x

Ilustrasi wajah wanita

Iklan

Tari Oktav

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 18 November 2021

Minggu, 5 Desember 2021 12:54 WIB

Bukan Laila Majnun

Kisah cinta sepasang kekasih yang harus kandas karena adat dan budaya yang berbeda. "Aku tak mau rasa cintamu padaku membuat kamu jatuh terlalu dalam ke jurang kekecewaan." ~Siti~

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Siapa yang tidak terpikat dengan pesona seorang gadis berambut hitam terurai panjang, bola mata sepekat malam, dan pipi kemerahan. Gadis itu bernama Siti. 

 

Salah satu pemuda yang sudah jatuh hati pada Siti ialah Gani. Bila Siti populer dengan kecantikan parasnya, Gani pun tak kalah tampan. Mereka berdua bak raja dan ratu: sekasta dan sama-sama elok rupa. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Cinta Gani pada Siti rupanya tak bertepuk sebelah tangan. Tampaknya takdir memang sudah berencana untuk menyatukan mereka.

 

Bunga-bunga tumbuh subur di hati Gani. Tiada hari tanpa kata cinta yang terucap dari bibir pemuda itu untuk sang kekasih. Siti benar-benar sudah menjadi candu bagi Gani. 

 

Sore itu Gani mengajak Siti berkeliling taman naik sepeda---kendaraan mewah yang belum banyak dimiliki oleh orang-orang dusun---miliknya. Siti duduk menyamping dan tangan kanannya melingkar di pinggang Gani.

 

Setelah puas rasanya berkeliling taman, sepasang sejoli itu memilih duduk di bawah pohon palem. 

 

Gani menyandarkan punggungnya di salah satu sisi pohon palem dan Siti pun demikian, bersandar di sisi pohon lainnya. Jadilah mereka saling membelakangi. 

 

"Sebesar apa cintamu padaku, Gani?" tanya Siti. 

 

Gani terdiam sejenak, mencoba memikirkan benda apa yang paling besar untuk mengibaratkan besarnya cinta yang ia miliki untuk Siti. 

 

Sebesar matahari? Tidak. Pasti ada yang lebih besar dari itu. Sebesar jagad raya? Tidak. Pasti ada yang lebih besar dari itu. Begitu Gani mengira-ngira.

 

Pada akhirnya nihil. Gani tak bisa menemukan pengibaratan yang pas untuk cintanya pada Siti. Terlalu besar. 

 

"Tak terhingga. Aku sangat mencintaimu, Wahai Laila-ku." 

 

"Berhentilah memanggilku Laila, Gani. Kisah kita bukan Laila-Majnun." 

 

"Nyatanya aku memang seperti Qais yang Majnun---gila---mencintai Laila." 

 

Laila tersenyum mendengar ucapan kekasihnya. Lantas gadis berparas ayu itu merubah posisi duduk, menghadap ke Gani. 

 

"Aku tak suka kau tergila-gila padaku. Cintai aku secukupnya. Jangan karena rasa cintamu padaku, mengalahkan cintamu pada-Nya. 

 

"Aku tak mau rasa cintamu padaku membuat kamu jatuh terlalu dalam ke jurang kekecewaan." 

 

Gani menyentuh pipi kemerahan Siti. Lalu, ia berkata, "Bagaimana mungkin aku tidak gila bila melihat gadis bermata indah yang wajahnya bak matahari pagi bersinar cerah, menggapai balik bukit, memecah kegelapan malam. Mengapa engkau mencintai pemuda, sedang engkau tak melihat harapan bersanding dengannya. Cinta, kasih, dan sayang, sudah menyatu mengalir bersama aliran darah di tubuhku." Begitu Gani menirukan syair Qais untuk Laila. 

 

Lagi, Siti tersenyum mendengar bait syair yang memabukkan itu. 

 

"Sudah waktunya, Gani. Temui Ayah dan bundoku." 

 

***

 

Belum juga ada titik terang perdebatan dua keluarga Siti dan Gani perihal hubungan sepasang sejoli itu. 

 

Masing-masing keluarga mereka menjunjung tinggi nilai-nilai budaya yang sudah mengakar: keluarga Gani mempertahankan budaya 'beli' laki-laki oleh pihak perempuan, sedangkan keluarga Siti menolak dengan alasan belum tercatat sepanjang sejarah kaum mereka membeli laki-laki. 

 

Kebahagiaan yang sudah tampak di pelupuk mata, hilang seketika di mata Siti dan Gani. 

 

"Siti, tak ada pernikahan antara kau dan Gani." Akhirnya ayah Siti memutuskan. 

 

Gani tergemap mendengar penuturan ayah sang kekasih, sedang Siti menangis di dekapan bundonya. 

 

"Abak, tidak bisakah tak pakai uang 'bajapuik'?" Gani bertanya pada ayahnya. 

 

"Tidak bisa, Gani. Ini perihal harga diri keluarga kita. Tukang 'baruak' saja dibeli apalagi kamu seorang pengusaho mudo." 

 

Hancur. Kata itu yang mewakili perasaan Siti dan Gani sekarang. Cinta suci mereka harus kandas demi mempertahankan harga diri keluarga masing-masing. 

 

***

 

Purnama demi purnama terlewati. Namun, rasa cinta Gani pada sang pujaan hati kian tumbuh subur. Gani kini memang menjadi seperti Qais yang Majnun mencintai Laila. Namun, bedanya bila Qais menjaga segala sesuatu yang berkaitan dengan Laila, tetapi Gani malah merusak dan membunuh segala sesuatu yang dimiliki Siti. 

 

Tengah malam buta Gani datang ke rumah Siti. Gadis berparas elok itu terkejut dengan kedatangan lelaki yang hampir menjadi suaminya itu. Siti juga terheran melihat bercak-bercak merah di baju yang dikenakan Gani. 

 

"Siti, aku sudah membunuh Abak yang sudah memisahkan kita." 

 

Siti mundur beberapa langkah sambil menutup mulutnya mendengar ucapan Gani. 

 

Gani kemudian mendekat ke Siti, lalu ia berkata, "Kini giliran ayah dan bundomu." Gani mengeluarkan Sebuah belati yang tersembunyi di balik bajunya. 

 

"Gani ... jangan gila!" kata Siti setengah berteriak. 

 

"Aku memang gila karena cintamu." 

 

Mendengar keriuhan di luar, ayah dan bundo Siti keluar. Betapa terkejut orang tua Siti mendapati Gani dengan pisau di tangan berhadapan dengan anak mereka. 

 

"Gani, apa yang kamu laku--" 

 

Belum tuntas ucapan ayah Siti, sebuah belati mendarat tepat menancap dadanya. Pria paruh baya itu tergolek seketika. 

 

Beriringan dengan teriakan Siti dan bundonya melihat kepala keluarga mereka tumbang, lagi, Gani mengeluarkan senjata dari balik bajunya dan seketika menembak bundo Siti beberapa kali. Wanita paruh baya itu pun tumbang. 

 

Siti terduduk melihat raga kedua orang tuanya tak bergerak. Gadis itu menangis pilu. 

 

"Siti, tiada penghalang lagi di antara kita." 

 

Netra Siti yang basah membulat sempurna bak bulan purnama menatap benci pada lelaki yang pernah ia cintai. 

 

Wanita berparas ayu itu kemudian tegak, lalu meraih gunting di meja. "Kau tidak mencintaiku. Qais tidak pernah menyakiti segala yang berhubungan dengan Laila," ucap Siti sambil mengacungkan gunting itu di depan wajah Gani.

 

"Aku benar-benar mencintaimu." 

 

"Bohong. Kau harus membayar kematian orang tuaku." 

 

"Silakan. Lebih baik aku mati di tanganmu, daripada tersiksa menahan rindu setiap malam mengingatmu, Sayang," ucap Gani sembari menjatuhkan pistol dari genggamannya. 

 

Muak. Siti benar-benar muak mendengar ucapan Gani. Amarah gadis itu sudah membumbung tinggi. Semudah itu cintanya pada Gani berubah benci. 

 

Siti sudah seperti orang kesetanan. Ujung runcing gunting itu menancap berkali-kali di tubuh Gani. Tubuh tegap pemuda itu limbung seketika. 

 

"A--ku mencintai--mu." Kata itu yang keluar sebelum gelap merajai diri Gani. 

 

Tangan Siti gemetar dan ia terduduk di depan tubuh tak bernyawa Gani. Wanita berparas ayu itu terguguk. Lalu, ia meraih pistol yang dijatuhkan Gani tadi, mengarahkan muncung benda itu ke pelipisnya. 

 

TAMAT

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Tari Oktav lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB