x

orsng tua pengendali

Iklan

Peter Irvan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 22 November 2021

Sabtu, 4 Desember 2021 20:29 WIB

Dunia yang Berbeda

Cerpen tentang bagaimana memahami hidup dan sudut pandang orang lain yang berbeda dan baru disadari. Konflik kecil antara anak broken home dan pasutri dengan toxic parents.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Wanita tua itu bernama Bu Sukasma. Bersama suaminya, dia tinggal di sebuah rumah yang tampak cantik beberapa tahun lalu. Sudah dua tahun aku menjadi tetangga mereka. Mereka sangat baik padaku. Hal itu ditunjukkan dengan hampir setiap hari Bu Sukasma memberikan masakan untukku. Orangtuaku bercerai sejak aku masih kecil sehingga aku tinggal bersama nenekku. Tentu saja, diperhatikan seperti ini sungguh membahagiakan.

Perhatian mereka bukan tanpa alasan. Mereka memiliki seorang putra tunggal yang setelah menikah lima tahun lalu, tinggal terpisah dan tidak pernah berkunjung. Karena itu, akulah yang menjadi wadah pelimpahan kasih sayang mereka. Aku sungguh tidak habis pikir, bagaimana mungkin ada orang yang tega menyia-nyiakan hal yang sangat kuinginkan. Sebagai balas budiku kepada mereka, aku selalu membantu mereka membersihkan rumah. Pada kesempatan itu aku banyak mendengar cerita Bu Sukasma tentang putranya.

Namanya Vando,” ujar Bu Sukasma sambil menunjuk foto pernikahan anaknya, lalu memulai ceritanya pada suatu waktu saat aku membantu beliau membersihkan ruang tamu.

Sejujurnya, berat hati merestui mereka. Saya tidak mengerti mengapa dia memilih perempuan itu, yang hampir tidak ada bagusnya. Tapi saat dia membawa perempuan itu ke rumah ini untuk diperkenalkan kepada kami, dia menunjukkan ekspresi yang sudah lama tidak saya lihat. Dia begitu bahagia. Semua yang kami berikan sampai dia bisa mandiri seakan tidak sebanding dengan kehadiran perempuan itu. Lewat perempuan itu, saya selalu mengingatkan Vando, tapi tidak pernah berhasil. Saya tidak mau dia jadi anak durhaka.”

Deretan foto di ruang tamu itu menjelaskan semuanya. Mulai dari foto Vando sejak bayi hingga wisuda, senyumnya semakin menghilang. Apa yang salah dengan keluarga ini? Aku tidak bisa memahaminya.

Suatu hari, Bu Sukasma kembali mengantarkan masakan untukku. Kali ini melalui seorang wanita berusia lewat tiga puluh tahun. Aku ingat wanita ini. Dia ada di foto pernikahan Vando, menantu Bu Sukasma.

Maaf sebelumnya, Mbak. Saya mau menyampaikan sesuatu,” ujarku setelah melalui perkenalan dan beberapa kalimat basa-basi. “Menurut saya, sebaiknya Mbak dan Mas Vando pulang menjenguk Bapak dan Ibu setiap tahun. Saya kasihan dengan mereka. Menahan rindu bertahun-tahun itu tidak mudah.”

Ekspresi wajah wanita itu berubah serius.

Mbak, saya mohon maaf sebelumnya karena mungkin perkataan saya sedikit menyinggung atau kasar. Anda adalah orang baru dalam hidup orangtua kami. Anda tidak tahu apapun soal hidup kami. Jadi saya mohon untuk menahan diri dalam berpendapat, terutama kepada suami saya. Terimakasih sudah mendengarkan saya. Permisi.”

Beberapa hari telah berlalu sejak istri Mas Vando melontarkan kritik tajam tersebut. Di satu sisi aku merasa bersalah karena menyadari sudah melakukan sesuatu yang cukup melanggar aturan tak tertulis dalam sebuah komunikasi, yaitu memberi saran tanpa diminta. Di sisi lain, aku yakin aku benar karena peduli pada hidup orang yang baik padaku dan tidak ingin mereka bersedih.

Aku masih berada dalam hari-hari pergulatan dengan pikiranku saat istri Mas Vando kembali datang untuk mengantarkan masakan. Sama seperti sebelumnya, masakan yang diantarkan terlihat seperti masakan restoran. Perhatianku hanya sebentar tertuju pada hal itu karena ini adalah saat yang tepat untuk meminta maaf.

Mbak, tolong maafkan saya sudah lancang berkomentar tentang hidup keluarga Mas Vando. Saya hanya bermaksud peduli. Saya seharusnya bertanya dulu baru berkomentar. Sekali lagi saya minta maaf, saya jadi merasa tidak pantas lagi menerima kebaikan Bu Sukasma,” ujarku memelas sembari sedikit berharap dia membatalkan pemberian tersebut.

Terimakasih atas kesadarannya, Mbak. Tapi saya mohon ini tetap diterima,” katanya sambil sekali lagi menyodorkan wadah masakan itu.

Kami berdua duduk dalam diam di serambi rumahku. Hanya dua hal yang kuharapkan saat ini: wanita ini pergi dari rumahku dan penjelasan atas reaksinya kemarin.

Saya rasa kita perlu saling memperkenalkan diri lagi, kali ini dengan suasana yang baik. Saya Siffy, istri Vando,” ujarnya memecah keheningan.

Saya Riena, sudah dua tahun jadi tetangga Bu Sukasma,” jawabku.

Menurut saya, Mbak tidak perlu tahu apa yang sudah terjadi pada keluarga Vando. Selain bukan keluarga kami, juga karena Mbak belum lama mengenal kami. Tapi karena Bu Sukasma benar-benar sudah menganggap Mbak seperti anaknya sendiri dan agar Mbak tidak lagi berkomentar lebih jauh tentang hal ini tanpa tahu apapun, sepertinya saya memang harus bercerita dan cukup dengarkan saya. Oh ya, satu permintaan dari saya, tolong jangan sampai Bu Sukasma dan Vando tahu kalau saya menceritakan hal ini.”

Aku terdiam sambil menelan ludah, menantikan cerita Siffy.

Masa lalu kami berdua bisa dikatakan tidak menyenangkan. Pak dan Bu Sukasma mungkin memang memiliki tujuan baik dalam semua tindakan mereka terhadap Vando, tetapi caranya salah. Hidup Vando benar-benar diatur dengan keras sampai pada hal-hal kecil sejak masa sekolahnya. Sayangnya, kebiasaan itu tetap berlanjut bahkan sampai detik ini, ditambah lagi hal itu tidak dilakukan dengan cara yang nyaman untuk diterima.”

Siffy melanjutkan ceritanya, kali ini tentang dirinya. “Latar belakang saya berbanding terbalik dengan Vando. Saya tinggal bersama nenek dan bibi karena orangtua saya abusif, tidak pernah akur dan tidak terlalu peduli terhadap diri saya. Awalnya kami bisa dekat hanya karena memiliki hobi dan minat yang sama, ternyata perlu sesuatu yang lebih dari itu dan waktu yang lama bagi kami untuk saling mengerti.”

Tapi Mbak, saya pikir Mbak dan Mas Vando masih lebih baik daripada saya karena masih punya keluarga yang utuh,” sanggahku spontan. Aku lupa dengan pesan Siffy sebelum dia memulai ceritanya.

Siffy terdiam. Tatapannya terarah ke depan, tak lagi menunduk seperti saat dia bercerita tadi. Dia berdiri dan beranjak meninggalkanku.

Mbak?” panggilku.

Siffy menghentikan langkahnya. “Sudah kuduga, kamu belum siap mendengarkan cerita kami,” ujarnya tanpa melihatku. Nada hormat juga menghilang dari kalimatnya. “Terima kasih sudah mendengarkan,” katanya lagi sembari ke rumah.

Aku tercenung. Perasaan bingung dan heran memenuhi hatiku. Aku merasa tidak ada yang salah dengan pendapatku. Bukankah seharusnya mereka bersyukur masih memiliki orangtua yang lengkap, baik dan sangat perhatian? Aturan yang keras? Bukankah itu demi kebaikan sang anak sendiri? Mengenai orang tua yang abusif dan tidak pernah peduli terhadap anaknya sendiri, mungkin Siffy hanya melebih-lebihkan. Bagaimanapun juga, mereka tetaplah orangtuanya sehingga dia harus menghormati mereka.

Satu minggu telah berlalu sejak hari itu. Anak dan menantu Bu Sukasma masih belum kembali ke kota tempat tinggal mereka. Selama itu juga Bu Sukasma tidak mengirimkan makanan sehingga aku jadi memasak sendiri atau membeli makanan. Uangku berkurang lebih cepat dari biasanya. Aku tidak menyangka akan jadi seboros ini tanpa kiriman makanan dari Bu Sukasma. Di tengah-tengah usahaku berhemat, aku kembali teringat sesuatu yang teramat sangat kuinginkan sejak dulu. Kehadiran orangtua. Vando dan Siffy sangat membenci orangtua mereka masing-masing dan aku semakin tidak dapat memahami mereka di tengah rasa lapar seperti ini.

Aku baru saja menyelesaikan suapan terakhir mi instan yang mungkin hanya mampu mengisi separuh lambungku saat pintu rumahku diketuk. Aku bergegas membukanya. Seorang pria bertubuh tegap berumur tiga puluh tahunan berdiri di depan pintu membawa rantang makanan. Vando.

Untuk kamu. Dari ibu,” ucapnya singkat. Tanpa memperkenalkan diri, dia berbicara langsung pada intinya seakan kami sudah saling mengenal sejak lama. Segera setelah kuterima rantang makanan itu, dia segera kembali ke rumahnya.

Anu, Mas…,” panggilku, berusaha mencegahnya kembali tanpa ucapan terima kasihku.

Apa?”

Te-terima kasih makanannya,” ucapku sedikit gagap.

Ya, sama-sama,” sahutnya dingin sambil berlalu.

Mas, tunggu.” Aku masih berusaha menahannya.

Ada apa lagi?” tanyanya dengan nada sebal. Sorot matanya menunjukkan rasa ketidaksukaan yang kentara, tetapi hal itu tidak menyurutkan niatku untuk mengungkapkan isi hatiku.

Sebelumnya saya sudah pernah mengungkapkan ini kepada istri Mas, tapi beliau tidak menanggapi dengan—”

Apa? Soal kami yang paling tidak harus pulang paling tidak setahun sekali untuk menjenguk ortu?” potongnya tajam.

I-iya, Mas.”

Kamu itu tidak tahu apa-apa tentang kami. Lagipula, memangnya kamu yang membiayai perjalanan kami?”

Saya mohon, Mas. Kasihan Bapak dan Ibu. Saya yang setiap hari melihat bagaimana mereka berdua rindu pada Mas,” ucapku memelas.

Oh, enak sekali mereka, ada yang mengasihani. Sangat berbeda dengan kami yang selalu dituntut untuk menerima mereka apa adanya dengan alasan ‘mau bagaimanapun juga, mereka itu orangtuamu’,” balasnya.

Aku terdiam dengan mulut menganga. Pikiranku bahkan mengatakan orang ini lebih aneh daripada istrinya. Saat aku ingin menanggapi perkataannya, Siffy mendatangi kami.

Dipanggil mama,” katanya kepada Vando. Mereka berdua segera pulang tanpa menghiraukanku lagi.

Percaya sama saya, Mas, Mbak! Kalian bersyukur tidak seperti saya, anak broken home yang sangat menginginkan keutuhan keluarga,” seruku dari jauh.

 

***

 

Seteguh pendapat yang kuutarakan kepada Vando dan Siffy beberapa hari lalu, sekuat itu juga bungkus mie instan yang berusaha kubuka malam ini. Saat aku hendak mengambil gunting, terdengar suara orang memanggilku disertai ketukan di pintu. Itu suara Bu Sukasma. Aku bergegas membuka pintu.

Malam, Nak Riena. Maaf beberapa hari ini Ibu tidak mengirimkan makanan untuk kamu karena masaknya terbatas. Malam ini Ibu sama Bapak merayakan hari ulang tahun pernikahan. Kamu ikut makan malam bersama kami, ya,” kata Bu Sukasma.

Tanpa basa-basi, kuiyakan ajakan beliau. Kupikir, ini juga sebuah kesempatan untuk mengungkapkan isi hatiku di depan Vando dan Siffy. Dengan adanya Pak dan Bu Sukasma, mereka tidak akan memiliki kesempatan untuk membalas argumenku.

Mas Vando enak sekali punya orangtua sebaik Ibu dan Bapak. Kalau saya jadi Mas Vando, saya pasti akan lebih sering pulang. Setahun sekali, paling tidak,” kataku sambil menyuap makanan. Aku melirik ke arah Vando. Suapannya terhenti selama hampir satu menit. Di sebelahnya, Siffy berusaha keras menahan helaan napas. Terlihat jelas dia kesal terhadap ucapanku.

Saya juga tidak mengerti, Nak. Selama ini, katanya selalu sibuk, tidak punya waktu, dan berbagai macam alasan lainnya. Berbicara dengan saya melalui telepon hanya beberapa menit, itu pun sangat jarang,” tanggap Bu Sukasma, lalu berpaling kepada Vando dan Siffy dan melanjutkan kata-katanya.

Coba lihat mereka, Nak. Sudah lima tahun mereka tidak pulang. Harapan saya dan Bapak, mereka membawa cucu. Kenyataannya, cuma oleh-oleh makanan saja, itupun banyak yang bukan makanan sehat.”

Bu Sukasma masih melanjutkan omelannya, mulai dari penyesalannya tidak bersikeras menjodohkan Vando dengan putri cantik dari teman ayahnya yang kaya raya, Siffy yang katanya tidak bisa memiliki anak dan selalu menghasut Vando untuk meninggalkan kebiasaan baiknya di rumah, serta hal-hal lainnya yang hampir tidak dapat dijabarkan satu per satu. Semua itu membuatku ternganga. Aku hampir tidak mampu lagi melanjutkan santapanku.

Mama sudah tidak nafsu makan lagi. Mau siap-siap tidur. Kamu bereskan meja makan nanti dan cuci piring kalau sudah selesai makan. Jangan lupa sisakan untuk Riena,” perintah Bu Sukasma kepada Siffy sambil beranjak dari meja makan dan naik ke kamarnya di lantai dua. Pak Sukasma turut melakukan hal yang sama tanpa berkata apa-apa.

Suasana ruang makan yang sudah sangat canggung sedari tadi menjadi semakin dingin. Aku dapat merasakan tatapan tajam Vando tanpa perlu melihatnya. Samar-samar kudengar suara pelan Siffy yang sesenggukan. Aku memberanikan diri memandang mereka. Vando sedang merangkul Siffy yang berusaha keras menahan tangis sambil mengepalkan tangannya dengan penuh amarah. Aku segera beranjak dari meja makan.

Mas Vando, Mbak Siffy, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya dari lubuk hati saya yang paling dalam. Saya tidak tahu akan jadi begini. Saya berjanji tidak akan berbicara sembarangan lagi tentang keluarga Mas Vando. Saya mohon pamit,” kataku sambil berurai air mata dan bergegas pulang.

Vando menghadangku. “Duduk,” ucapnya pelan sambil menunjuk ke kursi. Aku menjadi sedikit gemetar karena takut kalau-kalau dia akan melakukan sesuatu. Aku kembali ke tempatku semula sambil terus menyeka air mataku. Mereka berdua saling mengangguk. Sebuah isyarat untuk melakukan sesuatu.

Sejujurnya, kami sangat marah karena perkataanmu tadi, tapi kami sudah memutuskan untuk sedikit mendidikmu agar tidak lagi berkomentar terlalu jauh,” ucap Siffy. “Apa yang kamu dengar barusan, itu yang selalu beliau ucapkan kepada kami hampir setiap hari selama kami di sini. Itulah yang membuat kami memutuskan untuk jarang mengunjungi mereka,” katanya lagi. Suaranya semakin pelan.

Siffy melanjutkan. “Hal penting yang perlu kamu pahami adalah kita semua menginginkan orangtua yang baik, bukan sekedar punya orangtua saja. Kehilangan orangtua atau menderita karena mereka, keduanya sama-sama kurang baik, yang jika dibandingkan, tidak akan membuat salah satunya menjadi lebih baik. Kamu hanya tidak berada di dunia di mana seorang anak berharap tidak memiliki orangtua dan kamu mungkin tidak akan pernah bisa mengerti dunia semacam itu.”

Air mataku masih mengalir. Semua ucapan Siffy benar adanya.

Sekali lagi saya mohon maaf. Saya berjanji tidak akan mengatakan apapun tentang keluarga Mas Vando.”

Waktu telah berlalu cukup lama setelah hari itu. Hubunganku dengan Bu Sukasma tetap baik, namun pandanganku terhadap keluarga Vando telah berubah. Mungkin aku tidak dapat benar-benar memahami relasi orangtua dan anak semacam itu, tapi yang aku tahu, dunia kami berbeda.

Ikuti tulisan menarik Peter Irvan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB