x

Rumah Tipe Minimalis 29/60 Perumahan Griya Mulya Indah.

Iklan

Septi Nk

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 6 Desember 2021

Senin, 6 Desember 2021 20:17 WIB

Keramaian yang Menyakitkan

Apakah kamu pernah merasakan jika rumah bukan lagi tempat yang nyaman untuk melepas lelah?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Keramaian yang Menyakitkan

Sinar mentari yang hendak menjalankan tugasnya itu muncul dengan malu-malu, ditemani juga dengan kicauan burung-burung yang mulai melintasi jalur langit, ditambah dengan aroma hujan tadi malam yang masih tercium jelas, belum lagi dengan suara ayam yang menjadi alaramnya, semuanya seperti memberikan semangat dan energi baru bagi semua orang untuk memulai kembali semua kegiatan yang sempat tertunda tadi malam.

Hari ini, waktu sudah menunjukan pukul 06.30 WIB, disaat orang-orang sedang bersiap untuk berjuang kembali untuk masa depan, di salah satu rumah minimalis ini malah tampaknya masih sepi, seperti tidak ada kegiatan yang berarti. Salah satu rumah yang ditempati oleh sepasang suami istri dan ketiga anak laki-lakinya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sesuatu yang menarik sepertinya baru dimulai ketika seorang pemuda membuka pintu salah satu kamar dengan kasar, tirai jendela yang semula tertutup rapi sekarang sudah dibuka dengan lebar.

"Bangun.”

"Ervin!" Ucapannya tegas.

"Iya, Bang. Udah bangun, nih."

"Cepetan." Orang yang dikenal sebagai sosok kakak dari Ervin itu langsung pergi meninggalkannya sendirian.

"Sial, kenapa baru dibangungin jam segini?" Ucapnya ketika melirik jam weker di atas meja. Tentu tidak lupa dengan sumpah serapah lainnya yang Ervin lontarkan, langsung saja Ervin berlari ke kamar mandi dan tanpa butuh waktu lama dia sudah rapi dengan seragam sekolah.

"Kak Ervin kok lama?" Anak kecil yang masih duduk di bangku kelas empat akhirnya membuka suara ketika kakaknya sudah berada dihadapan.

"Tadi malam kakak lupa pasang alarm, jadi agak telat. Oiya, Kevan tadi malam tidurnya gimana?" Bukan itu yang terjadi dan dia harus berbohong.

"Nyenyak kak, tadi malam Kevan mimpi indah banget." Jawab Kevan dengan nada riangnya.

"Sungguh? Coba ceritain, kakak mau dengar." Tatapan Ervin langsung tertuju pada kakanya, seperti meminta penjelasan, apakah tadi malam Kevan mendengar semuanya atau tidak.

"Nanti aja ceritanya, cepet dimakan nanti telat."

"Bang Gio enggak asik, nih." Kevan menolak.

Itulah kondisi setiap pagi di rumah mereka, setelah kejadian beberapa tahun lalu, mereka tidak pernah lagi merasakan satu meja makan dengan kedua orang tuanya.

"Kevan nanti pulang sendirian, ya, Bang Gio ada kuliah pagi." Ucap Gio ketika mereka sudah berada di depan pintu rumah.

"Enggak apa-apa kok, Kevan kan kuat." Gio yang mendengar itu langsung mengacak rambut adiknya gemas. Bukannya marah karena rambutnya menjadi berantakan, Kevan malah dengan senang hati diperlakukan seperti itu, rasanya seperti ada energi baru yang kakaknya alirkan.

"Jaga Kevan, Vin.”

"Bawel banget, sih, Bang." Gio yang mendengar itu langsung menyentil dahi Ervin.

"Kebiasaan." Ini yang Ervin suka dari kakaknya, walaupun menjengkelkan, tapi ada perlakuan khusus tanda kasih sayang diantara mereka.

"Sampai nanti, Bang Gio." Saat ini Gio baru menjadi maba, sedangkan Ervin masih duduk dibangku kelas dua belas. Mereka hanya terpaut satu tahun.

Hari ini waktu seperti berjalan dengan cepat, langit senja yang biasanya dijadikan kanvas untuk lukisan semesta kali ini berbeda, setelah memasuki waktu makan siang langit masih terus menjatuhkan beban yang sudah tak bisa dibendung lagi dari sang awan, derasnya hujan masih setia menemani, tidak heran sekarang sudah memasuki musim penghujan.

"Bang Gio pulang." Sudah rutinitas jika dia atau kedua adiknya baru saja memasuki rumah dan dari manapun dia pergi, ruangan yang pertama kali didatangi adalah kamar Kevan.

"Kevan." Gio mengerutkan dahi ketika sang adik sedang tertidur dengan balutan selimut.

Tidak seperti biasa adiknya seperti ini, waktunya terlalu cepat untuk beristirahat. Akhirnya dia melangkah lebih dekat dan betapa terkejutnya ketika telapak tangannya merasakan suhu yang tidak normal di dahi Kevan, suhunya sangat panas. Langsung saja dia berlari kebawah untuk menyiapkan alat kompres dan kotak obat, semoga saja dengan ini suhunya dapat turun.

Malam ini hanya ada Gio dan Kevan, ibunya sedang berada di luar kota karena urusan pekerjaan dan baru berangkat tadi pagi, kalau ayahnya selalu pulang larut malam dan berangkat lagi sebelum mereka berangkat sekolah, pantas saja sampai saat ini Gio belum melihatnya. Untuk Ervin sendiri jangan ditanya, pesan yang sedari tadi Gio kirim masih belum di balas. Untung saja, Kevan sudah tidur setelah meminum obatnya tadi. Jadi, rasa khawatirnya berkurang.

Pikiran Gio berserabut, ada sesuatu yang sedang mengusik pikirannya, apalagi dengan masalah kemarin malam, belum juga tugas kuliahnya tadi pagi karena itu, akhirnya dia memilih untuk menyibukkan diri dengan mengerjakan laporan praktikum.

Pukul sudah menunjukan jam sebelas malam, kedua matanya masih belum merasakan tanda- tanda lelahnya, malahan rasa khawatir yang selalu muncul. Konsentrasi Gio tiba-tiba terganggu ketika mendengar suara ketukan pintu kamarnya.

"Dari mana?" Satu kata yang mewakili semuanya.

"Latihan buat tanding besok." Jawab Ervin santai saat memasuki kamar sang kakak.

"Kenapa pesannya enggak dibales?"

"Maaf, Bang. Tadi baterainya abis belum sempet dicharge karena latihan."

"Alesan." Jawab Gio dingin dan masih tetap menatap lembaran kertas tugasnya tanpa sekalipun menoleh kebelakang, tempat Ervin duduk.

"Enggak usah pulang sekalian, latihan aja sampai besok." Ervin tahu Gio khawatir, hanya saja kakaknya ini terlalu gengsi.

"Maaf." Kalau boleh jujur Ervin tidak suka perang dingin seperti ini. Tapi bukan Ervin namanya kalau tidak banyak ide, seperti ini salah satunya.

"Kevan udah tidur, Bang?"

"Enggak usah keluar dari topik." Ervin sebenarnya tahu kalau Kevan pasti sudah tidur, tetapi untuk saat ini tidak ada salahnya menanyakan itu.

"Bang Gio udah makan?" Tanya Ervin dengan nada pelannya.

"Bang Gio."

"Berisik Ervin!" Ucapan kakaknya tadi membuat dirinya takut, sebenarnya bukan takut, tetapi hanya kecewa, kakaknya jarang sekali membentak dirinya ataupun Kevan sendiri.

“Maaf.” Seperti biasa kakanya pasti langsung mengatakan itu jika kelepasan.

"Kalau ada sesuatu bilang. Keadaan lagi enggak baik."

"Maaf, Bang." Hanya itu yang bisa keluar dari mulut Ervin. Menatap punggung kakaknya saja dia enggan.

"Kalau ada masalah tolong inget pulang. Walaupun rumah bukan lagi tempat yang nyaman, setidaknya ada Kevan yang nyariin, dia butuh lo." Bahasa yang kakaknya gunakan berubah, berarti ucapanya tidak main-main.

"Jangan diulangi lagi." Nada bicara Gio sudah agak menurun.

"Makasih, Bang."

"Oiya, Bang Gio udah makan?" Kakanya masih belum mau menjawab.

"Jaga kesehatan Bang, jangan buat kita khawatir.” Sudah tahu punya penyakit maag tapi kakaknya masih selalu abai, tidak heran jika kemarin kambuh lagi.

“Tadi sempet beli makanan, makanannya ada di dapur, jangan lupa dimakan, Bang. ” Saat hendak menutup kamarnya, Gio menghentikan langkah Ervin terlebih dulu.

“Kevan sakit.” Seketika tubuh Ervin menegang.

“Jangan bohong Bang, lebih baik marah-marah aja kaya tadi.” Ujar Ervin tidak suka.

“Dia demam karena kena hujan.” Tanda memperdulikan lanjutannya, Ervin langsung melangkah menuju kamar adiknya.

Melihat Ervin seperti ini membuat Gio lebih bersyukur, setidaknya masih ada asalan agar dirinya berusaha lagi ketika semesta berkata tidak. Semua yang dia lakukan bertujuan agar kedua adiknya tidak kekurangan kasih sayang, dia hanya ingin menjadi seorang kakak yang berguna dan bisa melindungi dari masalah yang menanti meraka di depan sana.

“Suhunya udah turun, Bang.” Gio yang mendengar itu hanya bisa tersenyum.

Kamar kevan ini letaknya di antara kamar Gio dan Ervin, untuk kamar kedua orang tuanya berada di lantai bawah, jadi suara yang berasal dari atas tidak terlalu terdengar. Teringat ada makanan dari Ervin, akhirnya Gio berniat turun ke dapur dan ketika sudah sampai langkahnya terdiam ketika mendapati ayahnya sedang menyeduh kopi. Ternyata ayahnya itu sudah pulang.

“Jangan sering begadang.” Tanpa menghiraukan ucapan ayahnya, Gio langsung mengambil piring dan sendok lalu membuka kantung plastik yang di atas meja makan. Setelah menyiapkan semuanya dia langsung melangkah pergi meninggalkan ayahnya tanpa mengeluarkan satu kata pun.

Tidak terasa hari sudah berganti, hari ini adalah hari minggu dan sama seperti hari-hari yang lain. Walaupun hari libur, ayah mereka tetap berkutat dengan urusan kantornya, menurut info dari ayahnya, keadaan kantor sedang dalam kondisi tidak prima, tidak sedikit proyek yang gagal, karena itu ayahnya sering lembur kerja. Perusahaan tempat ayah dan ibunya bekerja juga berbeda.

Langit sudah menunjukan senjanya dan Ervin belum juga pulang. Karena merasa haus, akhirnya Gio mengambil minuman di dapur, betapa terkejudnya ternyata ibunya sudah berada di ruang tamu dan sedang melakukan panggilan telepon dari seseorang yang entah siapa itu Gio tidak peduli. Tidak biasanya, ibunya pulang dengan cepat. Setelah selesai, Gio hendak ke atas, tetapi terhalang ketika ada suara pecah dan dia yakin suara itu berasal dari ruang tamu.

“Siapa tadi?” Gio kenal suara itu, tapi kenapa jam segini ayahnya sudah pulang.

“Teman kantor.”

“Siapa!” Takut terjadi sesuatu akhirnya Gio menghampiri mereka.

“Udah aku bilang dia cuma teman kantor.”

“Teman kantor atau teman hotel?” Waktunya tidak tepat untuk membahas hal ini, setidaknya harus ada Ervin yang sekarang sedang menemani Kevan dikamar. Sebenarnya Gio dan Ervin sudah tahu kalau ibunya pernah bermain di belakang dan itu benar adanya, karena mereka pernah mencari tahu soal itu.

“Pah udah, jangan berisik.” Gio berusaha mengambil perhatian ayahnya.

“Jadi istri itu yang nurut.” Sudah terlalu biasa Gio dihadapkan seperti ini, sudah hal umum di kehidupan Gio, untung saja usaha agar adiknya tidak mengetahui masalah ini berhasil, baginya Kevan masih terlalu kecil untuk mengetahui hal menyedihkan.

”Udah, Pah!” Bentak Gio ketika ayahnya main tangan terhadap ibunya.

“Kamu kasian sama dia, Gio?” Sebenarnya dirinya juga sudah muak dengan semua ini.

“Gimana? Kantornya mau bangkrut, ya?” Ayolah kapan semua ini akan selesai. Ayahnya yang gila kerja dan ibunya yang selingkuh, sangat bagus bukan.

“Kurang ajar kamu.” Untung saja Gio sempat menghentikan tangan ayahnya untuk tidak melukai ibunya lagi.

“Udah berani kamu melawan Papah, Gio!”

“Kevan lagi sakit, kalau mau berantem jangan di rumah. Oiya Gio lupa, kalian kan enggak pernah tau kondisi anak-anaknya.” Satu tamparan sang ibu sukses membungkam mulut Gio.

“Kamu berubah, Gio.” Kali ini ibunya mengambil suara.

“Dan semua ini gara-gara kalian.” Tiba-tiba Gio tersungkur ke lantai setelah mendapat satu hantaman tepat di perut akibat tindakan ayahnya.

“Ervin pulang.” Waktu yang tepat. Atensi mereka langsung menuju adiknya.

“Selamat datang. Waah, kamu bawa apa itu?” Itu suara ibunya, dari dulu Ervin selalu mendapat perlakuan manis darinya. Kalau boleh jujur, Gio iri terhadap adiknya.

“Tadi Ervin habis menang lomba karate, Mah.” Akhirnya Ervin memberikan piala penghargaan kepada ibunya, tapi belum sempat diterima piala itu di ambil paksa oleh ayahnya.

“Papah!” Piala itu baru saja membentur lantai keramik.

“Lomba tidak berguna, contoh kakak kamu, dia sering menang lomba olimpiade.”

“Puji terus, Anak Kesayangan Papah itu.” Tanpa mempedulikan semuanya, Ervin langsung pergi keluar rumah lagi.

“Ervin!” panggil Gio.

“Sebenarnya mau kalian apa, sih? Kantor terus yang dipikirin dengan alasan buat masa depan kita. Enggak guna Mah, Pah kalau dari dulu kalian masih kaya gini. Apa enggak cape ribut terus sampai enggak tau kalau Kevan sekarang lagi sakit dan butuh kasih sayang kalian. Apa bilang terima kasih dan minta maaf itu susah?” Setelah mengucapkan kalimat itu, Gio langsung berlalu pergi ke lantai atas.

Seperti malam-malam biasanya, rumah ini hanya memiliki dua suasana yang ditampilkan, yaitu sepi dan ramai akibat masalah kedua orang tuanya. Hari sudah larut malam dan Ervin belum pulang, Gio juga tidak yakin jika adiknya akan pulang malam ini. Saat ini dia malas untuk berkutat dengan lembaran-lembaran putih yang menjadi tanggungan kuliahnya, jadi dia lebih memilih untuk duduk santai di balkon kamarnya sambil menikmati sentuhan lembut angin malam ditemani dengan secangkir kopi dan pilinan tembakau yang sedari tadi tadi dia hirup asapnya

“Bang.” Ternyata adik yang satu itu sudah pulang.

“Jangan gini lagi, Bang.” Ervin memperingati setelah membuang paksa puntung rokok itu ke lantai. Ervin tahu kalau kakaknya paling benci dengan benda itu, tapi untuk saat ini bagi Gio dirinya membutuhkannya.

Setelah menyesap secangkir kopi kakaknya sampai habis, dia langsung menyerahkan kotak makanan kepada kakaknya. Sudah hal biasa baginya karena kakaknya selalu meninggalkan waktu makan malam.

“Kalau ada masalah jangan lari, Bang. Itu bukan Bang Gio yang gue kenal.” Ini alasan kenapa Gio menjadi panutan bagi Ervin karena kakaknya tidak pernah mengeluh tentang apapun, sebisa mungkin pasti kakaknya hadapi walaupun tidak sempurna, seperti masalah kedua orang tua mereka kemarin malam, Gio meyakinkan Ervin jika semuanya akan baik-baik saja. Untuk soal tadi juga Ervin tahu kalau kakanya sangat paham jika kopi dan rokok itu sangat tidak sehat demi kesehatan lambung kakanya.

“Mereka minta cerai.” Ervin merasa pasokan oksigen di dunia hilang semuanya. Ucapan kakaknya tadi adalah hal yang paling Ervin takuti.

“Kevan nanti sama kita kan, Bang?” Mengucapkan kalimat itu saja membuat Ervin bergetar.

“Pasti.” Tapi Gio tidak yakin dengan ucapannya sendiri. Bukan jalan ini yang Gio harapkan agar mereka lebih baik, tapi dirinya dan Ervin sudah terlalu lelah dengan semuanya, sekarang mereka berdua berharap semoga saat hari persidangan semuanya baik-baik saja.

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Septi Nk lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler