x

Hutan mangrove di Pantai Ayah, memiliki bentuk unik, tak sekadar rimbun. Pepohonan itu seperti pulau-pulau yang muncul dari laut. TEMPO/Shinta Maharani

Iklan

Regina Steffi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 7 Desember 2019

Senin, 6 Desember 2021 12:36 WIB

Proses Industrialisasi Kehutanan dan Dampaknya Terhadap Masyarakat Adat Kalimantan

Masuknya pengusaha kebun sawit dan tambang ilegal mengakibatkan masyarakat adat termaginalkan dari budaya aslinya. Terdapat perbedaan nilai antara masyarakat adat dengan para pengusaha terhadap keberadaan hutan yang mengakibatkan konflik penyerobotan lahan di Kalimantan ini tak kunjung usai. Terlebih lagi tatakelola perizinan yang buruk oleh pemerintah setempat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh Regina Steffi Pelawi 

PENDAHULUAN
    Kalimantan yang diwacanakan sebagai ibu kota Indonesia karena Kalimantan dianggap cukup ideal untuk menggantikan Jakarta. Pemerintah menganggap wilayah Kalimantan cukup luas untuk membangun infrastruktur yang diperlukan untuk keberadaan sebuah ibu kota negara. Essay ini membahas kasus konflik antara masyarakat adat dengan oknum eksternal terkait penyerobotan lahan untuk sawit dan tambang di Kalimantan, yang sebenarnya sudah mengakibatkan krisis lingkungan dan merugikan masyarakat adat namun tidak juga ditindak tegas oleh pemerintah setempat. Konflik sosial yang dialami masyarakat adat Kalimantan akan dianalisis menggunakan konsep konstruksi sosial konflik oleh Berger dan meninjau penyelesaian konflik menggunakan analogi pilar.
    Pada aspek kebijakan, terlihat dari diterbitkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang kemudian dirubah lagi dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Kebijakan pemerintah mengenai otonomi daerah ini, bertujuan untuk meningkatkan pelayanan publik, meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta meningkatkan daya saing daerah (Sadjiono, 2008). Berdasarkan Undang-Undang tersebut, otonomi daerah diartikan sebagai pemberian hak, wewenang dan kewajiban kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan masyarakat. Hal tersebut yang kemudian menjadi rujukan bagi Pemerintah Kalimantan yang mengelola secara mandiri setiap kekayaan daerah, terutama yang bersumber dari hutan yaitu sektor sawit dan pertambangan. Dalam rangka terwujudnya pembangunan nasional, pemerintahan daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan bagi setiap masyarakat adat masyarakat. setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 
    Akan tetapi realitas di lapangan menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah dibidang pengelolaan sumber daya alam, belum sepenuhnya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Salah satunya, terlihat dari belum berpihaknya kebijakan pemerintah, baik di tingkat Provinsi, Kabupaten maupun Kota dalam pemberian izin pengelolaan sumber daya alam di daerah, terutama dalam hal pemberian izin usaha sawit dan pertambangan. Dimana kebijakan yang dibuat belum mampu menampung seluruh aspirasi masyarakat, terutama masyarakat adat yang terdapat di sekitar wilayah sawit dan pertambangan untuk mengeksploitasi kekayaan alam yang berada di daerahnya. Di Kalimantan memiliki konflik yang kompleks terkait penyerobotan lahan, mengapa dikatakan penyerobotan lahan karena masyarakat adat Kalimantan tidak mengetahaui perluasan lahan untuk sawit dan tambang. Perizinan usaha pertambangan belum menampung aspirasi masyarakat adat serta terkesan kurang konsisten, sehingga kerap memicu munculnya praktek-praktek penambangan ilegal yang terjadi hampir di setiap wilayah Kalimantan.  

PEMBAHASAN
    Wacana Kalimantan akan menjadi ibu kota Indonesia sepertinya harus dipupuk, melihat lahan hutan Kalimantan yang menjadi kebanggan sekarang sudah berubah menjadi perkebunan monokultur sawit dan pertambangan. Perluasan secara masif secara terus menurus bahkan terus meningkat setiap tahunnya akan memparah kondisi lingkungan hutan Kalimantan, bencana alam yang tidak terjadi begitu saja karena alam melainkan keserakahan manusia. Wilayah Kalimantan tidak lepas dari dua kasus penyerobotan lahan hutan, yakni penyerobotan lahan untuk pembukaan kebun sawit dan tambang. Berdasarkan berita kompas.com kasus konflik sosial perkebunan sawit dan tambang di Kalimantan berujung dengan orasi yang dilakukan oleh masyarakat adat. Isi dari orasi yang dilakukan oleh masyarakat adat ialah meminta hak masyarakat adat atas lahannya dan transparansi perizinan pembukaan lahan yang dilakukan pemerintah bersama oknum pengusaha. Walaupun orasi yang dilakukan masyarakat adat, penyerobotan lahan tetap dilakukan. 
    Penyerobotan lahan secara ekologis akan mengakibatkan rusaknya ekosistem hutan dan berakibat pada terganggunya ekosistem global. Kemudian secara sosial budaya, terjadi konflik kepentingan antara tatanan budaya lokal dan budaya modern yang melekat di konteks industrialisasi hutan. Konflik penyerobotan lahan di Kalimantan telah ada sejak tahun 1980-an hingga saat ini tahun 2021. Modernisasi melihat bahwa tatanan budaya lokal merupakan hambatan yang harus “dihilangkan” atau “diganti” agar proses pembangunan dalam arti pemupukan surplus dari hasil hutan tidak mendapat gangguan serius dari komunitas masyarakat adat. Sementara itu, di pihak lain, masyarakat adat memandang industrialisasi dengan segenap nilai dan aparatusnya sebagai ancaman bagi hak-hak adat mereka terhadap hutan. 
    Konflik ini sesuai dengan konsep kontruksi sosial konflik oleh Berger. Dalam menjelaskan paradigma konstruktivis, realitas sosial merupakan konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Individu adalah manusia yg bebas yang melakukan hubungan antara manusia yang satu dengan yang lain. Individu menjadi penentu dalam dunia sosial yang dikonstruksi berdasarkan kehendaknya. Individu bukanlah korban fakta sosial, namun sebagai media produksi sekaligus reproduksi yang kreatif dalam mengkonstruksi dunia sosialnya (Basrowi dan Sukidin, 2002 : 194). Terdapat dua pemaknaan antara masyarakat adat dan perusahaan sawit dan tambang terhadap satu objek yaitu hutan. Suatu proses pemaknaan yang dilakukan oleh setiap individu terhadap lingkungan dan aspek diluar dirinya yang terdiri dari proses eksternalisasi, internalisasi dan obyektivasi.    
    Pada praktiknya, secara langsung maupun tidak langsung konflik penyerobotan lahan hutan ini menempatkan masyarakat adat pada posisi marginal dan terjadi arus besar untuk mengganti tatanan sosial budaya masyarakat agar sesuai dengan kepentingan dan nilai-nilai modern (atau nilai-nilai masyarakat industri). Hal ini membuat masyarakat adat terdesak dengan pilihan terbatas, dan pilihan yang terbatas itu semakin mendorong mereka menjauhi akses-akses sumber daya alam yang selama ini mereka kuasai. Melihat keadaan masyarakat adat seperti sekarang sangat diperlukan pemerintah yang memiliki kuasa untuk memihak masyarakat di Kalimantan.
    Penyelesaian konflik penyerobotan lahan hutan Kalimantan bisa dilakukan menggunakan analisa kekuatan konnflik untuk mengidentifikasi kekuatan-kekuatan yang memengaruhi suatu konflik karena dalam suasana konflik, pasti ada sejumlah kekuatan lain yang mendukung atau menghalangi usaha penyelesaian konflik. Metode ini dapat mengindentifikasi kekuatan positif dan negatif tersebut dan menilai kelemahan dan kekuatannya. Jika dilihat secara struktur sudah cukup jelas bahwa masyarakat adat dengan pengusaha sawit dan tambang dibawah naungan pemerintah, yang mana pemerintah memiliki kuasa atas perizinan administratif pembukaan lahan di hutan walaupun lahan itu milik masyarakat adat Kalimantan. Analisa konflik juga berfungsi untuk melihat lebih jelas kekuatan yang mempertahankan status quo konflik sehingga dapat diketahui ada faktor apa saja yang menyebabkan konflik penyerobotan lahan tak kunjung usai. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

KESIMPULAN
    Pemanfaatan hasil hutan selama ini sangat dipercaya oleh pemerintah, ternyata dalam praktiknya telah memunculkan dampak yang serius bagi aspek kelestarian alam. Begitu pula dengan tidak diakuinya eksistensi masyarakat adat terhadap lingkungan hidupnya sendiri, telah mengakumulasikan persoalan dan membuat konflik sosial menjadi sangat kompleks. Diperlukannya meninjau secara kritis terhadap paradigma pembangunan dan mencari alternatif bagi pola produksi dan pengelolaan sumber daya produktif yang relatif lebih adil dan berimbang. Agar mencapai suatu kesepakatan bersama dengan tidak merugikan pihak manapun, disini pemerintah sangat diminta ketegasannya memperhatikan masyarakat adat dan keterbukaan.

Ikuti tulisan menarik Regina Steffi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB