x

Iklan

Siti Nur Janah

Peachleechi_
Bergabung Sejak: 10 November 2021

Minggu, 5 Desember 2021 12:51 WIB

Balasan Atas Pilihan

Pilihan yang diambil akan mendapatkan balasannya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

          Panasnya sengatan matahari menembus, melewati celah pepohonan yang tumbuh menaungi Desa Antargata. Desa tersembunyi yang terletak di lereng gunung Merau dan jauh dari dunia luar karena terhalang hutan lebat dan tak terjamah. Sayang, cerahnya hari itu tak sepadan dengan kondisi desa yang kacau balau. Itu semua karena sudah satu tahun pagebluk menyerang dan merenggut nyawa setengah penduduk Desa Antargata. Hingga kini, penyakit itu terus menelan korban jiwa, menyerang tanpa pandang bulu dan mengintai nyawa penduduk yang tersisa.

          Setiap hari, secara silih berganti erangan-erangan penduduk yang kesakitan terdengar menyayat hati. Suara pesakitan itu dimulai dengan rintihan dari mereka yang baru terjangkit. Tubuh mereka linu-linu, demam, dan terasa sesak. Ruam-ruam aneh pun mulai muncul tanpa sebab di tubuh mereka. Penduduk yang masih sehat pun mulai cemas dan perlahan menjauhkan diri. Bahkan ada dari mereka yang sampai meninggalkan anggota keluarganya yang sakit untuk berlindung di tempat lain. Dalam kurun waktu dua puluh empat jam, rintihan-rintihan itu berubah menjadi raungan kesakitan yang memekakkan telinga. Raungan keluar dari mereka yang hampir menjemput ajal dan suara tersebut mampu membuat seluruh penduduk bergetar ketakutan. Hingga akhirnya raungan tersebut hilang dan menjadi tanda bahwa mereka telah mati. Isak tangis mulai terdengar lirih. Namun, mereka sendiri tak dapat melakukan apapun. Mayat penduduk pun hanya diurus seadanya, bahkan hanya dikubur di dalam rumah.

          Apa mereka tidak meminta pertolongan? Sudah, tetapi nihil. Letak desa yang sangat terpencil dengan jalanan yang terjal serta licin membuat mereka kesulitan meminta pertolongan. Sudah sekitar dua puluh orang mencoba mencari bantuan ke luar desa. Namun, tak satupun dari mereka yang kembali. Entah mereka mati di perjalanan atau enggan kembali tidak ada yang tahu. Warga desa yang tersisa pun kini hanya bisa pasrah dan memenuhi kebutuhan pangan mereka yang menipis dengan umbi-umbian.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

          Setidaknya mereka masih beruntung, seorang gadis berusia matang dengan suka rela merawat para penduduk. Ia menyiapkan makan dan minum bagi seluruh penduduk. Gadis itu adalah Gauri, yang kini sibuk memasukkan singkong rebus ke dalam bakul. Rambut hitamnya digelung membuat wajah ayunya yang berhias keringat terlihat jelas. Satu potong terakhir singkong ia letakkan dan diakhiri dengan ia menyeka keringatnya.

          Gauri lantas melambaikan tangan pada segerombol taruna yang duduk dibawah pohon kersen. Ia berteriak setelah seorang dari mereka melihatnya, "Singkongnya sudah matang, kalian bisa makan sekarang. Untuk tehnya ada di kendil di atas dingklik." Ia menunjuk kendil berukuran tanggung yang ada di dekatnya. Gadis itu tersenyum setelah mendapat balasan dari mereka. Ia pun segera membawa bakul dan kendi besar berisi teh untuk dibagikan kepada penduduk yang sakit. Meski dengan langkah terseok karena beban yang dibawa, Gauri masih tersenyum dengan tulus ketika menyambangi satu per satu rumah warga.

          "Permisi, Mbah. Ini Gauri, mau mengantarkan makanan," salam Gauri ketika memasuki sebuah rumah reyot milik seorang nenek tua. Ia tersenyum menatap nenek yang dulu sering memintanya untuk mencari kutu atau sekedar mencabut uban. Dengan perlahan ia meletakkan bakul dan kendinya di atas tanah. Gauri mengambil dua potong singkong rebusnya lalu menuangkan teh yang ia bawa ke dalam gelas.

          "Makan dulu ya Mbah biar tidak lemas, " ucap Gauri sembari membelah singkongnya menjadi lebih kecil. 

          Nenek tua itu menatap Gauri sendu, dengan suara parau sang nenek bertanya, "Nduk, kamu masih sehat?"

          "Syukur Mbah, Gauri masih sehat. Semoga Mbah juga cepat sehat, ya. Naa, agar cepat sehat Mbah makan dulu, tapi maaf hari ini hanya singkong rebus dan teh hangat," balas Gauri sedikit murung.

          "Tidak apa-apa. Nduk, apa kamu tidak takut tertular? Anakku saja sudah pergi entah kemana. Mereka menjauh agar tidak tertular, tetapi kamu malah mendatangi kami dan bersentuhan dengan kami," lirih nenek tersebut.

          Gauri tersenyum saat menjawab ucapan sang nenek, "Lalu, apa Gauri harus membiarkan orang-orang yang sakit mati kelaparan? Mereka sudah menderita karena sakit, tidak mungkin Gauri membiarkan mereka kelaparan juga. Ajal sudah ada yang mengatur, Mbah. Gauri tidak takut jika terjangkit, yang penting sekarang Gauri masih sehat dan bisa membantu kalian."

          Nenek itu tersenyum hingga kerutan pada wajahnya semakin terlihat jelas, "Gauri, kamu ini cantik dan baik. Semoga Gusti selalu melindungimu," harapnya. 

          "Amin" balas Gauri. 

          Setelah selesai, Gauri berpamitan karena ia masih harus membagikan singkong rebusnya kepada yang lain. Ia pun kembali pergi dari rumah ke rumah, tetapi di tengah kegiatannya seseorang tiba-tiba berteriak dengan lantang membuat seluruh penduduk termasuk Gauri langsung mencari sumbernya. Mata Gauri memicing, melihat seorang pria paruh baya berdiri di dekat tempatnya memasak.

          "DENGARKAN AKU! DESA ANTARGATA TELAH DIKUTUK. KALIAN HARUS MEMBERIKAN TUMBAL," teriak pria itu berulang. Suaranya lantang sampai mengundang rasa penasaran para penduduk. Baik yang sehat atau yang sakit, mereka keluar untuk melihat apa yang terjadi. Gauri sendiri, ia meremas leher kendi dengan kuat. 

          "Apalagi yang dilakukan dukun itu?" gumam Gauri lalu dengan kasar meletakkan bakul dan kendinya di atas dipan salah satu warga. Dengan tegas ia berjalan mendekati pria tua yang masih berteriak-teriak.

          "Hentikan omong kosong itu!" hardik Gauri. 

          Seorang dukun ilmu hitam di Desa Antargata menoleh ke arah Gauri. Ia Ankara. Dulu ia sering menjadi tempat berobat para warga. Namun, setelah kematian seorang anak gadis akibat pengobatan darinya, warga mulai tidak mempercayainya lagi. Dia pun semakin terkucilkan terlebih ketika Gauri dan keluarganya menyebarkan sebuah ajaran untuk memuja Gusti, bukan sosok yang diagungkan oleh Ankara.

          Ankara tersenyum remeh dibalik kumis tebalnya. Ia bertolak pinggang serta membusungkan dada. Kilatan angkuh terlihat pada sorot matanya dan membuat Gauri semakin jengkel.

          "Kau yang seharusnya diam, Nona Gauri. Desa ini dikutuk karenamu." Ankara menunjuk tepat pada wajah Gauri.

          Gauri mendengus tak percaya, "Aku?" tanyanya.

          "Ya, karena ajaran sesatmu sesepuh Desa Antargata murka dan mengirim pagebluk ini," ujar Ankara. 

          "Gila, bicara Anda sungguh ngawur. Aku mengajarkan jalan yang benar pada warga. Anda yang menyesatkan mereka. Sesepuh Desa itu hanya omong kosong," geram Gauri. Sungguh ia tak habis pikir dengan pemikiran pria tua yang masih menyunggingkan senyum mengejek.

          "Huh, kau berbicara seperti itu? HEI, KALIAN PENDUDUK DESA ANTARGATA. APA KALIAN PERCAYA OMONGAN DARI SEORANG GADIS YANG TIDAK PUNYA SOPAN SANTUN INI?" tanya Ankara pada seluruh penduduk desa yang kini telah berkumpul mengelilinginya dan Gauri.

          Gauri mendengus, "Anda diperingatkan dengan sopan pun tidak akan mempan. Sekarang lebih baik Anda urus saja diri Anda sendiri dan perbaiki pikiran Anda yang sesat," timpalnya."

          Kau mengatakan pikiranku sesat? Lalu apa kau bisa jelaskan dari mana wabah ini berasal? Apa kau bisa menghentikan kematian yang terus terjadi? Apa yang kau rawat berhasil sembuh?" cecar Ankara. 

          Gauri tercekat mendengar pertanyaan dari Ankara. Ia tidak mengetahui bagaimana wabah ini bisa terjadi. Terlebih pada pertanyaan terakhir, ia akui bahwa korban masih berjatuhan dan bahkan tak ada yang selamat satupun.

          "Kau tidak bisa menjawabnya kan?"

          "A-aku tidak tahu darimana wabah ini, tetapi ajal itu urusan Gusti. Hanya Gusti yang tahu kapan kita mati. Yang terpenting sekarang aku menolong mereka agar tidak mati kelaparan, entah bagaimana hasilnya, semua ku serahkan kepada Gusti," jawab Gauri. 

          "Huh, jawaban macam apa itu, Nona Gauri? Penduduk butuh kepastian apakah kau bisa menyembuhkan mereka atau tidak? Dengan jawaban seperti itu, bukankah artinya tidak ada harapan untuk mereka hidup?" Pertanyaan itu membungkam Gauri. Penduduk pun mulai saling berpandangan, dalam hati membenarkan perkataan Ankara.

          Ditengah keheningan yang terjadi, tiba-tiba erangan keras terdengar dari salah satu penduduk. Seorang gadis mengerang sembari mencekik lehernya sendiri. Tubuhnya kejang hingga jatuh ke tanah dengan mata melotot. Warga pun mulai panik dan berhamburan menjauhinya. Erangan-erangan pun merambat ke penduduk lain, hingga puluhan penduduk kembali meregang nyawa. Gauri mematung di tempatnya dengan lelehan air mata yang terus jatuh. Bahkan ia harus melihat nenek yang baru saja ia temui ikut tewas. Mayat-mayat warga pun bergelimpangan secara mengenaskan. Disisi lain Ankara tersenyum melihat kejadian barusan dan ia kembali berteriak. 

          "Lihat! Sesepuh desa semakin murka. Jika kalian tidak cepat memberikan tumbal maka seluruh penduduk Desa Antargata akan mus-"

          "BOHONG! Jangan percaya padanya! Ini tidak ada hubungannya dengan sesepuh itu," potong Gauri.

          Penduduk pun saling berbisik, menimbang untuk memutuskan siapa yang akan mereka percayai. Hingga seorang pemuda maju dan bertanya, "Tumbal seperti apa yang diinginkan?"

          Mendengar itu Gauri tentu terkejut dan langsung berjalan menghadap pemuda itu. "Hei, apa maksudmu?" sungut Gauri.

          "Ayo kita akhiri wabah ini. Apa kau tidak bosan? Aku sungguh sudah bosan dan lelah dengan semua ini," ujar pemuda itu.

          "Tapi tidak begini caranya!"

          "Lalu apa?! Kau mau kita semua mati seperti tadi? Kau selalu meminta kita berdo'a kepada Gusti, tetapi Gusti bahkan tak memberikan bantuan apapun. Aku jadi ragu, apakah benar Gusti itu ada?" Gauri lagi-lagi bungkam, tak mampu menjelaskan apa yang ada dipikirannya. Tawa  

          Ankara pun terdengar mengejek. Dukun itu berjalan mendekatinya dan pemuda di hadapannya.

          "Kita harus menumbalkan pembangkang seperti dia agar desa ini selamat," ujarnya dengan tatapan menang ditujukan kepada Gauri. Pemuda itu mengangguk dan dengan cepat mencekal tangan Gauri ketika gadis itu masih hanyut dalam pikirannya.

          Menyadari apa yang terjadi, Gauri lantas memberontak mencoba untuk melepaskan diri. "HEI! LEPASKAN AKU! JANGAN IKUTI AJARAN SESATNYA" teriak Gauri. Ia terus berusaha. Namun kekuatannya kalah oleh pemuda yang kini sibuk mengikat tangannya dengan destar miliknya.

          "LEPASKAN! JANGAN DENGARKAN OCEHAN DUKUN ITU!"

          Ankara melayangkan tamparan keras hingga gadis itu terdiam. Ia menatap seluruh penduduk desa, "Segera siapkan kayu bakar dan sesaji jika kalian ingin segera sembuh. Upacara harus dilaksanakan hari ini dan kita akan membakarnya sebagai persembahan. Sekarang cepat kerjakan dan kurung dia di lumbung!" titahnya.

          Pemuda itu dengan segera membawa Gauri pergi ke arah lumbung. Penduduk lain pun juga bergegas menyiapkan segala keperluan upacara. Walau dengan kondisi diujung ajal, mereka berusaha untuk dapat mengikuti upacara persembahan. Mereka membagi tugas agar pekerjaan cepat selesai. Sebagian penduduk menyingkirkan mayat-mayat yang bergelimpangan, sebagian lainnya menyusun kayu bakar di tengah lapangan, serta para wanita menyusun sesaji.

          Ankara tersenyum puas melihat para penduduk menuruti titahnya tanpa perlawanan. Tidak sia-sia ia bertapa berbulan-bulan lamanya, kini ia akan disanjung dan dipuja kembali oleh para penduduk. Hal utama yang membuatnya senang adalah ia berhasil menyingkirkan Gauri dan ajarannya. Kini tidak ada lagi batu penghalang baginya untuk terus berjaya sebagai dukun paling sakti.

          Tepat saat matahari tergelincir ke barat, persiapan upacara selesai. Sesaji telah disusun di atas dipan, kayu-kayu telah disusun rapi dengan tiang di tengahnya untuk mengikat Gauri. Suasana sore terasa mencekam. Hal ini dikarenakan kehadiran rombongan burung gagak secara tiba-tiba ditambah mayat-mayat baru yang bergelimpangan di tengah kerumunan penduduk.

          Ankara mengambil tempat, tangan kanannya membawa obor untuk menyulut api persembahan, sedangkan tangan kiri memberi isyarat untuk membawa masuk Gauri ke tempat upacara. Pemuda tadi pun dan menyeret Gauri yang sudah tak melakukan perlawanan. Gadis itu hanya diam dengan bibir terkatup rapat. Matanya menyorot dingin memperhatikan tumpukan kayu, penduduk, serta sesaji sampai ia diikat pada tiang kayu. Ia menatap Ankara yang kini tengah tersenyum lebar dan berjalan mendekati tumpukan kayu di sekitarnya.

          "Ada pesan terakhir sebelum upacara dimulai, Nona Gauri?" tanyanya.

          Gauri terkekeh, ia memiringkan kepalanya seolah mengejek Ankara. Ia berseru,"Apa yang aku miliki tidak akan pernah bisa disentuh oleh tangan kotor kalian. Putih tak dapat dinodai, tetapi dapat menjadi merah yang menghancurkan. Gusti akan melaknat kalian. Gusti akan menghancurkan kalian. Gusti akan membinasakan manusia-manusia keji seperti kalian. Gusti yang akan membalasnya. GUSTI YANG AKAN MEMBALASNYA," seru Gauri.

          Ankara mengernyit tak suka. Ia dengan cepat membaca mantra dan melemparkan obor yang ia bawa. Sedetik kemudian api mulai membakar satu persatu kayu hingga mengelilingi tubuh Gauri. Mulut Ankara masih terus menggumamkan mantra bersahutan dengan Gauri yang mengucapkan pujian terhadap Gusti.

          Api kian membesar dan melahap tubuh Gauri seutuhnya. Ankara tersenyum puas menyaksikannya. Namun tiba-tiba angin berhembus dengan sangat kencang membuat kobaran api semakin besar. Penduduk pun mundur tetapi api seolah mengejar mereka. Langit yang awalnya cerah pun kini berhias gumpalan awan gelap. Burung-burung gagak mulai beterbangan sembari mengeluarkan suara yang memekakkan telinga. Gumpalan awan hitam pun mulai mengeluarkan kilatan petir yang menyambar beberapa dahan pohon dan membakarnya. Para penduduk pun mulai mencari tempat berlindung. Suasana semakin ricuh terlebih saat Ankara tersambar petir dan tewas seketika.

          Di tengah kericuhan itulah, seekor burung besar dengan tubuh terbuat dari api keluar dari tempat dimana Gauri dibakar. Burung itu mengeluarkan suara melengking dan segera terbang berputar di atas Desa Antargata yang kini berubah menjadi lautan api. Burung itu seolah memperhatikan kehancuran yang menyiksa Desa Antargata. Hingga setelah tidak terdengar lagi teriakan para penduduk dan seluruh bangunan telah hancur, burung bertubuh api itu terbang dan memasuki kawah Gunung Merau untuk menetap disana selamanya.

 

Ikuti tulisan menarik Siti Nur Janah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler