x

Ilustrasi Anas. Annie Spratt dari Pixabay

Iklan

Navy Nalalugina

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 24 November 2021

Senin, 6 Desember 2021 20:21 WIB

Ardo

Cerita pendek tentang dua pria yang pernah bersahabat dan bertemu kemnbali setelah lima belas tahun berpisah. Mereka saling bertukar cerita tentang kenangan masa sekolah yang menyenangkan. Namun, di akhir cerita terkuaklah rahasia kelam salah satu pria.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kepalan tangan itu menghantam meja, mengguncangkan benda-benda yang ada di atasnya. Napas sang pemilik tangan tersengal, sementara tubuhnya bergetar hebat.

Belum pernah Sita melihat Dani semurka itu. “Minum dulu, tenangkan dirimu.” Sita menyorongkan segelas air putih ke depan Dani.

Dani meneguk cepat. Lalu gelas itu diletakkan kembali agak keras di atas meja. Airnya menyejukkan kerongkongan, tetapi tidak mempan mendinginkan hati yang panas.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Teman macam apa itu!” Umpatan Dani terlontar. Bahkan lebih kasar dari sebelumnya.

Sita menggeser posisi kursi lebih dekat dengan Dani. “Coba ceritakan bagaimana kejadiannya.”

Dani menatap lurus ke depan, mengingat kembali.

 

Tiga jam sebelumnya…

Pikiran Dani sedang kusut, sekusut pemandangan jalanan sore yang terlihat dari jendela bus. Udara keruh, barisan kendaraan tidak bergerak, dan rentetan bunyi klakson menyalak tidak sabar, membuatnya penat. Entah kapan kemacetan ini berakhir.

Dani memperbaiki posisi duduk agar lebih nyaman sambil memeluk ransel kerjanya yang berwarna hitam. Kepalanya lalu disandarkan ke kaca jendela. Ia bersiap memejamkan mata.

“Dani?”

Dani mengangkat kepala dan menoleh.

“Kamu Dani, kan?”

Mata Dani mengamati sosok agak kurus dan berwajah persegi yang menegurnya. Rambut gondrong dan bergelombangnya tampak awut-awutan. Kaus polonya yang berwarna hijau basah dengan keringat. Celana panjangnya yang berwarna krem terlihat lusuh. Pada pinggangnya melingkar sebuah tas kecil bercorak loreng.

“Kamu masih ingat aku?” Dia bertanya lagi.

“Tidak. Anda siapa? Mau apa?” Dani berusaha tenang, tetapi waspada.

Pria itu tertawa. “Masa kamu lupa, Dan? Aku Ardo, teman sebangkumu waktu SMP!”

Butuh waktu beberapa detik sebelum Dani memekik. “Kamu … Ardo Kusuma?”

“Ya! Sekarang kamu ingat, kan?”

“Tentu saja!” Dani mendadak lupa dengan masalahnya. Ia duduk tegak, tangannya menunjuk kursi di sebelahnya. “Ayo, duduk sini!”

Ardo menyambut tawaran Dani. Setelah itu, keduanya berjabat tangan, erat dan hangat.

“Astaga, Ardo! Apa kabarmu?”

“Baik, Dan.”

“Gila! Aku nggak mengenalimu sama sekali. Kamu beda banget dengan yang dulu!”

“Jelas. Terakhir kita ketemu, kan, 15 tahun yang lalu, waktu lulus SMP. Aku masih culun.” Ardo kemudian tergelak.

Jeda. Mereka bertatapan agak lama.

“Kamu tambah gagah, Dan,” kata Ardo sesudahnya.

 “Ah, biasa saja.”

“Yah, sejak SMP, memang sudah terkenal ganteng, sih.” Ardo meneruskan pujiannya.
“Sampai-sampai jadi idola seluruh cewek di sekolah. Apalagi kalau sudah beraksi di lapangan basket atau menggebuk drum di atas panggung pentas seni.”

“Dan siapa, sih, yang tidak mengenal Ardo Kusuma, yang otaknya seencer Pak Habibie, tidak pernah terlambat mengumpulkan tugas, hafal banyak surah Alquran, dan pakarnya kegiatan pramuka?” Dani balik memuji.

“Kamu bisa saja.” Wajah Ardo bersemu merah. “Sepertinya asyik, nih, kalau kita ngobrol.”

“Pastilah. Sekalian kita nostalgia mengingat masa-masa sekolah, Bro!” Dani menyahut penuh semangat. “Masing-masing dari kita punya cerita seru. Kamu, si murid teladan yang menjadi kesayangan semua guru ….”

“Dan kamu si makhluk pemalas dan badung yang sering berurusan dengan ruang BP,” sela Ardo cepat.

Kedua pria itu tertawa lepas.

Ardo buru-buru melanjutkan, “Meskipun badung, kamu itu setia kawan. Aku masih ingat kamu melindungi aku dari bully-an si Toddy. Sampai sekarang, kalau mengingat kejadian itu, aku sering merasa berutang budi sama kamu.”

“Ah, nggak perlu sampai kayak begitu!“ Dani memotong. “Kamu juga sering menolongku dalam soal pelajaran. Kamu bahkan pernah datang ke rumah untuk membantuku menyelesaikan tugas meskipun sudah malam dan hujan turun sangat deras. Ibuku sampai menyuruhmu untuk menginap saja.”

“Ibumu nggak tahu, ya, kalau dulu kita sempat bertengkar?”

Dani menggeleng. “Itu gara-gara aku ngambek karena nggak dikasih contekan pas ulangan Bahasa Inggris, kan?”

“Ya. Karena kamu marah, aku sampai pindah tempat duduk. Nanti kita baru berbaikan saat pergi hiking di Gunung Sampan.”

“Karena waktu itu regu kita tersesat jauh di dalam hutan dan kita berdua takut mati kalau tidak cepat ditemukan.”

“Aku dan kamu berpelukan sambil menangis, disaksikan anggota regu lainnya yang melongo heran.”

“Sekonyol itukah dulu kita?” Dani terbahak-bahak.  Ardo pun ketularan.

“Kita selalu makan pisang gorengnya Pak Salim di kantin,” lanjut Dani.

“Betul, dan kamu suka membohongi beliau. Makannya tiga potong, tapi mengaku hanya makan satu. Akhirnya, aku yang harus membayar sisanya.”

Tawa Dani meledak lagi.  “Maafkan aku.”

“Dasar bandel!”

“Eh, aku punya kenangan lucu tentang kamu, Do.”

“Apa itu?”

Cengiran iseng muncul di wajah Dani. “Siapa, ya, yang dulu pernah mengirim surat buat cewek pendiam yang duduk depan meja guru? Suratnya ditulis di kertas bergambar Hello Kitty, disimpan dalam amplop warna pink dan diselipkan di tas si cewek waktu jam istirahat. Isi suratnya cuma bertanya ‘Halo, boleh, kenalan, nggak?’.”

Tepukan agak keras Ardo mendarat di paha kiri Dani. “Jangan diingat-ingat lagi, dong! Malu, tau!”

“Sudah begitu, kamu malah cemburu sama aku. Dikiranya aku naksir dia juga. Padahal aku yang menyelipkan suratmu. Hahaha!”

“Ya, ya! Aku minta maaf!”

“Seru, nih, obrolan kita. Oh, ya, sebelum aku lupa, minta nomor HP-mu, dong!” Dani segera mengeluarkan ponsel dari saku kemeja. “Punya aplikasi ChatBox, kan? Nanti aku add kamu di grup SMP. Banyak teman kita di situ. Aku yakin mereka bakal kaget dan senang kalau kamu bergabung. Soalnya banyak yang mencarimu.”

“Aku sudah nggak punya HP lagi, Dan. Aku baru saja menjualnya.”

 Dahi Dani berkerut seketika melihat redup di mata Ardo. “Kamu menjual HP? Kenapa?”

“Untuk membiayai hidup, Dan. Sudah sembilan bulan ini aku menganggur. Perusahaan farmasi tempatku bekerja ditutup karena bangkrut.”

“Astaga!”

“Gara-gara diberhentikan, aku jadi tidak punya penghasilan. Mau tidak mau, aku harus mencari pekerjaan. Sampai sekarang belum ada hasilnya karena semua surat lamaranku ke beberapa perusahaan ditolak.  Aku bahkan sempat menjadi pengemudi ojol selama empat bulan. Namun, aku terpaksa berhenti dan menjual sepeda motorku.”

“Kenapa dijual?”

“Untuk biaya pengobatan istriku yang terkena kanker rahim. Uang pesangon saja tidak cukup. Selain motor, aku juga menjual beberapa barang berharga di rumah. Terakhir, ya, HP-ku. Mungkin jika keadaan tidak lebih baik, aku berpikir untuk melepas rumahku.”

Dani merengkuh bahu Ardo. “Seandainya aku tahu…”

“Tidak apa-apa,” Ardo tersenyum. “Kita, kan, baru saja bertemu. Doakan saja agar aku bisa mendapat pekerjaan lagi.”

 “Aamiin. Nanti kalau sampai di rumah, aku akan segera mem-posting keadaanmu di grup.”

Ardo terperangah. “Buat apa?”

“Supaya mereka bisa ikut membantumu.”

“Aku tidak mau dikasihani.”

“Siapa bilang itu mengasihani?”

“Jangan, Dan. Aku nggak mau merepotkan mereka.”

“Aku yakin mereka tidak akan membiarkanmu susah.” Dani bersikukuh, membuat Ardo terkunci.

Dani melepaskan rangkulannya, diikuti mengembalikan ponsel ke saku. Setelah itu, tangannya membuka kantong depan ransel dan mengeluarkan sebuah amplop cokelat besar. Dari amplop itu, Ardo kemudian melihat Dani menarik seikat uang kertas bergambar dua tokoh proklamator.

“Ini untukmu,” sodor Dani.

“Apa ini?” Ardo terkejut.

“Terimalah,”

“Hei. aku tidak bermaksud meminta-minta.”

“Do, aku nggak bermaksud menyinggung. Aku cuma mau membantu meringankan bebanmu.”

“Tapi…”

“Ambil, Do!”

Ardo ragu-ragu dan malah menatap Dani. Melihat reaksi lamban Ardo, Dani refleks menarik telapak tangan kanan Ardo dan meletakkan lembaran-lembaran uang kertas berwarma merah itu di situ.

“T-t-terima kasih,” ujar Ardo dengan nada bergetar. “Maaf, aku sudah menyusahkan.”

“Tidak, kok. Sudah, cepat simpan uangnya!” perintah Dani.

Ardo mengangguk dan buru-buru memasukkan uang pemberian Dani ke tas pinggangnya.

“Nah, kita lanjutkan lagi nostalgianya. Sampai di mana tadi?” tanya Dani.

“Surat cinta yang memalukan itu. Eh, tunggu! Aku punya sesuatu.”

Ardo membuka tas pinggangnya dan mengeluarkan beberapa butir permen. “Maaf, aku hanya punya ini. Kamu mau?”

“Boleh.” Dani langsung mengambil satu permen bertuliskan ‘Coffee’. “Ini saja, lumayan untuk menghilangkan kantuk. Thanks.”

“Sama-sama.”

Dani menyandarkan punggungnya dan menerawang. “Apa lagi, ya, cerita-cerita seru lainnya? Kok, aku mendadak amnesia?”          

“Saking banyaknya malah lupa, ya?” Ardo terkekeh.

“Betul!”

“Oh, ya! Siapa saja teman kita yang ada di grup ChatBox?”

“Banyak! Kamu ingat Frans Raditya, yang dulu pernah menjadi ketua OSIS? Sekarang dia sudah jadi diplomat di Jerman. Lalu ada Amanda, yang jago balet dan karate. Dia bekerja di rumah sakit kepolisian sebagai dokter bedah forensik. Siapa lagi, ya? Oh, tentu saja Toddy, musuh bebuyutanmu. Kamu tahu sekarang dia jadi apa?”

“Apa?”

“Guru Matematika di sekolah internasional!”

Ardo terlonjak. “What? Kamu serius?”

“Ya!”

Kepala Ardo menggeleng-geleng. “Hebat si Toddy!”

Dani menguap, tetapi melanjutkan, “Masih banyak lagi teman kita yang lain di situ. Isi grup itu hampir 200 orang. Setiap hari, kolom chat selalu ramai dengan cerita kenangan seru zaman SMP.”

“Bagus kalau kalian mengadakan reuni.”

“Ide yang bagus. Nanti kamu juga hadir, ya.”

“Wah, aku malu. Dan. Di antara kalian semua, aku bukan siapa-siapa. Tidak ada yang bisa kubanggakan.”

Dani mendelik. “Kenapa, sih, harus seminder itu?”

“Memang begitu, kan, faktanya?”

Dani ingin membantah. Namun, tiba-tiba dia menguap lagi.

 “Ngantuk, Dan?” Ardo menepuk paha Dani lagi. “Kelihatannya kamu letih.”

“Sangat. Sepanjang hari aku sibuk menemani pimpinanku dari satu rapat ke rapat lainnya. Belum lagi merevisi tumpukan dokumen di mejanya. Telingaku juga pegal mendengarkan dia mengomel. Menurutnya, aku tidak becus bekerja. Si nyonya bawel itu memang menyebalkan. Aku sering berpikir untuk resign, supaya tidak berurusan lagi dengan dia.” Ardo kembali menguap. Kali ini matanya pun bertambah berat.

“Tidak boleh bicara begitu, Dan. Seharusnya kamu bersyukur masih punya pekerjaan. Di luar sana bisa jadi ada orang yang menginginkan kehidupan seperti kamu.  Salah satunya aku.”

“Dengan kecerdasan dan attitude-mu yang baik, aku yakin banyak perusahaan yang bakal menerima kamu, Do.”

“Semoga saja demikian. Dan. Kamu tahu, betapa sulitnya mencari pekerjaan. Lagipula aku tidak punya koneksi siapa pun dan …”

Ardo tidak melanjutkan kalimatnya. Dani sudah tertidur.

 

Tiga jam sesudahnya …

Sita terbelalak. “Jadi ternyata Ardo membiusmu dengan permen?”

Dani mengangguk. “Setelah aku tidak sadar, dia segera mengambil ranselku dan turun.”

“Kamu yakin kalau Ardo yang melakukannya?”

“Aku diberitahu kondektur yang membangunkanku di halte terakhir. Aku sempat panik saat sadar hanya tinggal aku sendiri di dalam bus dan halte tempat seharusnya aku turun sudah jauh terlewati. Lebih panik lagi ketika tahu ranselku sudah tidak ada. Aku bertanya pada petugas itu apakah dia melihat Ardo. Petugas itu bilang, Ardo sudah turun tiga puluh sampai empat puluh menit sebelumnya. Dia melihat Ardo menenteng ransel saat keluar dari bus.”

“Tega sekali temanmu itu!”

“Yang membuat aku bertambah marah, kondektur itu mengatakan dia kecolongan.”

“Maksudnya?"

“Ardo ternyata sudah beberapa kali melakukan kejahatannya di dalam armada bus itu. Modusnya sama, mengajak ngobrol orang yang duduk di sebelahnya lalu menawarkan permen. Ketika korbannya tertidur, Ardo langsung mengambil barang milik korban dan turun. Para petugas bus sebenarnya sudah berusaha melakukan antisipasi di setiap halte untuk menangkap Ardo. Namun, lagi-lagi mereka gagal. Dia pintar sekali menyamar.”

Sita mendesah. “Ya, ampun!”

“Laptop, HP, bahkan uang bonusku diambil semua. Padahal tadi aku sudah memberinya uang. Keterlaluan! Selama ini aku mengenalnya sebagai anak yang sangat baik, murid paling teladan. Ternyata …” Dani tidak dapat menyelesaikan kalimatnya.

Sita segera merengkuh bahu Dani. “Sabar, Sayang. Waktu dan keadaan memang bisa mengubah seseorang. Tapi, aku yakin, suatu saat Ardo akan mendapat ganjarannya. Nah, sekarang, apa yang ingin kamu lakukan? Melapor ke polisi atau mendatangi rumahnya? Kamu tahu di mana alamatnya?”

 

Pada saat yang bersamaan …

Ardo masuk ke kamar dan menutup pintu sepelan yang dia bisa. Namun, bunyinya tetap membangunkan Lia yang terbaring berselimut di atas tempat tidur.

“Mas sudah pulang. Dari tadi?” Lia bertanya lirih.

Ardo duduk di samping Lia. “Baru saja. Bagaimana keadaanmu?” Tangannya membelai kepala sang istri.

 Lia meringis. “Perutku tambah nyeri, Mas. Oh, ya, Mas jadi jual HP?”

“Sudah,” jawab Ardo lembut.

Lia meraih tangan kanan Ardo dan menggenggamnya. “Maafkan aku, Mas. Gara-gara aku, Mas banyak berkorban. Padahal Mas tahu kondisiku semakin parah dan mungkin tidak akan tertolong.”

Ardo langsung menempelkan jari telunjuk kanannya ke bibir Lia. “Jangan bicara begitu. Kamu pasti akan sembuh. Oh, ya, aku punya kabar gembira buatmu.”

“Apa itu?”

“Hari ini ada rezeki tambahan buat kita.”

"Rezeki apa? Dari mana?”

“Kamu nggak perlu tahu. Pokoknya ada dan semoga cukup untuk keperluanmu.”

Lia terdiam sejenak dan menatap Ardo. “Mas tidak melakukan sesuatu yang tercela, kan?”

Ardo terkesiap. “Kenapa kamu bertanya begitu? Tentu saja tidak. Sudah, sekarang kamu istirahat lagi. Lekas sembuh, ya!” Ardo buru-buru mencium kening Lia. Dia tidak ingin percakapan itu berlanjut.

Lia mengangguk. Sepasang mata sayunya kemudian terpejam.

Ardo meraih ransel hitam di bawah kakinya. Benda itu dipindahkan ke atas nakas di samping ranjang. Mata Ardo melihat jelas jahitan nama “Muhammad Dani Pratama” pada bagian kantong atas.

Kejadian di bus terbayang kembali. Hari ini, lima kali sudah Ardo melakukan aksinya, Setiap ingin mengerjakannya, hati kecil Ardo selalu menjerit teringat dosa. Namun, keadaan terjepit tak memberinya pilihan. Apalagi saat tadi matanya mendapati ikatan-ikatan uang di dalam amplop Dani. Pikiran iblis itu muncul seketika.

Hati Ardo seperti dicabik-cabik.

 

 

Ikuti tulisan menarik Navy Nalalugina lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler