x

Gambar oleh chenspec dari Pixabay

Iklan

Aqila Nurussakinah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 5 Desember 2021

Senin, 6 Desember 2021 20:19 WIB

Gagal


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

GAGAL

Aqila Nurussakinah Siregar

Langkahnya pagi ini sangat pasti.  Dia adalah Nara. Nara selalu bahagia dan ceria setiap hari, seperti arti namanya. Kalau mayoritas senior di kampus selalu memasang tampang sangar saat berpapasan dengan junior, maka Nara bukan bagian dari senior yang itu. Wajah Nara selalu bersahaja, bahkan Nara tak sungkan untuk menyapa juniornya lebih dahulu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Hari ini sangat penting bagi Nara, karena dia akan menjalankan misi besarnya hari ini. Namun sebelum itu, dia harus menyelesaikan berbagai tugas beratnya hari ini. Tapi jangan lupa dia adalah Nara, tugas seberat apapun akan dihadapinya dengan tersenyum dan pasti akan beres di tangannya.

Tugas pertama Nara hari ini adalah presentasi di kelas. Ini sih tugas klasik bagi Nara, tugas ini dilahapnya dengan baik, seluruh pertanyaan di kelas dapat dijawabnya dengan hampir sempurna. Presentasinya ditutup dengan apik dan langkahnya dari depan kelas menuju tempat duduk diiringi tepuk tangan yang tulus dari teman-temannya.

Menit demi menit berlalu hingga waktu kuliah untuk kelas pagi Nara hari ini selesai. Nara bersorak dalam hati dan diam-diam bicara dengan dirinya sendiri sambil berbangga hati karena menyelesaikan tugas pertamanya hari ini dengan baik. Tugas kedua Nara hari ini adalah memberi kabar pada Rakha, sahabatnya selama di kampus. Nara sudah kenal Rakha dari awal masuk kampus, berarti sudah tiga tahun sampai hari ini. Nara buru-buru merogoh tasnya dan mengeluarkan ponselnya, takut lupa memberi kabar pada Rakha.

Nara: Nyet, nanti di tempat biasa, jam kaya biasa ya

Rakha: ok nyet, jangan telat lu!

Tugas kedua Nara selesai, sekarang waktunya Nara bersiap-siap untuk tugas ketiganya. Tugas yang ini levelnya lebih di atas tugas-tugas Nara sebelumnya. Ada beberapa masalah yang mengganggu Nara untuk tugasnya yang ini. Tugas Nara yang ketiga adalah membeli bunga. Masalah pertama, walaupun Nara adalah gadis yang nyaris sempurna, namun gadis ini sangat buruk dalam hal mengendarai kendaraan. Masalah kedua, Nara tidak biasa dengan keramaian pasar. Tetapi Nara tetaplah Nara, tugas ini pasti akan tetap dilaksanakannya.

Dengan mengucap doa, di jam 11.10 ini Nara melangkah pasti dari gerbang kampus menuju halte bus untuk menumpang bus kota dari kampus hingga ke pasar kota. Ketika di dalam bus, ternyata tidak ada kursi bus yang kosong. Nara terpaksa berdiri, namun ini bukan masalah. Nara menikmati perjalanannya menuju pasar dengan bus kota itu. Sungguh perjalanan yang indah, tetapi keindahan itu hanya di menit-menit awal. Sedikit lagi ujung bus mencapai pasar, naiklah seorang kakek dengan dua buah durian besar-besar di tangannya. Wah, celaka untuk Nara, dia mual bukan main.

‘Aduh, dikit lagi sampe nih, tanggung banget kalau turun di sini’, gumam Nara.

Akhirnya Nara menahan mual sekuat tenaga. Sesampainya di pasar, Nara langsung menyerahkan ongkos pada kernet bus dengan buru-buru, kemudian berlari ke parit dekat pasar dan memuntahkan hampir seluruh isi sarapannya tadi pagi. Nara terkulai lemas di tepi jalan yang ramai oleh pengunjung pasar itu. Pelan-pelan dikumpulkannya tenaga lalu kemudian berjalan ke sebuah warung untuk membeli minum dan duduk di sana untuk beberapa saat. Nara bangkit lagi, berusaha untuk menjalankan tugasnya yang ketiga.

Dengan hati-hati Nara menyusuri setiap gang di pasar untuk menemukan bunga yang sesuai dengan pilihan hatinya. Bunga yang dicarinya adalah bunga yang bisa menggambarkan keinginan seseorang untuk meluapkan seluruh yang ada di dalam hati. Mencari dan terus mencari, maka jatuhlah hati Nara pada bunga tulip, bunga yang melambangkan cinta yang sempurna, teduh dan sabar.

Nara berdiri di halte di depan gerbang pasar dengan suasana hati yang lebih baik, satu karena dia sudah menyelesaikan tugas ketiganya, dua karena bunga yang ada di tangannya sekarang membawa rasa damai dalam dirinya. Bus yang ditunggu Nara tak lama kemudian datang, kali ini cukup lengang hingga  Nara bisa duduk di salah satu kursi bus sambil menatap jalanan melalui jendela bus. Diliriknya jam tangannya, ‘oh masih jam empat sore’, pikirnya. Tugas Nara berikutnya adalah tugas terakhirnya hari ini. Dia membuang nafas panjang, terbayang akan sulitnya tugas yang terakhir ini baginya. Tugas terakhir Nara ini sudah ditundanya selama hampir setahun. Butuh energi dan nyali besar untuk menyelesaikan tugas ini. Perjalanan Nara yang harusnya damai jadi gelisah akibat teringat akan tugasnya malam nanti.

***

Nara mengucek-ngucek matanya dan melirik ke arah jam tangan. ‘Astaga!!!’, Nara berseru panik karena ternyata jam tangannya menunjukkan pukul  enam sore. Buru-buru ia minta berhenti pada supir bus dan turun dari bus. Nasib baik bagi Nara bus hanya terlewat sedikit dari rumahnya-yang mungkin entah sudah beberapa kali dilewatinya selama ia ketiduran di bus. Buru-buru Nara berlari ke rumah, ia sedang berpacu dengan waktu. Tugas terakhirnya harus dikerjakannya tepat jam delapan malam.

Sebenarnya Nara bisa saja selesai bersiap-siap sampai pukul tujuh malam dan langsung berangkat menuju tempat tugas terakhirnya malam ini. Namun karena ini adalah tugas yang besar, Nara menjadi gugup. Gugup memilih dress, gugup ingin make up gaya apa, bahkan ketika sudah siap pun, ia gugup untuk melangkahkan kaki keluar rumah.

Setelah Nara merasa baikan, akhirnya ia memantapkan langkahnya untuk pergi menuju tempat tugas ketiganya. Lima belas menit, Nara akhirnya sampai di sebuah cafe dengan tulisan “Tentang Kamu” di pintu masuknya. Nara sudah menyiapkan semuanya untuk malam ini dari jauh-jauh hari, kecuali satu, bunga yang ada di tangannya sekarang.

Nara berjalan dengan anggun menuju sebuah meja di ujung sana, diiringi sebuah lagu yang menggambarkan suasana hatinya saat ini, tentu saja sudah bekerja sama dengan pegawai cafe. Nara melangkah dengan pasti, menuju meja di ujung ruangan dengan seseorang yang sudah duduk di sana. Nara duduk tepat di hadapan lelaki itu. Nara menarik nafas panjang, kemudian mengeluarkannya perlahan dan mulai menyusun kata-kata.

“Rakha, malam ini mungkin bakalan aneh buat lo. Mulai dari cafe ini yang tiba-tiba kosong, gue yang tiba-tiba pake dress pas ketemu sama lo, dan bunga yang ada di tangan gue sekarang. Gue gatau harus mulai dari mana, Kha. Mungkin lo ga pernah sadar, tapi gue gabisa terus-terusan bohongin diri gue sendiri...”

“Eh bentar deh bentar, ini ada apa Ra? Kenapa tiba-tiba jadi awkward gini?”

Perlahan jemari Nara menggenggam telapak tangan Rakha. Mata mereka beradu, tak ada yang ingin berpaling satu sama lain. Nara menatap mata Rakha karena ingin memantapkan niatnya untuk mengungkapkan segalanya, Rakha menatap Nara karena bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi.

“Gue lanjutin ya Kha, belakangan ini gue tersiksa tiap malam gue mau tidur. Gue cape mikirin ini terus Kha, mau gue rahasiain sampai kapanpun pasti akhirnya lo bakalan tau juga. Jadi malam ini gue mutusin untuk ungkapin semuanya. Kha, hati gue gabisa bohong. Setahun belakangan ini gue sebenarnya udah ngingkarin janji kita waktu itu. Janji untuk jadi sahabat selamanya. Gue gabisa, Kha. Gue sayang sama lo, lebih dari temen”.

Sekarang dua sahabat itu saling diam, diikuti lagu yang juga sudah menyelesaikan lirik terakhirnya, ‘semuanya kini, terserah padamu’-yang sangat memojokkan Rakha. Tak lama, akhirnya Rakha angkat bicara.

“Ra, bunga yang di tangan lo itu bunga tulip kan? Gue pernah baca di blog lo, kalo bunga tulip itu punya arti cinta yang tulus dan suci. Makasih Ra, lo udah sayang sama gue. Gue ga marah lo ingkar sama janji kita dulu. Tapi maaf Ra, gue gabisa jadi pot untuk bunga tulip lo. Gue gaada rasa lebih dari temen ke lo, tapi gue sayang sama lo, Ra. Lo udah gue anggap adik gue sendiri. Sekali lagi maaf, Ra”.

Tangan Rakha perlahan meraih bunga tulip itu kemudian berucap

“Tulip ini gue ambil ya, Ra. Gue bakalan bikinin pot untuk bunga ini biar bisa dipajang di meja tidur gue. Biar tiap hari gue inget, gue punya sahabat yang hebat banget, berani ngungkapin apa yang dia rasain. Gila lo, Ra. Gue jadi ngefans sama lo, haha”.

Rakha tahu, Nara di hadapannya sudah menahan isak tangis sejak tadi. Rakha juga tahu, Nara tidak pernah mau menangis di hadapan seseorang. Sebenarnya Rakha tidak tega, namun akan lebih berdosa lagi Rakha kalau dia memaksakan perasaan yang sebenarnya tidak pernah ada. Akhirnya Rakha berdiri, mengusap ubun-ubun Nara dan melangkah pergi keluar cafe, meninggalkan Nara seorang bersama api lilin yang mempertahankan baranya walaupun ditiup angin. Nara sudah menduga semua kegagalan ini. Namun kegagalan yang dihadapinya kini tak sama dengan kegagalan yang dihadapinya di kampus. Kegagalannya kali ini bukan karena ia yang kurang usaha, namun memang takdirnya saja yang berkata lain. Namun manusia mana bisa mendengar suara takdir sebelum merasakannya sendiri. Akhirnya Nara hanya memandangi hidangan di meja yang bahkan belum sempat disentuh, sambil pelan-pelan air matanya jatuh membasahi pipi. Dalam hati Nara bergumam ‘Selamat tinggal, Rakha’.

 

Ikuti tulisan menarik Aqila Nurussakinah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler