. Ia melihat bayangan Hening telanjang dan menyatu dalam hasrat erotisnya yang bangkit. Didorong hasrat yang menggebu, Firman segera memesan tiket pesawat menuju kota gadis itu.
Dua hari kemudian, sore menjelang senja, seorang pria muda berusia sekitar 25 tahun berkulit bersih, berwajah cantik menemui Firman di sebuah studio lukis. Ia menyilakan Firman duduk di kursi sofa berwarna krem. Beberapa lukisan terpasang di tembok bercat biru tua. Pria muda itu duduk menghadap Firman yang gugup. Dalam ruangan itu terdengar lagu Killing Me SoftlyWith His Song versi Lori Lieberman.
“Boleh saya bertemu Hening.” Kata Firman sopan. Pria muda itu tersenyum.
“Saudaranya Dewi? Tanya Firman melanjutkan. Tapi, Pria muda itu hanya diam. Menunduk seperti tangkai bunga patah. Lalu, wajahnya berubah muram. Firman menatap pria muda itu. Ia tak tahu harus melakukan apa. Beberapa menit sebelum Firman bicara, pria muda itu mengatakan sesuatu yang tak jelas.
“Maaf?” Firman mencoba meminta ulang.
Pria muda itu menegakkan kepalanya, dan mengulang kalimatnya dengan lebih jelas. Matanya berair. Katanya, seharusnya mereka tidak perlu betemu. Firman terhenyak. Ia menatap tak percaya.
“Kamu Hening?” Suara Firman seperti tertelan. Gugup melihat pria muda itu mengangguk pelan, dan menangis sebagai gadis. Firman terdiam. Memejamkan matanya beberapa saat. Suara Lorin Liebermen menjadi begitu jelas dalam telinganya, memantul-mantul dalam dinding jiwanya. Merontokkan harapannya. Firman tak tahu harus berbuat apa. Ia duduk mematung dan menatap tak percaya sekali lagi pada sosok di hadapannya. Ada perasaan ngilu dalam hatinya. Tapi ia tak bisa marah. Ada dua kenyataan yang harus ia hadapi: Mencintai gadis bernama Hening. Tapi tak berhasrat pada tubuh laki-laki.
“Kau benar,” akhirnya Firman berkata lirih. “Seharusnya kita tidak perlu bertemu.”
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Kalimat Pendek dan Panjang dalam Sastra
Selasa, 18 Juli 2023 12:24 WIBSetan Rumah B2A
Rabu, 1 Desember 2021 13:40 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler