x

Iklan

Rian Harahap

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 11 November 2021

Senin, 6 Desember 2021 20:18 WIB

Perempuan yang Jatuh di Depan Makam Bapak

Lomba Cerpen Indonesiana 2021.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Makam ini masih basah. Hujan tidak berhenti sedari kemarin. Beberapa jam setelah langkah-langkah kaki itu pergi. Ipah masih duduk termangu dalam lamunan panjang. Tangis masih pecah. Kepalanya jatuh di atas pusara bertabur bunga. Hanya ia dan Ibunya yang sedari tadi membisu. Dialog hujan yang muncul. Suara geletar dari bibir mereka. Kedinginan bercampur gigil yang membuncah dari kepalanya. Dadanya sesak. Payung hitam yang meneduhi tubuh mereka berdua. Di makam itu menggenang air-air kesedihan. Kenangan bersama Bapak yang ia sayangi. Mereka berdua adalah perempuan yang paling kehilangan hari itu. Makam itu terus diguyur hujan. Semakin lebat, semakin kuat pula tangis beriring kilatan cahaya di langit. Senja itu mereka merasa menjadi manusia paling sedih seisi dunia. Pelayat telah pulang, mereka hilang dalam gelap malam, melangkah pulang berdua dengan tatapan kosong.

***

Ipah, perempuan bermata sayu. Kulitnya putih, suaranya tenang, alis matanya tebal. Siapa pun yang mengenal dia pasti dari kejauhan sudah mengenal tubuh mungil itu. Ipah mudah dikenali. Langkahnya khas dan senyumnya yang biasa ia lemparkan pada orang lain menjadi tanda bahwa ia adalah orang yang ramah. Ia tahu betul bahwa sebagai seorang gadis kampung, adat dan adab nomor satu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Malam itu ia pergi menuju satu tempat. Dalam hatinya ia pamitan dari rumah. Jalan setapak becek. Keluar dari kampung, menuju sebuah tempat di kota. Berjumpa lelaki yang telah lama ia cintai, selain Bapak. Disana ia akan berjumpa dengan Panji. Lelaki yang ia gadang-gadang untuk menjadi pemimpin dalam rumah tangganya kelak. Panji acap kali datang ke rumah. Belakangan dia memang sedang sibuk dengan urusan pekerjaan. Tubuhnya yang jangkung, menyambut Ipah si sebuah rumah. Di sebuah ruang tamu, sofa cokelat dengan beberapa foto pajangan pemilik rumah. Sepertinya rumah ini adalah rumah lama dan mereka menyewa setiap akhir pekan setelah keluar dari pendidikan kedinasan.

Kulitnya legam. Lalu ia menggenggam tangan Ipah.

“Lama sekali datangnya Dik. Aku sudah menunggu dua jam”

“Maaf mas, aku harus cari alasan dulu untuk kesini.”

“Ya sudah tak apa, duduk disini”

Ipah melihat beberapa teman-teman lelaki Panji. Ia tak takut sedikitpun karena Panji adalah pacarnya. Kelak juga mereka akan menikah. Menunggu hitungan waktu setelah selesai pendidikan kedinasan. Mereka kelak akan memiliki anak dan berumah tangga. Ipah menaruh seluruh harapannya pada Panji.

Panji menyodorkan minuman air putih biasa. Ipah menenggaknya. Setelah itu ia tumbang. Jatuh ke pelukan Panji, digendong dan dijatuhkan pada sebuah kasur. Semua teman-temannya berangsur pergi dari rumah itu. Lampu dipadamkan. Ipah dilucuti, seperti sebuah boneka. Ia tak sadar. Dalam keheningan semua terjadi begitu cepat. Ipah sadar dan ia seperti tidur sebentar. Mengantuk mungkin. Panji tersenyum dengan gagah. Ia meracik sebuah rencana busuk, dalam perjalanan pulang disertai kerlip lampu temaram kota. Ia mengurai janji-janji. Janji kelak akan berjalan pada sebuah tali kebahagiaan. Ipah memeluknya erat dari belakang. Tidak ada yang sadar apa yang terjadi pada malam itu. Cepat, direncanakan, seperti membangun istana dalam satu malam. Selesai dan perangkap itu jatuh dalam hati Ipah.

***

Tepat di depan sebuah gedung itu. Selebrasi sedang diadakan. Ipah tersenyum bangga dengan perut yang sedikit membuncit. Empat bulan setelah ia berkunjung dari rumah akhir pekan Panji. Mata Panji merah. Ia terkejut melihat perempuan yang berkebaya emas itu. Kepalanya menolak untuk melihat tubuh mungil Ipah yang memang sedikit membesar.

“Mas! Ini aku!”

 Panji seolah tak mau melirik. Langkahnya berubah menjadi ribuan. Sepotong tatapan dari Ipah membuat ia tertahan dan tertunduk lesu. Ia kembali, menuju Ipah. Ia dekati perempuan itu.

“Kamu sedang apa disini?”

“Aku merayakan kelulusanmu! Dan kau tahu aku hamil anakmu!”

Kepala Panji seperti dihantam palu godam. Ia baru saja lulus pendidikan namun harus menikah dan telah mengandung anak.

“Loh kok diam Mas. Ini anakmu! Aku tidak ada kemana-mana, selain ke kampus dan pulang.”

“Tidak mungkin itu anakku”, ucap Panji gemetar.

Siang bolong dengan angin sepoi-sepoi itu berubah seperti badai di musim salju. Panji menjadi orang paling ketakutan. Sementara Ipah, menatapnya tajam. Tak bergerak, memegang tangannya. Seolah memberi isyarat jangan lari.

“Malam itu, aku datang ke rumahmu. Apakah kau tak mengingatnya? Kau berikan aku minuman air putih. Namun, air itu kau kotori dengan nafsumu! Kau mau bilang apa mas? Lupa? Hilang ingatan?”

Panji terdiam. Ia tarik tangan Ipah. Masuk ke dalam sebuah mobil. Berlalu pergi meninggalkan gedung-gedung dengan segala selebrasinya.

***

“Bapak, biarkan aku disini seharian. Aku mau ngobrol ngalor ngidul bareng Bapak. Seperti dulu, saat Bapak ceritakan aku tentang kupu-kupu indah yang terbang bebas hinggap ke dahan-dahan, ke pucuk bunga. Aku juga ingin cerita kalau Ibu sekarang semakin sering merenung. Aku sudah bilang ke Ibu kalau aku hamil. Ia semakin sedih. Ia melihatku setiap hari ke kamar. Kami sama. Kami seperti seonggok daging yang tidak berdenyut. Bapak tahu? Kalau aku sekarang suka ke rumahmu ini.”

Ipah setiap senja duduk di pinggiran pusara itu. Suara-suara kosong memanggilnya untuk duduk disana. Mengadu pada gundukan tanah. Seolah tanah itu punya hati, suara dan wajah. Tanah yang mengeras dan telah melumat tubuh Bapaknya. Ipah tak peduli dengan semua itu. Dalam hatinya, Bapak selalu memberikan solusi atas masalah yang ia alami.

“Tahukah Bapak? Bahwa aku sekarang sedang mengandung cucumu. Ya, aku sedang mengandung janin. Kau berharap jenis kelaminnya apa? Aku tidak ingin laki-laki, semua laki-laki jahat! Kecuali dirimu Bapak. Tuhan, mungkin hanya menciptakan satu di antara jutaan laki-laki dengan hati sepertimu. Aku takut dengan laki-laki. Malam itu aku dijebak oleh laki-laki yang kucintai Pak. Bagaimana mungkin, orang yang kita cintai dan berjanji menjaga, malah menghancurkanku. Aku juga tak ingin ia menjadi perempuan yang lemah. Perempuan yang diperdaya dengan janji-janji manis. Aku lah orang itu Pak.”

Ipah berkali-kali ambruk ke pusara itu. Gerimis jatuh. Ia masih teguh berdiam disana. Berbisik ke tanah. Mengadu pada bumi.

“Bapak tahu, anak yang kukandung ini tidak punya dosa. Tapi, mengapa semua orang menyuruhku menggugurkannya. Ia tak berdosa Pak! Mereka yang berdosa. Aku menjumpai Panji, dan ia menyuruhku menggurkannya dengan meminum pil aborsi. Aku menjumpai Ibunya, dengan polosnya ia menjawab hal yang sama. Apakah tidak ada lagi disisakan manusia yang punya hati di dunia ini Pak?”

Sebuah botol mineral tergeletak disampingnya. Ia sandarkan pada nisan Bapaknya. Ia ambil lalu ia siramkan pada nisan itu, disisakannya sedikit.

“Ibu sudah menyuruhku pulang dari tadi. Aku sengaja matikan handphone. Aku tidak ingin Ibu seperti aku. Perempuan yang tak berguna, dibuang seperti sampah. Aku dicampakkan oleh Panji. Ia memandangku begitu kotor. Padahal kotoran ini datang dari tangannya. Aku tak tahu harus bercerita pada siapa lagi Pak. Aku tak sanggup menanggung semua ini sendiri. Mereka yang masih hidup tidak mengerti apa yang aku bilang, tidak paham!”

“Apa? Kau suruh aku tetap bertahan? Menjalani hidup ini dan membesarkan bayiku tanpa Ayahnya. Aku belum bisa Pak.”

Gerimis makin kuat. Petir pun berkelebat, orang-orang sibuk mencari Ipah di sekitar pemakaman. Tubuhnya telah jatuh, tepat di atas pusara Bapak. Ia menyatu dengan Bapak berdiskusi di dalam tanah. Bertiga bersama cucunya.

Botol mineral itu terbuka dan kosong.

 

Ikuti tulisan menarik Rian Harahap lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler