x

Iklan

Riduan Situmorang

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 1 Desember 2021

Rabu, 1 Desember 2021 21:47 WIB

Merdeka Belajar melalui Hobi-hobi Sisiwa

merdeka belajar lebih pada upaya menyadarkan siswa bahwa hobinya juga bisa menjadi media belajar yang menyenangkan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Saya sedang mengikuti Program Guru Penggerak (PGP). Program ini berlangsung 9 bulan. Sungguh sebuah program yang merepotkan. Betapa tidak? Hampir setiap hari ada tugas. Tugasnya pun macam-macam. Ada video. Ada poster. Kadang infografis. Bisa blog. Bisa juga artikel di media. Pokoknya, macam-macam. Di awal program itu saya berpikiran buruk: pasti saya akan lalai mengerjakan tugas selama 9 bulan ini. Namun, nyatanya tidak. Mengapa?

Alasannya bukan semata karena saya bisa membagi waktu. Menurut saya, alasannya sederhana: sistem pengerjaan tugas PGP dibuat "merdeka". Arti "merdeka" adalah guru diberi kesadaran dan keleluasaan kapan untuk mengerjakan tugas karena sistem buka 24 jam dan bertahap. Sudah serba tersistem. Intinya, kepada kita diberikan pilihan apakah mau lulus memuaskan atau lulus biasa-biasa, atau malah tidak lulus. Semua sudah jelas dibuat aturannya sehingga semua tergantung kita.

Itulah merdeka belajar. Merdeka bukan berarti bebas begitu saja. Jika boleh disederhanakan, merdeka adalah bebas yang bertanggung jawab. Dalam hal ini, untuk memerdekakan siswa,  guru berarti harus hadir untuk menyadarkan siswa. Sebab, kesadaran adalah puncak pencapaian. Jika sudah sadar, maka pembelajaran akan berdenyut sesuai kebutuhan siswa. Persoalannya, bagaimana cara menyadarkan siswa?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tak Buruk

Bagi saya, itu pekerjaan yang mahaberat. Tetapi, pada kesempatan ini, saya akan berbagi hal-hal yang saya lakukan dan semoga bisa menjadi inspirasi. Saya mulai dari sini: ada seorang siswa saya yang selama daring sudah terlalu asyik bekerja sehingga lupa pada tugas belajar. Ia sudah punya pendapatan, itu poin positifnya. Karena itu, saya memuji siswa tersebut. Saya tak memarahinya. Saya justru salut kepadanya.

Sebab, bagi saya, bekerja adalah puncak dari belajar. Tetapi, saya menyadarkan siswa itu bahwa dengan belajar dengan disiplin pada masa sekolah ini, ia akan semakin matang ke depan. Kemungkinan-kemungkinan pekerjaan yang bisa dia petik pun akan makin beragam. Intinya, saya sedang meneguhkan bahwa belajar itu sangat penting meski tak menolak bahwa bekerja juga sangat penting.

Sebab, adalah kenyataan di tempat kami, karena pandemi, banyak generasi mudah yang memilih jadi pekerja upahan. Sekali lagi, ini sama sekali tak buruk. Adanya kemauan mereka mencari uang adalah sesuatu yang baik. Hanya saja, waktunya belum tepat untuk bekerja sehingga guru harus mengarahkan. Dan, lagi-lagi saya mengatakan kepada mereka bahwa apa pun yang mereka kerjakan di luar jam sekolah adalah sesuatu yang sangat bagus selama itu positif untuk perkembangan mental dan emosional.

Sebab, saya sadar bahwa sekolah tidak boleh terlalu memaksakan dan mengklaim bahwa proses belajar hanya terjadi di ruang kelas atau di jam pembelajaran. Tidak bermaksud untuk menihilkan peran sekolah, tetapi kita harus sadar bahwa setiap manusia sebenarnya adalah makhluk pembelajar. Buktinya, belajar sudah berumur tua. Sejak manusia ada, kegiatan belajar juga sudah ada di dunia ini.

Saat itu, misalnya, kita belajar dari dan dengan alam. Kita berburu. Semula berburu tanpa alat, kemudian berburu dengan alat. Semula kita berburu dengan batu-batu kasar, kemudian dengan logam-logam yang pipih. Semula berpindah-pindah, kemudian bertahan di suatu tempat. Proses belajar itu membuat kita mulai tahu bertani. Kita mulai paham membaca untuk apa ada hujan, untuk apa pula ada matahari.

Pembelajar Tulen

Kita pun belajar mengusahakan tanah. Kita tak lagi membiarkan biji jatuh ke dalam tanah begitu saja dari pohonnya. Kita sudah menggemburkan tanah lalu menjatuhkan benih ke atasnya. Kenyataan itulah yang membuat saya sadar bahwa sekolah harus menghargai proses belajar siswa di luar ruang dan jam sekolah. Apalagi sejarah kita sudah membuktikan bahwa sebelum institusi sekolah hadir, bahkan sebelum ada Indonesia, leluhur sudah bisa menciptakan Candi Borobudur yang dikagumi dunia.

Sekali lagi, dari sana saya sadar, kita sebenarnya pembelajar tulen. Lebih jauh dari itu, kita adalah pembelajar merdeka yang sejati. Karena itu, tugas kita sebagai guru hanya menyadarkan supaya proses belajar itu lebih terarah dan terprogram. Saya, misalnya, sangat menghargai siswa yang sudah bekerja, terutama kalau membantu orang tua. Bukankah membantu orang tua tidak lagi hanya belajar, melainkan sudah bukti nyata dari belajar itu sendiri?

Karena itu, menurut saya, kita tak seharusnya menyepelekan anak yang pergi ke pantai lalu mengamati laut, menangkap ikan, melihat gejala-gejala alam secara perlahan. Kita tak seharusnya menyepelekan anak yang pergi ke pasar, melihat transaksi jual-beli, melihat onggokan sampah. Kita tak seharusnya menyepelekan anak yang pergi ke sawah, menanam benih, lalu merawatnya. Intinya, kita harus menghargai itu semua sebagai proses belajar yang lekat dan merdeka.

Cara menghargai upaya belajar itu hanya soal teknis. Sebab, dengan menghargai proses belajar mereka, kita akan bisa menyadarkan mereka untuk merdeka belajar. Arti merdeka adalah bahwa mereka bebas bereksperimen di luar dan mampu pula mengikuti aturan pembelajaran dari sekolah. Persis seperti program Guru Penggerak yang saya ikuti. Kepada guru diberi kesadaran untuk belajar. Kepada guru juga diberi kebebasan untuk belajar sesuai cara masing-masing dengan tetap di koridor kewajaran.

Pendekatan seperti inilah yang bisa dilakukan kepada siswa, terutama di masa pandemi. Intinya, saya selalu berusaha membelajarkan sesuai dengan kesukaannya. Mereka, misalnya, suka sekali menonton drama Korea (drakor). Karena itu, saya membelanjakan mereka dari sana. Kebetulan pada topik Cerpen di bidang studi bahasa Indonesia. Saya menyuruh mereka menulis cerpen dengan mengembangkannya dari drakor yang mereka tonton.

Metodenya: tulis dengan bahasa sendiri lalu kembangkan cerita itu dengan keasyikan sendiri. Saya menyuruh mereka belajar dari kesukaan mereka. Saya tak berhenti. Saya menyuruh mereka untuk berimajinasi. Arti berimajinasi sangat kompleks. Penjelasannya begini. Saya menyuruh mereka bagaimana cerita itu akan dituliskan jika penulis cerita itu adalah dia sendiri? Saya juga meminta mereka untuk memosisikan diri bagaimana jika ia adalah tokoh utama dalam cerita itu, langkah seperti apa yang ia lakukan untuk menghadapi masalah dalam cerita tersebut.

Sesungguhnya, banyak kesukaan siswa yang bisa menjadi media belajar dan termasuk menjadi cara kita untuk mendekati mereka. Jika suka menggosip melalui media sosial, kita bisa membuatnya dalam grup belajar dengan membuat cerita. Teknisnya, satu orang membuat satu kalimat. Satu orang melanjutkan. Tanpa sadar, gosipan mereka itu ternyata sudah menjadi cerita utuh yang menarik dibaca.

Tanpa Menghilangkan Hobi

Jika ada siswa suka menonton film, terutama jika berbahasa asing, kita bisa mengarahkan kesukaan ini menjadi proses belajar yang terarah dan terprogram. Jika kita guru bahasa Inggris, misalnya, kita bisa menggunakan media film itu dengan tujuan agar mereka fasih berbahasa Inggris. Saya dulu punya siswa seperti itu. Ia bahkan pernah menjadi guide tamu sambil menjadi mahasiswa. Kata guru bahasa Inggrisnya, ia pemalas.

Tetapi, setelah didalami, ia justru siswa hebat. Pada kelas SMA, ia menjadi pembicara bahasa Inggris yang hebat. Dikatakan hebat karena dialeknya bahkan persis seperti film-film yang dia tonton. Bakatnya fasih berbahasa Inggris tentu tidak akan sehebat itu jika selalu mengandalkan gurunya. Inilah yang disebut merdeka belajar. Siswa mampu belajar dengan caranya sendiri sehingga ia merasa seolah tak belajar.

Dalam posisi seperti ini, guru hanya mengarahkan dan memfasilitasi serta menemukan bakat terpendam dari seorang siswa. Ada contoh lain untuk disebutkan. Pada masa PJJ lalu, ada siswa saya yang terkesan malas mengerjakan tugas. Saya mendatanginya ke rumahnya. Setelah saya tanya, ia ternyata tak suka bersekolah. Ia mengatakan bahwa cita-citanya tak ingin menjadi apa-apa, kecuali Youtuber.

Saya mengatakan kepada dia bahwa bersekolah tak menghalanginya menjadi Youtuber. Saya mencontohkan diri saya yang sudah berhasil menjadi Youtuber meski masih dengan pendapatan minim. Konon, ia mau menjadi Youtuber Game. Nah, karena ia suka main game, saya menyuruhnya untuk tak berhenti main game. Saya hanya menyuruhnya untuk menggunakan waktu dengan baik dan bijak.

Saya menyadarkan bahwa belum tentu ia di masa depan menjadi gamer. Karena itu, ia harus meluangkan waktu untuk belajar. Oh, iya, saya juga memberinya tugas akhir semester. Saya menyuruhnya untuk membuat rancangan game dengan tulisan. Nyatanya, ia menulis lengkap dan detail, berikut dengan gambar-gambarnya. Jika bakat game dan merancang game ini tertata, jangan-jangan ke depan ia menjadi programmer game?

Berangkat dari berbagai pengalaman itulah saya merasa bahwa merdeka belajar lebih pada upaya menyadarkan siswa bahwa hobinya juga bisa menjadi media belajar yang menyenangkan selama ia bisa mengontrol diri. Kemauannya untuk membantu orang tua juga bagian dari belajar penting. Namun, yang terpenting dari itu, mengikuti aturan sekolah dengan sadar adalah hal yang sangat urgen untuk diikuti tanpa menghilangkan hobi-hobinya.

Ikuti tulisan menarik Riduan Situmorang lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu