x

Penuh Dengan Kenangan

Iklan

fitri ani

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 29 November 2021

Minggu, 5 Desember 2021 12:53 WIB

Ruang dan Waktu

Aku Rinda, sang petualang yang akrab dengan hingar-bingar kota ini. Dari pagi hingga petang mengelilingi kota, berjuang untuk menghidupkan mimpi-mimpiku. Riuh suara kendaraan sore itu mengingatkanku pada suasana jalanan menuju kampus. Kulihat jam tangan usang yang ku kenakan di tangan kananku, jarum jam tepat menunjukkan pukul 16.00 WIB. Di sore seperti ini adalah rutinitas favorit dan yang paling ku tunggu, berpacu dengan sepeda motor kesayanganku untuk sampai ke kampus tepat waktu.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ruang dan Waktu

 

Aku Rinda, sang petualang yang akrab dengan hingar-bingar kota ini. Dari pagi hingga petang mengelilingi kota, berjuang untuk menghidupkan mimpi-mimpiku. Riuh suara kendaraan sore itu mengingatkanku pada suasana jalanan menuju kampus. Kulihat jam tangan usang yang ku kenakan di tangan kananku, jarum jam tepat menunjukkan pukul 16.00 WIB. Di sore seperti ini adalah rutinitas favorit dan yang paling ku tunggu, berpacu dengan sepeda motor kesayanganku untuk sampai ke kampus tepat waktu.

Aku adalah seorang mahasiswi yang bercita-cita menjadi seorang Dosen. Saat ini, aku sedang menduduki semester 3 bangku perkuliahan. Perpustakaan kampus memang mempunyai  magnet tersendiri bagiku, tidak butuh alasan khusus kenapa aku suka sekali datang kesana. Hanya dengan melihat tumpukan buku, dan duduk ditemani dengan lembaran koran terasa menyenangkan bagiku. Tapi itu jauh sebelum pandemi Covid19 menyebar luas dinegeri ini.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Warung makan dipinggiran jalan raya adalah tempat yang sering aku singgahi, menikmati seduhan teh untuk sekedar melepas lelah setelah mengelilingi kota ini. Tiba-tiba lamunanku terhenti, ketika seseorang di depanku memperhatikan raut wajahku dengan tersenyum.

“Dek, diminum tehnya nanti keburu dingin. Memangnya lagi mikirin apa?” tanya Ibu pemilik  warung.

“Hehehe.. enggak mikirin apa-apa kok Bu,” menjawab singkat sembari mengangkat cangkir teh.

“Kelihatannya banyak sekali kertas yang kamu bawa,” kata seorang Bapak, melihat map plastik yang ku letakkan diatas meja.

“Iya Pak tugas kuliah,” jawabku dengan tersenyum.

“Loh, memangnya kalian sudah aktif ke kampus lagi ya dek?” tanya Ibu pemilik warung, dengan ekspresi heran.

“Belum Bu.. tapi sudah aktif belajar lagi melalui aplikasi. Jadi belajarnya online,” jelasku.

“Oh.. begitu toh,” pungkasnya.

Telah lama rasanya pandemi Covid19 menyelimuti negeri ini, tak kunjung usai dan hampir memudarkan mimpiku. Semua yang ada didalam pikiranku seolah meredup seperti bayangan samar yang tidak terdeteksi oleh indra penglihatan manusia normal. Kehidupan mulai terasa rumit, penuh kekhawatiran dan tekanan. Hingga muncul pertanyaan dalam benakku, ”Apa aku bisa melanjutkan kuliah dengan situasi dan kondisi yang sulit seperti ini?”

Beberapa waktu setelah virus Covid19 dinyatakan menyebar luas, pemerintah membuat kebijakan untuk membatasi seluruh kegiatan di luar rumah, dalam upaya menekan penyebarluasan wabah penyakit. Aturan baru juga mulai diberitahukan oleh pihak universitas kepada mahasiswa, bahwa perkuliahan tatap muka diganti dengan perkuliahan sistem online. Sehingga setelah menyelesaikan pekerjaanku, aku bergegas pulang kerumah. Tidak ada lagi aktivitas rutin menuju ke kampus, sejauh mata memandang yang terlihat hanyalah gedung universitas dengan kondisi kosong yang mulai kesepian karena ditinggal oleh penghuninya.

“Hore.. Kakak sudah pulang,” teriak Salsa yang kemudian lari menuju ke arah ku.

“Ayo kita makan, Kakak bawa mi ayam kesukaanmu,” jawabku sambil merangkulnya.

Dia adalah Adikku, sepekan yang lalu tepat hari ulang tahunnya yang ke sepuluh. Dia sangat pintar dan periang, yang selalu mengisi rumah dengan celotehan dan suara tawa yang menggelegar khas anak seusianya.

“Gimana ngojeknya hari ini, Kak?” tanya Bapak. “Jalanan sepi Pak. Tidak seperti biasanya,” jawabku lesu.

“Yang penting Kakak tetap semangat ya, habiskan makannya. Jangan lupa, sebentar lagi belajar online nya dimulai, kan?” ujarnya sambil mengelus kepalaku dan berlalu ke teras rumah.

Terlihat jelas kerutan di wajahnya yang menggambarkan betapa kerasnya ia berpikir tentang peliknya hidup, berjuang untuk menghidupi keluarga kami. Kaos oblong lusuh kesayangannya pun tidak mampu menutupi lengannya yang kendur dan tulang dadanya yang menonjol, seolah menjerit sesak karena lelah seharian bekerja. Bapak memang hanya seorang kuli panggul di pasar, bahkan tidak sempat mengenyam pendidikan sekolah dasar. Akan tetapi Beliau sadar betul, bahwa pendidikan itu sangat penting.

Oleh sebab itu, Beliau adalah orang yang paling bersemangat untuk memotivasi Aku dan Adikku agar terus belajar dan berani mewujudkan mimpi.

“Perjalananmu tentu tidak akan mudah, tapi Bapak tahu kamu tidak akan pernah menyerah. Karena kamu adalah anak yang hebat.” Kata-kata inilah yang selalu mendorong semangatku untuk terus berjuang menggapai mimpi, bertekad agar suatu saat dapat memperbaiki kondisi ekonomi keluarga kami. Tidak peduli seberapa terjal jalan yang harus dilewati.

“Rin, hari ini batas waktu pengumpulan tugas mata kuliah pengantar komunikasi. Punya kamu sudah selesai belum?” pesan singkat melalui telepon genggam dari Ina salah seorang teman dikelasku.

“Iya, tugasku sudah selesai dan sudah dikirim ke email Pak Munawar. Terima kasih ya Na, sudah mengingatkan,” balasku.

Telepon genggamku terus berdering menunjukkan pesan masuk, notifikasi pengisian absen, materi perkuliahan dan juga tugas.

“Assalammualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Selamat malam untuk anak-anak Ibu semua. Hari ini adalah pertemuan terakhir kuliah daring kita, dan Ibu sudah membagikan materi perkuliahan di beranda Classroom. Jika ada bagian dari materi yang belum kalian pahami, maka boleh langsung bertanya pada kolom komentar agar kita diskusikan.” notifikasi pesan masuk di Classroom, dari Ibu Yanti dosen pengajar pada mata kuliah komunikasi organisasi.

Meskipun hari ini pertemuan terakhir kuliah daring, akan tetapi semangat teman-temanku tetap sama seperti awal perkuliahan daring dimulai. Hal itu terlihat dari seluruh tanggapan yang diberikan setiap masing-masing dari mereka yang hadir didalam Classroom.

“Terimakasih sudah hadir dan aktif dalam diskusi malam hari ini. Ibu harap, kalian dapat mengulang kembali materi yang sudah Ibu bagikan selama perkuliahan daring untuk persiapan ujian minggu depan. Tetap semangat untuk kita semua, jangan lupa berdoa semoga keadaan kembali normal dan kita dapat segera memulai perkuliahan tatap muka. Wassalammualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.”

Lega rasanya, kuliah daring hari ini terlewati dengan lancar. Setelah di minggu yang lalu sempat mengalami kendala gangguan koneksi internet, hingga membuat tugasku terlambat diterima oleh dosen. Aku berjalan menuju radio kecilku, mencari siaran musik kesukaan untuk menemaniku malam ini. Sambil bergumam dalam hati, ”Aku harus tetap semangat menyelesaikan tugas-tugas ini tepat waktu.”

Sayup-sayup terdengar suara lantunan adzan berkumandang dari mesjid di seberang sungai. “Kakak.. Adek.. ayo bangun salat subuh,” panggil Bapak dari balik pintu.

Ternyata aku tertidur pulas diantara buku dan radio yang masih menyala di sudut meja.

“Iya.. Pak, ini sudah bangun,” menjawab pelan, sembari menggeser buku yang berada disamping bahuku dan mematikan radio.

“Ya sudah, langsung cuci muka dan ambil air wudu ya.. kita salat berjamaah,” sambung Bapak. “Iya Pak,” jawabku singkat.

Begitulah Bapak, Beliau selalu menyempatkan waktu untuk salat subuh berjamaah. Meskipun setelah itu, Beliau harus bergegas untuk pergi bekerja ke pasar induk.

“Pak.. hari ini Rinda mau pergi ke rumah Ina, ada tugas kelompok yang harus dikerjakan. Salsa boleh ikut, kan Pak? Kasihan kalau ditinggal sendirian dirumah,” bisikku pelan kepada Bapak, takut membangunkan Salsa yang melanjutkan tidurnya.

“Ya sudah, yang penting hati-hati dijalan dan jangan lupa pakai maskernya. Bapak sudah dadarkan telur untuk kalian berdua, jangan lupa sarapan ya nak.. Bapak pergi dulu,” jawab Bapak tersenyum dan mengelus kepalaku.

“Iya Pak.. Bapak hati-hati dijalan ya,” aku tersenyum dan mencium tangan Bapak.

Dalam hati berbicara, “Salsa pasti senang sekali kalau diajak kerumah Ina karena Dia juga punya adik yang seumuran dengan Salsa.”

Dan benar saja, sesampainya disana, Salsa langsung disambut oleh Arumi adiknya Ina . Sementara Aku dan Ina sibuk mengerjakan tugas kuliah, Salsa dan Arumi terlihat asik mewarnai dengan krayon warna-warni.

“Aku sudah mendapatkan beberapa referensi untuk materi presentasi kita Na, filenya ada disini,” ujarku menunjukkan flashdisk.

“Kalau begitu, aku pindahin dulu filenya ke komputer ya Rin,” sambung Ina, mengambil flashdisk dan menyambungkannya ke komputer.

“Oh iya Na, ini buku referensi yang kamu pinjam ke kakak sepupumu ya?” tanyaku, sembari membolak-balikkan halaman buku.

“Iya Rin, itu bukunya. Materi yang bisa kita ringkas itu ada di bab 3 dan 8,” Ina menunjukkan halaman demi halaman.

“Oke Na, aku baca dulu ya,” jawabku singkat.

Sesekali aku memandang ke arah pohon palem di depan teras, melambai-lambai tertiup angin yang berhembus. Dari balik jendela terlihat tumpukan awan berwarna hitam pekat semakin tebal menyelimuti langit. Cuaca terlihat kurang bersahabat pagi ini. Angin mulai bertiup kencang, menyapu dedaunan yang luruh dari pepohonan dihalaman. Gemuruh pun ikut menyambut turunnya hujan.

“Yaaahh.. listriknya mati Rin, padahal sedikit lagi selesai,” Ina menoleh kearahku dengan wajah lesu.

“Ya sudah, nanti kita lanjutkan lagi saat listrik nya sudah menyala ya Na,” jawabku.

“Kalau begitu sebentar ya Rin, aku ambil minuman dan cemilan untuk kita,” sambung Ina, kemudian berjalan menuju dapur.

Pandanganku teralihkan dengan riuh suara tawa dan langkah kaki yang bergemericik di halaman rumah. Salsa dan Arumi terlihat sangat kegirangan melihat hujan turun. Mereka membuat perahu mainan dari koran bekas dan kemudian menghanyutkannya digenangan air yang terperangkap di antara gundukan tanah.

Tiba-tiba Ina datang menghampiriku disudut meja, dengan nampan yang berisi minuman dan makanan seraya bertanya padaku, “Ngomong-ngomong hari ini kamu enggak ngojek, Rin?” “Sepertinya hari ini aku libur dulu Na, karena masih ada beberapa tugas yang belum aku selesaikan untuk dikumpul sebelum ujian minggu depan,” jawabku.

“Iya nih, enggak terasa minggu depan udah ujian aja ya rin,” Ina menggaruk kepala.

“Semoga aja saat ujian berlangsung nanti, jaringan internet tetap stabil dan enggak ada gangguan apapun ya Na,” ujarku.

“Nah.. iya benar itu. Aku juga berharap seperti itu hehehe. Ayo sambil dimakan dan diminum Rin,” sambung Ina.

Perlahan, hujan mulai reda. Tumpukan awan gelap yang semula menyelimuti, mulai menepi berganti dengan sinar matahari. Dalam perjalanan pulang kerumah, aku mengendarai sepeda motor dengan perlahan sembari menikmati suasana jalanan. Langit terlihat sangat indah dengan latar biru muda, dan sapuan awan tipis diantaranya. Kicauan burung terdengar merdu, terbawa oleh desiran angin yang berlalu. Bias cahaya matahari, menembus rimbunnya dedaunan pohon dijalanan. Terlihat begitu indah, hingga membuatku terpana.

Salsa menepuk pundakku seraya berkata, “Sebentar lagi kita akan melewati sekolah Kakak.” Dengan penuh semangat, menunjuk gedung kampus tempatku menimba ilmu.

Sejenak, Aku menghentikan laju sepeda motorku persis didepan gedung kampus. Dan seketika, ingatanku berputar kembali pada kenangan hari itu. Hari – hari dimana Aku selalu bersemangat untuk pergi ke kampus, membaca koran dan buku favoritku diperpustakaan, diskusi dan bercengkrama dengan teman-teman dikelas, serta menikmati indahnya langit senja dari balkon gedung di lantai 4.

“Ahh.. rindu sekali, semoga keadaan segera pulih,” gumamku dalam hati.

 

Ikuti tulisan menarik fitri ani lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler