x

Iklan

Kian Jaya

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 19 November 2021

Minggu, 5 Desember 2021 12:20 WIB

Ucapan Selamat Tinggal dari Matahari yang Sudah Redup

Apakah jika matahari yang terbenam itu bisa merasakan, kiranya apakah ia rindu pada bumi, dan bumi yang ditinggalkan mentari yang menyinari dan menemaninya akankah kehilangan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Aku menaiki tangga menuju atap sekolah dengan Sedikit tergesa-gesa, Namaku Jorden dengan hati yang merasa kurang enak aku menemui teman-temanku di atap sekolah, karena untuk kesekian kalinya aku terlambat menemui teman-teman. Sebuah pintu Hijau menyambutku diujung tangga, aku membukanya terlihat ada 5 kawan-kawanku yang sedang bersantai. Si mentari sedang memakan sereal di sebuah mangkuk, dengan sebuah sendok bertuliskan “cereals killer” sambil menatap langit ke arah barat cukup biasa, lalu ada July dan Mei dan Febri yang sedang bermain ular tangga, dan sisanya Yoshi dan Faris yang sedang duduk di samping kursi Mentari sambil memakan makanan mereka masing-masing.

“Hei, maaf ya,telat.. tadi ada kelas tambahan dari pak Asep” kataku.

“ Iya, kamu kan selalu telat” ujar July.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“ya maaf...”

“Eh, tadi ulangan Matematika pusing banget sih, Pak Djoko jelasin kisi-kisi sudah seperti orang ngebut” ujar Yoshi

“iya, itu kisi-kisi dari nomor 1 tiba-tiba udah nomor 28, secepat itu” timpal Faris

“iya nih, gak nempel pelajara Pak Djoko di kepalaku. Masalahnya, inikan ujian akhir semester nanti nilainya jadi salah satu penentu buat masuk ke SMA” timpal Febry

Aku mengiyakan saja apa yang mereka katakan, sementara July,Mei dan Febry kembali sibuk dengan permainan mereka. Mentari memakan sereal dengan tatapan datar ke matahari yang sudah akan tenggelam itu. Aku terus memperhatikannya menatap matahari sambil kebingungan, apa sih yang sedang ia pikirkan.

“woy, Ngapain liatin matahari, yang ada silau nanti matanya.. sedang memikirkan apa??” ucap July

“tidak ada... Hanya saja matahari terbenam itu indah, tetapi itu adalah perpisahannya dengan kita, bisa jadi esok kita tak bisa melihatnya lagi, cukup ironis bukan. Sekiranya matahari yang sedang akan tenggelam di cakrawala itu bisa merasakan, apa ia akan merindukan bumi yang sudah menemaninya ? Apa bumi juga merasakan kehilangan yang sama dengan mentari yang sudah menemani dan menerangi hari-harinya” tanya Mentari.

“ Waduh, jangan jadi  sad girl dong, dalam banget pikirannya mbak” kata Febry.

“Mungkin... Jika mereka bisa merasakan, tentu matahari akan merasa rindu dam bumi akan merasa lebih kehilangan yang lebih banyak daripada matahari, ia kehilangan matahari yang menyinari dan menghangatkannya sepanjang hari, tetapi mereka tentu tak akan sanggup mengubah keadaan, karena itu sudah tulisan takdir. Tidak ada gunanya mencoba menunda kepergian itu sudah pasti terjadi, akan tetapi lebih baik jika mencoba untuk menerima kepergian dan mengucapkan selamat tinggal karena waktu tidak akan pernah berkompromi. Kepergian biasanya berawal dengan tangisan, tetapi belum tentu berakhir dengan kehilangan. setiap yang momen yang terjadi akan selalu ada di ingatan, aku rasa itu lebih penting” kataku panjang lebar.

“wah., panjang banget mas Jorden bicaranya. Bahasanya puitis sekali.. aku yang mendengarnya jadi tambah pusing” kata July.

Kita lalu menghabiskan waktu dengan bercanda dan memainkan permainan serta berbincang-bincang. Hingga tanpa terasa hari sudah sangat sore, kami lalu bergegas untuk pulang, tetapi Mentari masih saja melamun seperti memikirkan sesuatu sedari tadi. Entahlah mungkin ada sesuatu hal yang mengganjal hatinya, atau mood-nya sedang tidak bagus karena ulangan akhir semester tadi.

Alarm yang aku pasang sudah berbunyi, aku dengan segera bangun dan bersiap, walaupun matahari belum menunjukkan dirinya di ufuk timur. agar tidak telat, karena aku harus menghadiri acara perpisahan sekolah. Waktu berlalu dengan teramat cepat, tanpa terasa sudah saatnya, sebentar lagi aku menempuh pendidikan di tingkat selanjutnya. Aku bergegas merapikan kasurku dan mandi agar tidak terlambat lagi. Dengan buru-buru setelah sarapan aku bergegas pergi ke lokasi acara, sayangnya aku kesusahan mencari ojek sehingga pada akhirnya aku harus menghadapi macetnya jalanan.

Akhirnya aku sampai di lokasi, sialnya aku kembali telat untuk kesekian kalinya. Ketika aku sampai orang-orang sudah ramai yang datang, aku langsung mencari teman-temanku. Lalu aku melihat Mei yang sedang melambai-lambaikan tangannya memanggilku. Aku dengan secepat kilat menghampiri teman-temanku yang sudah membuat lingkaran, memisahkan diri dari kerumunan lainnya. Aku langsung meminta maaf kepada teman-temanku karena aku telat lagi, mereka hanya mengiyakan, sudah terbiasa dengan keterlambatanku. Aku coba menjelaskan bahwa aku bukannya berniat untuk datang terlambat hanya saja tadi aku kesusahan untuk mencari ojek. Kami berbincang-bincang karena mungkin untuk terakhirnya kita dapat bertemu dan berbincang-bincang seperti ini.

Aku sebenarnya masih tak dapat percaya bahwa kini akhirnya kami akan berpisah. Masih teringat saat aku pertama kali masuk sekolah ini, aku dengan ragu memasuki kelas karena aku takut aku salah kelas, tetapi untungnya kelas yang aku masuki benar. Aku lalu berbicara dengan Mentari yang berada duduk di depanku.

“eh, permisi bangku di sini gak ada yang nempatin kan ?, Saya duduk di sini ya.” Kataku, kepada Mentari yang saat itu sedang menggambar.

“iya, tidak ada kok... duduk saja” jawabnya.

“ Oke, terima kasih ya, kamu sedang gambar apa ? “ tanyaku, membuka pembicaraan.

“ oh, ini aku sedang menggambar pemandangan alam saja, masih coba-coba..”

 kami lalu saling berkenalan, aku yang selalu sendirian awalnya bingung bagaimana jika nanti aku bertemu orang baru di sini, tetapi akhirnya dapat memiliki teman atau setidaknya orang yang dapat dikenal dan dapat di ajak bicara di sekolah menengah ini. Setelah itu aku sering berbicara dengan mentari, pada awalnya kukira ia pendiam dan sedikit cuek, akan tetapi ternyata dia cukup ceria. Singkatnya dia adalah orang yang pertama dan satu-satunya yang paling dekat denganku. Kita berdua biasanya selalu berkumpul di atap sekolah, karena menurut Mentari itu adalah tempat yang paling cocok, ia bisa menggambar pemandangan dari atas sana, aku menyetujuinya karena aku tidak suka keramaian dan atap sekolah cukup sepi dan karena kami mendapat jadwal siang, kami dapat merasakan cuaca sore hari yang tak terlalu terik. Aku membahas banyak hal dengannya entah tentang keluh kesah sekolah, atau tentang komik yang aku baca. Mentari akan selalu mendengarkannya seraya menggambar atau menikmati semangkuk sereal yang ia beli di minimarket, ia selalu membawa sendoknya sendiri yang bertuliskan “Cereals killer”. Lalu kami berdua bertemu dengan Yoshi yang sedang belajar di atap, setelahnya kami bertemu dengan teman-teman yang lain singkat cerita kelompok kecil kami terbentuk.

“nanti kalian SMA dimana ?” tanya July.

“huh, Aku..? Aku sudah jelas akan menuju SMA 88 , salah satu SMA paling bagus,” jawab Yoshi dengan percaya diri.

“Kalau aku sih yang dekat rumah saja..” jawab Febri

“kalau kamu Mentari..?” tanya Mei.

  “Aku gak tahu, tapi kata orang tua habis SMP aku pergi ke luar kota, sebenarnya aku masih ingin di sini, agar bisa satu sekolah dengan kalian.” Ucap Mentari.

Kami yang mendengar hal itu merasa terkejut, ternyata hal itu yang membuatnya sering melamun dan murung. Kami mencoba menghiburnya agar tidak sedih, toh kalau keluar kota mungkin ketika libur ia bisa kesini, atau menghubungi melalui telepon genggam. Ia hanya sedikit tersenyum dan mengiyakan.

Hari sudah sore, acara sudah selesai aku dan Mentari lalu menunggu ojek, teman-teman yang lain sudah pergi duluan sejak tadi.

“kamu ingat tidak, waktu itu aku bertanya apa yang dirasakan mentari yang akan berpisah dengan bumi, lalu kamu bilang kepergian tak bisa ditunda lebih baik mengucapkan selamat tinggal selagi sempat, karena waktu tak dapat berkompromi” kata Mentari

“ iya... Ada apa” tuturku, aku kembali mengingat saat itu, apa ada kaitannya pertanyaan yang ia lamunkan pada saat itu dengan rencana orang tuanya ?

“ aku rasa ini saat yang tepat untuk mengucapkan Selamat Tinggal, aku takut nanti kamu terlambat”

“ Ya tidak sekarang juga... nanti saja saat kamu sudah mau pergi, aku datang untuk mengucapkan selamat tinggal” tutur ku.

Mentari lalu mengiyakan, ia lalu pergi karena jemputannya sudah sampai. Aku akhirnya menunggu ojek sendirian. Sambil memikirkan, apa sejak saat itu Mentari yang dulunya ceria menjadi semakin murung.

*****

Hari itu tiba, hari dimana Mentari akan pindah. aku bergegas pergi ke rumahnya sayangnya saat aku sampai ia sudah merapikan barang-barang dan akan pergi ke luar kota.

“Akhirnya datang juga, kirain telat lagi..” katanya.

“enggaklah, waktu itu kan sudah janji”

Kami lalu berbincang, ia lalu mencari-cari suatu barang yang ia ingin berikan, tetapi ia tak kunjung temukan. Akhirnya kedua orang tuanya sudah selesai bersiap, tanda kita harus berpisah. Orang tua Mentari memanggilnya sudah waktunya pergi.. .

“terima kasih sudah datang, Aku sudah harus pergi ke luar kota rencananya mau menginap di rumah paman dulu, tadinya ada yang ingin aku beri, tapi gak tahu tadi aku taruh dimana, Ya sudah nanti saja kapan-kapan aku berikan , Selamat tinggal.. bye... ” Katanya.

Ia lalu masuk ke mobilnya dan pergi, aku hanya bisa melambaikan tangan, ia mengirimkan pesan dari telepon genggam “Selamat Tinggal” mungkin ia takut tadi aku terlambat datang. Dengan begitu kami berpisah, saat itu aku mencoba mengikhlaskan kepergian ini. Sayangnya, aku tidak menyadari bahwa itu adalah pertemuan dan ucapan Selamat tinggal terakhir dari Mentari. Ia dan orang tuanya mengalami kecelakaan saat sedang berkendara. Orang tuanya berhasil selamat walaupun menderita luka, namun tidak dengan Mentari, ia tewas Di tempat. Ketika mendengar kabar itu aku merasa kehilangan. Aku kini merasakan apa yang dirasakan bumi ketika matahari yang selalu menemaninya tenggelam di cakrawala. Kini tubuh mentari yang sudah terbujur kaku tenggelam di dalam tanah, diiringi isak tangis kehilangan dari orang tuanya dan teman. Waktu memang tidak pernah berkompromi, ia suatu saat akan mengambil apa yang ada dari kita tanpa bertanya keadaan kita, perasaan kita, bahagia kita dan kita tak akan bisa mengubahnya, hanya dapat mengatakan selamat tinggal. Ya... Selamat tinggal, semoga kamu tenang di sana, di antara bintang-bintang.. kamu tak lagi sendirian.

Orang tuan Mentari lalu menghampiriku, memberikan sebuah lukisan yang Mentari lukis, di sana ada kami yang berkumpul di atap dengan latar matahari yang terbenam. Di sana tertulis “ untuk kawan-kawanku terima kasih, jika nanti kita berpisah, aku ingin mengenang apa yang terjadi. Aku percaya waktu itu semu, segala kenangan kita akan membeku, kita selalu bersama, semoga setelah perpisahan kita nanti kita bertemu kembali di bawah mentari yang tersenyum lembut kepada bumi”.

 

Ikuti tulisan menarik Kian Jaya lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler