x

Gambar oleh jodeng dari Pixabay

Iklan

Tyan.daff

Peserta Lomba Indonesiana
Bergabung Sejak: 5 Desember 2021

Minggu, 5 Desember 2021 12:59 WIB

Secerca Harapan

Intan, seorang siswi yang tengah berjuang untuk meraih cita citanya. namun harapan indah yang ia mimpikan tak seindah apa yang dikatakan orang tuanya. tekanan menusuk dirinya, tak disangka ada orang baik yang mau membantu dan mengagumi cita cita Intan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 Secerca Harapan

Karya : Daffaputera Tyan Adinata

 

Indahnya langit malam. Sudah hampir 1 jam aku menatapnya. Namun tak bosan-bosan aku   melamunkan tebaran bintang-bintang di langit serambi membayangkan suatu hal yang selalu aku harapkan. Kini aku berada di kamar kecilku, tempatku berkarya. Aku menatap langit dari 2 jendela kamar ku yang terbuka lebar-lebar. Di seberang sana, terdengar Alunan instrumen gitar yang dimainkan oleh tetanggaku. Aku tahu, dia adalah Pak Dayat. Pak Dayat adalah orang yang paling mengerti perasaanku saat ini. Aku bahkan sudah menganggap Pak Dayat sebagai ayah keduaku. Pak dayat  menjadi guru sastra di sekolah SMA-ku dan dia juga membuka kursus kecil tentang bahasa dan sastra. Karena itu, Dimana pun dan kapan pun aku mendapatkan keraguan tentang bahasa dan sastra, pasti selalu aku konsultasikan padanya. Itu  kulakukan karena sejak SD aku  bercita-cita  menjadi seorang penulis dan penyair yang hebat. Aku kembali termenung menatap langit. Indahnya penggabungan visual langit malam dengan alunan petikan guitar membuatku mulai meneteskan sedikit air mata. Begitu berharap, orang yang ku sayangi akan mendukungku untuk menggapai apa yang aku impikan. DRRRR! Kini lamunanku pecah. Seseorang membuka pintu kamarku hingga pintu itu terbanting ke tembok kamar. Suara lantang keluar dari mulutnya, “Intan!”

Aku diperintahkan Kembali lagi ke ruang tamu.  Sepertinya bapak akan marah besar atas nilai sekolahku. Kedua orang tuaku masih melihat daftar nilai ujian akhir sekolah yang baru saja dibagikan tadi siang. Aku memejamkan mata, berusaha menghadapi semuanya dengan tenang.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 “Intan Pramodya Sari. Intan, Sudah berapa kali bapak mengatakan padamu? Cukup intan cukup! Sekarang fokuslah pada mata pelajaran Ilmu matematika dan alam! Kau harus jadi dokter!” Aku masih memejamkan mata, bentak seorang bapak tepat di wajah anaknya itu hanya kubalas dengan wajah menunduk. “Benar itu Nduk!  Kami ingin kamu  Menjadi dokter. Karena masa depan mereka jelas. Tidak perlu jadi seorang penulis yang pekerjaanya hanya berkhayal saja!” Ujar  ibuku dengan nada yang sedikit cemas dan ragu-ragu. Aku masih terdiam. Mendengar kata kata dari seorang ibu yang terdengar menyakitkan. “Lihat! Mengapa nilai ilmu alam dan matematikamu hanya 5? Buat apa kamu jadi penulis Intan? Tidak ada gunanya! Tidak ada untungnya! Yang ada kamu bisa jadi tukang khayal!” Gusar  Bapak. Tiba tiba bapak merogoh kocek isi tasnya dan mengambil sebuah buku. Plakk, buku bersampul itu bapak lempar ke meja. Aku sedikit kaget. Dan sekarang bapak mengambil buku tersebut dan membuka lembaranya seraya berkata, “Dengar intan! Bapak banyak belajar dari buku ini. Bapak baru membelinya 1 bulan yang lalu, dan karena buku ini Bapak belajar dan belajar sehingga bapak bisa memperbaiki pekerjaan Bapak!  Dengar Intan! ini adalah buku motivasi belajar yang harus kau baca! Perhatikan, penciptanya adalah seorang anak  remaja berumur 18 Tahun yang sudah bisa menemukan jati dirinya. Sedangkan dirimu? Untuk Menemukan jati diri sendiri saja bapakmu harus marah-marah begini. Sekali lagi dengar Intan! Bap… ” “Cukup Pak!” Aku memotong pembicaraan bapak.

“Mengapa… Mengapa Bapak dan Ibu tidak pernah mengapresiasi Intan? Dan apa yang Bapak maksud dengan jati diri? Jika jati diri Intan tidak pada bidang kedokteran, mengapa harus dipaksakan Pak..?” Ujarku. Bapak dan ibu kini Terdiam.

 “Dan mengapa Bapak dan Ibu tidak pernah melihat kemampuan intan dalam bidang sastra Pak? Bu? Intan hampir tidak pernah mendapatkan nilai kurang dari 10 pada nilai bahasa dan sastra.  Dan Seperti yang Bapak tahu, buku yang bapak puji-puji itu pasti ditulis oleh seorang penulis Pak, dan memangnya jika intan bercita-cita menjadi penulis, dimana letak kesalahanya? Apakah seorang penulis bukanlah seorang yang dapat bepikir kritis? Apakah seorang penulis adalah seorang yang selalu berkhayal dan mengarang? Sekali lagi tidak Pak!. Pandangan Bapak dan Ibu terlalu sempit dalam bidang sastra, karena memang dari awal Bapak dan Ibu tidak pernah menyukai ilmu sastra!” Ucapku dengan berkata secepat mungkin, karena aku tahu hal apa yang akan dilakukan bapak.

“Keterlaluan kamu Intan! Kamu sudah tidak bisa dinasihati lagi! Berani-beraninya kamu merendahkan kedua orang tuamu! Perlu kamu tahu, kami melakukan semua ini demi kebaikanmu. Karena kami mengerti apa yang terbaik untuk seorang anak! Kamu sudah kelewatan batas intan, Kamu sudah kurang ajar!!!” Setelah akhir kata terucap, bapak mengayunkan tangan dari atas dan hendak menampar wajahku namun, perlindungan yang cepat dari seorang ibu membuat tangan keras itu tak sampai ke wajahku namun mengenai punggungnya “Sudah Pak sudah!, kasihan anakmu. Anda boleh memarahi Intan, tapi jangan sampai melukainya.” Ujar ibuku. Aku hanya bisa menangis melihat apa yang dilakukan bapak terhadap kami berdua.  “Kamu juga mau ikut-ikutan kurang ajar hah?” Bentak bapak. Aku sejenak menatap wajah bapak, begitu penuh amarah. Matanya yang melotot disandingkan dengan wajah merah. Pemandangan menakutkan ini membuatku melepas pelukan ibu dan berlari  masuk ke dalam kamar. Ku tutup pintu rapat-rapat. Aku tak ingin melanjutkanya. Air mataku benar-benar mengalir deras “ Ya Tuhan… mengapa semuanya jadi begini?” ucapku lirih. Keributan masih berlangsung di ruang tamu. Aku menuju ke pojokan kamar dan duduk di bawah jendela kamarku. Menutup wajah dengan bantal dan meneteskan semua air mata disana. Alunan indah gitar masih terdengar samar-samar. Membuatku menangis tersedu-sedu. Suara petikan gitar,tangisanku, dan adu mulut antara ibu dan bapak seakan akan terjadi dalam 1 ruangan. Sekarang, petikan gitar itu diiringi oleh nyanyian Pak Dayat.

 

“Oh… dinda, Bersabarlah…. Akan deru tangismu, akan laju air matamu…. Ohh.. dinda aku tahu…. kau menantikan kasih dari… di.. ri.. ku…”  nyanyian Pak Dayat terdengar sampai sini. Aku sudah mulai bisa menenangkan diri namun, masih terisak-isak. Sepertinya aku mengenal lagu itu.  Itu adalah lagu yang Pak Dayat ciptakan untuku, dikala aku gagal mendapatkan kelas Bahasa sewaktu mendaftar SMA. Dan kini nyanyian Pak Dayat membuktikan bahwa dirinya sungguh mengerti dengan apa yang sedang kualami. Perlahan, mataku mulai berhenti meneteskan air suci. Nyanyian dan melodi gitar itu membuatku tertidur lelap dalam malam kelam di pojok kamar. Dengan kelopak  mata basah, akhirnya aku bisa memejamkan mataku,

 selamat malam dunia fana…

Pagi telah kembali. Hari Senin, hari yang seharusnya dipenuhi rasa antusias dan kegigihan. Namun, tidak dengan diriku hari ini. Ku lirik jam dinding, pukul tujuh pagi. Aku sudah telat. Aku memilih untuk ijin sekolah. Kubuka ponsel dan ku telepon wali kelasku, beralasan bahwa aku sedang sakit. Ya, hatiku hancur. Untuk apa aku pergi sekolah jika keadaanku seperti ini.

Nada lirih dan lemasku dalam berbicara membuat wali kelasku semakin yakin bahwa aku sedang sakit. Setelah semuanya beres, Aku berusaha membangunkan tubuhku yang terkulai lemas dipojok kamar. Aku berjalan dan perlahan membuka pintu kamar. Niatku ingin menuju ruang tamu untuk mencari sesuatu. Benar saja, kulihat dari kejauhan, buku yang semalam bapak bahas   masih tergeletak di meja sana. Aku mempercepat langkah kedap ku, berharap tak ada yang tahu. “Nah ini dia.” Ucapku lirih. Ku lihat sekilas sampul buku dan halaman depanya, aku menyadari sesuatu. “Hah? Ini kan buku…” “Intan!” plakk. Buku itu jatuh kembali. “Intan!!! mengapa kamu tidak sekolah hari ini? Mau jadi apa kamu!” Aku menutup wajahku dan menyisakan celah untuk melihat pergerakan bapak. “Ibu… dimana engkau?” Ucapku dalam hati. “ Intan!, mengapa kamu tidak menjawab!? Kamu sudah benar-benar kurang ajar sekarang!” Lambaian tangan bapak mulai terayun dari atas. Dan...

 

tok tok tok… Suara ketukan pintu membuat lambaian tangan bapak berhenti depat di atas kepalaku. “Siapa dia, pagi pagi sudah menganggu rumah tangga orang!” Ujar bapak. Aku perlahan menyingkirkan tangan dari wajahku, membalikkan badan menghadap pintu saat bapak tengah membuka pintu rumah. Tok tok tok… Ketukan itu muncul lagi. “Sabarlah!” Ucap bapak. Dibukakanlah pintu itu. Cahaya matahari pagi perlahan masuk ke rumah, menerangi wajahku. Munculah Pak Dayat dari balik pintu itu. Ia tersenyum sopan sebagai seorang tamu. Memakai seragam coklat guru, bersepatu dan memegang sebuah map coklat di tangan kananya. Bapak terlihat bingung. “Ada keperluan apa bapak datang pagi-pagi?” tanya Bapak. Aku pun juga tak tahu, mengapa Pak Dayat datang kerumahku jam segini. Seharusnya Pak Dayat sudah di sekolah untuk mengajar para siswa. “Bolehkah saya masuk terlebih dahulu?” Pertanyaan yang dijawab pertanyaan oleh Pak Dayat.

Kini kami bertiga sudah duduk rapi di ruang tamu. Aku dan bapak menduduki kursi yang berlawanan arah dengan Pak Dayat, sehingga 4 mata bapak dan Pak Dayat bisa bertemu.

“Pertanyaan saya belum anda jawab. Ada keperluan apa Bapak Dayat datang kesini?” tanya Bapak. “Saya datang, karena ada hal yang perlu diselesaikan tentang masa depan anak bapak.” Mendengar hal itu, kening Bapak mengkerut. “ Tahu apa anda tentang masa depan anak saya?” Nada bapak mulai meninggi. “Saya tidak benar-benar tahu masa depan anak bapak, karena  anak bapak sendiri lah yang mengetahui masa depanya.” Seusai perkataanya, Pak Dayat terlihat membuka map coklat yang dibawanya. Dilihat dari luar, map tersebut cukup tebal. Setelah Dibuka sampulnya, Pak dayat mengeluarkan puluhan sertifikat dan beberapa buku novel dari dalam map. Bapak Terkejut, “Apa maksud semua ini?” Pak Dayat tak menghiraukan pertanyaan bapak, ia masih mengeluarkan isi map itu. Keluarlah sejumlah buku motivasi belajar. Pak Dayat menyisakan 1 benda di dalam map itu. kemudian  ia menaruh map itu dipinggir meja. “Pak, apa maksud semua ini? Apa Anda mau mengajari anak saya membaca buku motivasi dan novel? Tidak, Saya tidak mengijinkanya.” Ucap Bapak. “Baik, sekarang tolong dengarkan penjelasan saya.” Ujar Pak Dayat

“Ketika SD, Intan pernah bertanya kepada saya. Apakah cita cita yang mulia? Dan saya menjawabnya dengan jawaban yang sederhana. Semua cita cita itu mulia, yang menjadikan cita cita itu spesial adalah bagaimana cita-cita itu bermanfaat untuk dirimu dan orang disekitarmu. Dan yang terpenting, bagaimana kamu bersungguh sungguh dalam menjalani harapan muliamu itu. Karena akan banyak sekali rintangan yang menunggumu di depan sana. Setelah saya memberi penjelasan pada Intan, Beberapa hari kemudian, Intan menghampiri saya dan berkata bahwa dirinya ingin menjadi penulis dan penyair yang hebat. Saat saya tanya Mengapa, Intan berkata bahwa dirinya ingin memberikan motivasi-motivasi dan cerita hebat melalui tulisanya. Kini, Intan membuktikan perkataanya.”

Air mataku mulai menetes sedikit demi sedikit. Aku teringat akan semua itu. “Dan ini, puluhan sertifikat atas keberhasilan Intan dalam bidang sastra.” Pak dayat menyerahkan puluhan penghargaan itu kepada bapak. Aku bisa melihat wajah bapak yang mulai luluh. “Berikutnya, ini adalah buku novel dan buku motivasi karya Intan sendiri. Bahkan buku ini diterbitkan oleh penerbit tanah air.” Jelas Pak Dayat. Bapak meraih buku-buku itu. membukanya lembar demi lembar. Aku melihat wajah bapak yang terheran heran. Dalam suasana itu Pak Dayat berkata, “Jika Bapak bertanya, mengapa semua ini ada pada saya, karena Intan pernah meminta tolong pada saya agar mau membantunya dalam urus mengurus lomba lomba dan penerbitan buku. Karena melihat antusias yang dimiliki Intan, saya memutuskan untuk membantunya.” “Hebat kamu Intan” puji bapak. Ini adalah pertama kali bapak memujiku, aku lega bapak bisa mengetahui semua ini.

Tiba tiba, bapak meraih buku yang terjatuh di lantai sebelumnya. Bapak terlihat membaca-baca cover  buku itu. “Intan… Pramodya… Sari. Intan, apakah ini hasil karyamu?” Tanya Bapak. Aku mengangguk, sebenarnya aku ingin mengatakanya dari awal namun, pasti Bapak takkan percaya. “Pak, buku ini yang telah merubah pekerjaan saya, merubah hidup saya. Dan betapa bodohnya saya. Saya memarahi anak saya. Padahal sejatinya anak saya yang telah mengubah hidup dan pekerjaan saya.” Ujar bapak. Tiba tiba Bapak memeluk erat diriku. “Maafkan Bapakmu ini nak…” Bapak mulai terisak. Diantara celah pelukan, aku melihat Pak Dayat tersenyum melihat kita berdua. “Bapak berjanji nak, Bapak tidak akan membatasi cita cita mu lagi. Kamu bebas menentukan jalan hidupmu, asalkan itu yang terbaik.” Ucap Bapak. Aku begitu bahagia, sekarang harapanku didukung oleh Bapak.

“Dan yang terakhir, ini adalah  hasil kerja keras Intan. saya benar benar menjaganya dan tak mengambil sepeserpun. Karena Intan telah memberi kepercayaan penuh untuk saya.” Ucap Pak Dayat serambi mengeluarkan sebuah amplop di dalam map. Ku buka, amplop tebal itu dan ternyata, berisi beberapa uang gepok! Sungguh, aku sangat senang. Apa yang aku cita-citakan menjadi hasil. “Uang akan terus Intan dapat, selama pengedaran buku ciptaanya tetap berjalan. Dan yang terpenting jika Intan terus menghasilkan karyanya. Intan akan dilirik oleh media tulis Tanah Air untuk bisa mendapatkan beasiswa” Tambah Pak Dayat. Tiba tiba Bapak berkata, “Hebat kamu intan. Teruslah berkarya!” “Terimakasih Pak!” Setelah melepas pelukan bapak,  aku melihat Pak Dayat, kemudian aku bertekuk lutut dihadapanya. “Terimakasih banyak Pak Dayat. Bapak rela membantu saya untuk mewujudkan cita cita saya.” “Sudah bangunlah intan, sekarang nikmatilah hasil karyamu.” “Sekali lagi terimakasih Pak.”

Aku membangunkan diri, mencoba berjalan menghampiri kamar Ibu. “Mau kemana kamu Intan?” Tanya Bapak. “Dimana ibu Pak?” tiba tiba bapak menunduk. Wajahnya senangnya berubah menjadi  penyesalan. “Pak…” “Maafkan Bapak Nak…” “Pak… apa yang telah bapak lakukan pada ibu???” Tanyaku cemas. “Pak… tolong Jawab.” Bapak masih menunduk, kali ini air matanya menetes di sofa. kedua lututku jatuh dan menyentuh lantai. Aku mengerti sekarang.   Air mata bahagia dan air mata sedihku bercampur.

 Kini, aku sadar. harapanku memang takkan pernah tercapai.

Tamat

Ikuti tulisan menarik Tyan.daff lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu