x

Ilustrasi Karya Airly Siswa Jurnalistik SMP Yayasan Pupuk Kaltim Bontang

Iklan

Kata Bu Retno

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 25 November 2021

Senin, 29 November 2021 10:32 WIB

Takut Durhaka Covid

Takut durhaka Covid adalah sebuah refleksi agar ketakutan kita kepada virus ini tidak melebihi ketakutan kita terhadap kedurhakaan kita kepada ibunda tercinta. Cinta akhirnya dapat menyembuhkan Ibu dari virus mematikan ini.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Langit masih mendung. Awan hitam masih berarak di atas bumi. Angin dan suara parau burung gagak hampir setiap hari mengabarkan berita duka cita di atas langit suram. Badai Covid-19 sudah menghitamkan zona tempat tinggalku. Berita medsos tak hentinya memperbarui data pasien yang  positif  bertambah dan juga pasien yang pada akhirnya harus kalah bergelut dengan virus yang menutup jalur udara manusia. Suasana tambah mencekam ketika virus ini sudah sampai ke rumah kami. Ya, Allah suamiku orang pertama yang dinyatakan positif. Setelah beberapa hari ia mengeluh badannya tak enak.

 “Ya sudah, habis magrib istirahat,” jawabku berusaha tenang dan ingin menganggap panas biasa. Akan tetapi rasa khawatirku tak bisa hilang, aku berusaha tenang menyiapkan baju dan sarung untuknya solat sambil berbaring. Setelah itu aku sempatkan minumkan parasetamol untuknya. Setelah itu kubiarkan suamiku tidur.

Setelah Isya, aku kembali ke kamar, dan masih panas. Dadaku semakin berdesir. Aku bergegas meraih HP dan menghubungi salah satu kerabatku minta diantar ke RS. Hingga akhirnya suamiku sudah tiba di UGD RS terdekat. Petugas berpakaian APD lengkap menyambut suamiku yang didudukan di atas kursi roda menuju ke tempat tidur UGD.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Akhirnya hasil yang tidak kami harapkan harus kami terima, suamiku positif Covid-19, maka akupun akhirnya harus SWAB juga. Alhamdulillah, aku masih bersyukur bahwa aku negatif. Sejak itu aku harus memasrahkan suamiku untuk diisolasi di RS tanpa aku temani.

“Bu, alhamdulilah kondisi Mas masih stabil. Ibu tenangkan diri saja. Kita di sini hanya bisa mendoakan. Bu, aku minta maaf jika di dalam rumah kita pakai masker, ya, Bu. Demi menjaga semuanya,” kataku menenangkan Ibu dan diriku sendiri. Ibu yang mulai menua juga aku khawatirkan.

Kondisi suamiku tidak sampai drop. Opname satu minggu, kemudian hasil tes SWAB pertama dan kedua negatif. Alhamdulillah, terima kasih ya, Allah. Suamiku pulang kembali ke dalam pelukanku. Akan tetapi kebahagiaan itu tidak lama, hanya kurang lebih sebulan saja. Allah masih menguji kami.

Di siang itu sehabis solat Dzuhur, “Mbak, kepala Ibu pusing, perut ndak enak, badan rasa pegal-pegal, ndak enak rasane,” keluh Ibu.

Aku tersentak, segera memegang dahi Ibu, “Ndak panas, Bu. Sejak kapan rasanya?’’ ttanyaku dengan nada khawatir.

“Tadi jam 10-an, Mbak. Makanya Ibu tidur lagi tadi habis Duha,” jawab Ibu.

“Mau di periksakan?” tanyaku hati-hati.

“Wes, gak usah. Coba minum obat maag sama parasetamol saja,” jawab Ibu.

“Ya sudah, Ibu sekarang istirahat lagi. Aku siapkan obatnya, ya Bu,” kataku lagi sambil membantu Ibu berdiri.

Setelah itu diam-diam aku menelpon suamiku dan adikku megabarkan kondisi Ibu. Sore  hari ketika suamiku pulang kerja dan adikku juga sudah hadir di rumah menyaksikan kondisi Ibu tidak lebih baik, bahkan Ibu mengeluh sesak napas. Kami tak berpikir panjang lagi langsung membawa Ibu ke RS yang sama dengan suamiku. Ya Allah, kekhawatiranku kali ini dua kali lebih daripada ketika aku membawa suamiku. Kondisi Ibu yang sudah mulai menua dan gejala-gejala Covid-19 sepertinya ada pada Ibu. Sampailah kami di UGD yang kata perawatnya penuh. Akhirnya ibu bisa diberikan oksigen untuk pertolongan pertama lalu tes SWAB. Aku pun tidak dapat mendampingi Ibu. Aku pasrah di selasar UGD. Hasil tes Ibu positif tetapi tidak ada ruang perawatan, hanya bisa ditampung sementara di UGD. Kami panik.

Akhirnya aku menelpon kerabat yang mempunyai wewenang besar di RS. Beberapa kali aku diminta menghubungi orang yang bisa mengambil keputusan. Akhirnya aku dapat kamar atas bantuan seorang kerabat yang punya jabatan di sebuah RS. Proses pemindahan menjadi dramatis. Ibu sudah dinyatakan positif, kami tidak boleh satu mobil. Ibu di ambulan, kami mengikuti dari belakang. Alhamdulillah akhirnya Ibu dapat ruang perawatan.

Segala sesuatu kembali aku pasrahkan pada Allah. Sejak itu kami tidak dapat lagi menemui Ibu. Rasa hatiku hancur sehancur hancurnya. Malam pertama Ibu di RS aku hampir tak bisa tidur. Rasa sedih, gelisah, dan takut menjadi satu. Kembali doa-doa dan hanya pada-Nya kami mengadu dan mohon kesembuhan.

Aku menguatkan diriku yang alhamdulillah dinyatakan negatif Covid-19. Aku yang harus kuat, badai ini menyerangku bertubi-tubi. Aku harus kuat untuk Ibu. Sehari di RS kami dapat kabar kondisi Ibu harus memakai selang oksigen, saturasinya mulai rendah. Aku berdoa dan terus berdoa. Tak banyak yang bisa kami lakukan, tidak bisa mengunjungi Ibu. Hanya kabar dari para perawat yang sudah kami kenal, melalui video dari gawai. Alhamdulillah hari-hari berikutnya kondisi Ibu membaik. Alhamdulillah ya Allah, senang sekali bisa melihat Ibu sudah lepas dari alat bantu pernapasan. Masih ada selang infus.  Kondisi Ibu terus semakin membaik. Tetapi hari ke-6 sama sekali kami tidak dapat kabar dari Ibu. Kami panik.   

Perawat yang biasanya memberikan kabar menyatakan bahwa HP Ibu mati dan tidak mau bicara. Masih bersyukur bahwa kondisi Ibu baik karena diam-diam para perawat mengirinkan foto Ibu yang sedang di RS. Alhamdulillah, kami lega, tetapi kenapa Ibu tidak mau komunikasi? Aku khawatir, pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa kujawab. Akhirnya kami rembug keluarga. Dugaan kami, Ibu marah mungkin atau entahlah. Aku minta salah satu perawat mendekati Ibu apa yang terjadi pada Ibu.

“Mbak, sepertinya Ibu ngambek, merasa dibuang,” kata perawat yang memberikan kabar padaku.

“Ya, Allah. Maafkan kami, Bu. Tetapi harus bagaimana?” batinku menahan tangis. Beberapa hari Ibu tidak memberi kabar. Kondisi Ibu bagaimana, aku khawatir sekali. Aku seperti menemui jalan buntu.  Akhirnya aku nekad ke RS. Walaupun aku belum bisa menemui Ibu, tetapi setidaknya aku menelpon dari jarak yang lebih dekat. Akhirnya setelah minta bantuan perawat, Ibu bisa mau menerima telponku setelah dikabarkan bahwa aku ada di luar kamar.

Ibu membuka kain jendela kamar dan dapat melihatku dari kejauhan. Aku tak bisa menahan tangis, ketika mendengar suara, “Ibu, mau pulang, Mbak. Seandainya Ibu meninggal, Ibu mau meninggal di kamar Ibu, dekat kalian,” kata Ibu dengan suara tangisan yang ditahan. Sejak itu, Ibu tidak berkata-kata lagi. Kalimat Ibu seperti petir yang menghujam jantungku. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku belum sempat menjawab.

Aku bergegas menemui dokter dan meminta data kondisi Ibuku .Aku minta satu permohonan pada pimpinan RS, agar ibuku bisa  dirawat di rumah. Aky=u menceritakan apa yang terjadi.

“Maaf Pak, saya tidak mau jadi anak durhaka karena menyia-nyiakan Ibu yang sakit. Ibu saya minta di rawat di rumah. Saya akan siapkan apa pun agar Ibu bisa diisolasi di rumah,” pintaku.

“Bisa, Mbak. Kondisi Ibu sekarang stabil tetapi hasil tes belum negatif, Mbak. Saya akan rekomendasikan dokter yang mau merawat pasien di rumah,”kata Dokter.

Alhamdulillah akhirnya dokter membolehkan Ibu pulang dengan berbagai syarat. Salah satu syaratnya ada dokter keluarga yang bisa memantau kondisi Ibu.

“Ibu, sekarang bisa dirawat di rumah,” kataku pelan.

“Iya, Mbak. Maafkan Ibu merepotkan kalian,” kata Ibu lemah sambil memeluk aku erat-erat.

Saat ini aku tidak peduli lagi. Aku masih bermasker saat berada di dekat Ibu. Aku tidak peduli bahkan jika aku juga terinfeksi virus ini. Aku menyuruh adik dan suamiku tidak pulang dulu selama ada Ibu dalam perawatan di rumah. Aku tidak mau menjadi anak durhaka. Aku pasti akan menyesal dan berdosa jika sampai Ibu merasa terbuang. Ya Allah, maafkan aku. Berikan aku kekuatan untuk menjadi anak yang soleha merawat Ibu di masa tuanya dengan sakit ini.

Malam-malam saat kondisi Ibu yang kurang baik, tiba-tiba Ibu ingin tidur bersama aku dan ingin memelukku. Ketakutan seorang Ibu yang tak rela berpisah dengan putri sulungnya. Setelah kepergian Bapak, akhirnya aku yang memilih kembali dari perantauan untuk menemani Ibu di rumah ini. Adik-adikku sudah bersama keluarganya di luar kota Malang ini. Aku akhirnya bisa membahagiakan Ibu dengan memberikannya seorang menantu yang lama dirindukan. Aku tidur memeluk Ibu erat-erat. Aku berjanji akan menemani. Ibu tidak akan merasa terbuang lagi.

Alhamdulillah perawatan di rumah justru membuat Ibu cepat sehat dan pada akhirnya dinyatakan negatif. Aku bersyukur sekali badai terhebat dimasa pandemi ini dapat kami lalui. Badai ini ada di sekitar kita. Aku tidak ingin menjadi anak durhaka karena virus ini. Jika Allah berkehendak apa pun bisa terjadi. Kita harus menghadapinya dengan rasa syukur. “Dengan nama Allah, yang bersama nama-Nya tidak celaka segala sesuatu yang ada di bumi dan di langit. Dan Dia-lah yang Maha Mendengar  lagi Maha Mengetahui”.(Buat Mbak El, 2 Maret 2021).

 

                                                Bio Data Penulis

*Retno Utami,S.Pd. Guru Bahasa Indonesia SMP Yayasan Pupuk Kaltim.

Seorang guru yang telah berkarya sebagai guru berprestasi nasional dan juga guru berjasa membimbing siswa lomba hingga nasional. Retno Utami juga telah menulis beberapa judul artikel, puisi, dan juga menulis buku. Publikasi karyanya dapat juga dilihat di akun youtube #kataburetno dan IG@makeno.

Prestasi terakhir mendapatkan penghargaan dari PGRI Kota Botang dalam rangka HUT PGRI ke-75 dan HGN 2020 dan sebagai Guru Berprestasi di Yayasan Pupuk Kaltim tahun 2021. Dengan prestasinya sebagai Juara ke-3 se-Kaltim dan Kaltara, Lomba Menulis Esai dalam Rangka Bulan Bahasa yang diselenggarakan oleh Kantor Bahasa Kaltim Tahun 2020.

 

 

 

 

 

           

 

           

 

Ikuti tulisan menarik Kata Bu Retno lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler