Petuah Ki Dawuh
Selasa, 30 November 2021 23:17 WIBTidak ada yang mustahil bagi Ki Dawuh. Dia tidak butuh semua orang percaya padanya. Cukup klien-kliennya percaya, maka dia tidak akan berhenti menyembur dan mengoceh sekenanya...
Sahut-sahut gerumuruh petir mengiringi derasnya hujan tengah hari di Kampung Balada. Beberapa tetes air langit berhasil menerobos atap sebuah gubuk yang terasing di pinggir kampung. Maklum saja, gubuk itu memang sudah berumur, dan... boleh dibilang reyot. Meski reyot, kita masih dapat menemukan seorang lelaki muda dengan gaya perlente sedang duduk bersila. Di hadapannya, ada banyak kartu yang tertata rapi diatas meja kayu. Meja itu tak kalah reyot dengan gubuk yang menaunginya. Tapi yang lebih reyot adalah otaknya. Bagaimana tidak? Bisa-bisanya, dia menggagalkan agenda sehari penuh hanya untuk bertemu peramal. Bahkan perjalanan berkilo-kilo meter dari pusat kota, ditempuhnya sejak pagi buta. Sekali lagi, hanya demi seorang peramal.
Selain meja, di hadapannya juga ada sosok kakek tua yang tampak fokus komat-kamit. Matanya terpejam. Keningnya yang sudah berkerut, makin berkerut karena serius.
“Jadi bagaimana, Ki Dawuh? Apakah saya bisa menjadi Presiden Negeri Wakanda?” tanya si perlente yang masih berkepala tiga.
Bukannya menjawab pertanyaan, peramal yang dipanggil Ki Dawuh itu malah berkumur-kumur dengan air kembang yang diwadahi batok kelapa. Tak lama kemudian... pfuh! Disemburlah air itu ke wajah antusias yang ada di hadapannya.
“Ambil satu kartu!” peramal tersebut menjawab dengan sebuah perintah.
Perlahan, lelaki yang merupakan “klien” Ki Dawuh memilih satu kartu. Lalu, ditunjukkannya kepada sang peramal. Terlihat gambar matahari yang sangat besar pada kartu itu. Saking besarnya, sampai menyilaukan anak kecil yang ada dibawahnya.
“Hahahahaa”, tawa peramal tua menggema ke seluruh penjuru ruangan.
“Ba-bagaimana yah, Ki?” si klien mencoba memberanikan diri bertanya dengan gagap.
“Tidak lama lagi, semua jerih payahmu akan terbayar. Matahari akan bersinar terang dalam hari-harimu!” jelas Ki Dawuh dengan sumringah.
Bagi orang awam, sangat tidak masuk akal seorang anak muda – anak bau kencur, anak ingusan, atau apapun sebutannya, menjadi orang nomor wahid seantero negeri. Tapi tidak ada yang mustahil bagi Ki Dawuh. Dia tidak butuh semua orang percaya padanya. Cukup klien-kliennya percaya, maka dia tidak akan berhenti menyembur dan mengoceh sekenanya.
Masih diselingi tawa yang membahana, Ki Dawuh terus memberikan kalimat-kalimat yang dianggap keramat sekaligus menggembirakan para kliennya, seperti lelaki muda yang kini ada di hadapannya. Dia sudah kepalang senang mendengar celoteh sang peramal.
“Lalu apakah ada syaratnya, Ki?” tanya si klien dengan mata berbinar, mengingat ambisinya yang sungguh teramat besar.
Entah karena usia atau kewarasan yang dipertanyakan, Ki Dawuh tidak berhenti tertawa dari tadi. Tawanya dengan beragam intonasi dan penekanan, bak isyarat ragam makna pula. Kali ini tawanya menggelegar dipenuhi kemenangan, serasa dirinyalah Archimedes yang berteriak Eureka! Eureka! Kemudian perlahan melemah, tertahan, seolah menyimpan kegetiran. Batinnya terasa sesak, mengingat nasib Wakanda yang penuh kesialan selama puluhan tahun. Sementara itu, si klien adalah harapan baru baginya, anaknya, cucunya, bahkan sampai cicit, cucut, cecetnya. Ibarat terdampar di tengah Sahara, anak muda itulah pembawa oase bagi bangsa Waka-Waka – penduduk Negeri Wakanda.
"Itu kalau dia tidak tenggelam dalam kubangan berlumpur", pikir Ki Dawuh.
Sementara Ki Dawuh asyik dengan tawanya, si klien nan ambisius mencoba menerka-nerka syarat yang mesti dilakoni. Apakah harus memberi sekoper dolar? Atau mahkota emas dihiasi berlian? Mungkinkah rupa-rupa kembang yang wanginya semerbak?
“Bawakan tikus tujuh rupa untuk Waka-Waka”, titah sang peramal, membikin lelaki itu melongo.
Baca Juga
Artikel Terpopuler