x

Ilustrasi Pigura. Pixabayy

Iklan

UB

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 27 November 2021

Kamis, 9 Desember 2021 14:58 WIB

Gadis di Dalam Pigura (Bagian I)

Cerita singkat ini tentang seorang mahasiswa semester akhir yang di sore itu hendak mengikuti keinginannya untuk mencari makanan yang dia inginkan. dia pun menyusuri jalan jakal atas demi memenuhi keinginannya. dia tiba di sebuah warung makan kuno dengan atribut ala warung makan china yang meniupkan bebauan sedap. warung itu di pinggir jalan jakal atas km 16 yang terbuat dari kayu dengan warna alami kayu yang mulai reot.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Gadis di Dalam Pigura 

Sore itu semua kewajibanku telah gugur. Bab akhir skripsi selesai, kamar bersih, dan tak ada pakean kotor di belakang pintu yang numpuk. Tapi waktu aku hendak duduk di kursi depan laptop, terdengar suara eraman lapar yang asalnya dari perutku. Ada bagian yang hampir aku lewatkan hari ini. Terlalu sibuk menyibukkan diri sampai lupa makan. Kurasa lelahku hari ini cukup. cukup pantas dibalas dengan makanan sedap. Aku mengelus perutku tempat lapar itu tinggal. Dan berbisik padanya.

“tenang, malam ini kita makan sedap di tempat yang lebih gagah dari burjo dan angkringan kang Mul.” kejap berhenti eraman pilu itu.

Aku tergerak. Berdiri dari tempat duduk yang busanya mulai hangat. Pikirku aku harus segera mandi kemudian berangkat mencari santapan yang mantap. Seperti biasa. Perasaan tak rela meninggalkan kamar selalu selalu menjadi gangguan apalagi keluar sekedar mencari makan karena didorong rasa lapar adalah aktifitas yang membosankan bagiku. Pernah sekali di awal tahun kuliah, tubuhku gemetar setengah hari dengan asam lambung yang mencekik leher kemudian aku hanya menempelkan perutku di lantai dan rasa itupun hilang. Tapi, kupikir malam ini aku harus berbuat lebih “selfreward” atau sedikit selebrasi.

“me time dulu, selflove,” kataku yang akan mengencani diri sendiri seraya ke sana-kemari di depan cermin dengan sepotong susur yang menyisir rambut setengah basah, memastikan diri terlihat palente, dan ‘oke’.

Diujung gang kosan aku berhenti dan berpikir. Sekelebat. berbagai aroma makanan melintas dalam kepalaku. Aku belum tahu makanan apa yang aku mau. Didepanku hanya ada satu jalan, dua arah, dan satu pilihan belok kiri atau kanan. Arah kanan terlihat lebih sepi dari arah kiri yang menuju kota Jogja. Aku coba bertanya pada usus-ususku yang kelaparan dengan mengusapkan tangan dari samping. Suara gemuruh keluar dari perutku tiap kali aku menengok kearah kanan Jakal atas. Sinyal yang baik pikirku. Malam ini aku ingin menaaati semua perintah perut, kebetulan ini juga baru masuk bulan baru. Ku putuskan untuk menelusuri warung-warung makan yang berbaris di emperan Jakal jalur gunung Merapi.

Belum terlalu jauh. Pada kilometer awal aku hanya menjumpai kedai-kedai kopi, angkringan, burjo, dan beberapa warung cepat saji ala lokal dan luar. Langit merona jingga memayungiku dari arah barat.

Udara mulai terasa lebih berat dan dingin setelah aku melewati km 16. langit mulai gelap dan lampu jalan menyala sepanjang jalurku. Aku mulai tak tenang. Perutku meronta. Sudah jauh berjalan tapi tak satupun tempat makan yang mampu memikatku untuk singgah. Aku mulai memelankan laju motor bututku. Kepalaku tak berhenti melihat teliti ke kiri kanan. Pandanganku dipimpong dari rumah dan sawah. Tiba-tiba dari jauh aku melihat sebuah bangunan kayu berjendela lebar didalamnya dihiasi lampion lampion berwarna merah. Aku menarik gas motor lebih dalam. perutku memberi sinyal baik pada bangunan itu. Semakin dekat makin jelas kalau itu adalah warung makan china. Halaman depannya luas. Kurasa 8 mobil bisa parkir disini. Kiri kanan bangunan ini sawah yang padinya mulai ranum. di depan warung, aku tak melihat manusia lain kecuali seorang wanita berkulit cerah duduk di samping kanan pintu. Wajahnya terhalang Hp dengan daster warna biru. Aku berjalan ke warung itu. Ada 4 buah anak tangga di depan pintu. Pada pijakan anak tangga ke dua sandalku berdecit. Wanita itu meletakkan hp nya di atas meja dan berpaling padaku. Dia tersenyum lembut sebelum menyapaku.

“eh, ada tamu. Masuk mas. Silakan, mau duduk dimana?” tanya wanita itu ramah.

Aku tersenyum dan menunjuk dengan jempolku ke arah meja yang persis di samping jendela. Mataku jelalatan mencecap seisi ruangan. Wanita itu menuntunku ke meja yang kupilih. Kurasa Sembilan puluh persen bangunan ini terbuat dari kayu. Di tiap sudut ruangan ada lemari kecil, tinggi, yang diisi piring hias, gelas, dan teko jaman dulu yang berbaris rapih kecuali pada satu sudut ruang ada pintu yang tertutup tirai warna merah. Pada dinding muram belakang meja kasir tempat wanita itu duduk sebelumnya, ada banyak foto-foto dalam pigura berukuran sedang seperti kertas A1 dengan gambar pria dan wanita pada tiap bingkai mengenakan pakean tradisional china Cheongsam dan Samfoo. Ada enam meja makan dengan ukuran seragam di ruangan ini. Tiap meja kurasa bisa dipakai empat orang dewasa. Dimejaku, tepatnya samping jendela ada satu foto usang seorang gadis yang duduk pada sebuah bangku dengan pose yang anggun dan tatapan dingin tanpa senyum. Matanya bulat dan cerah dibentuk seperti mata kucing. Bibirnya kecil dilapis gincu merah. Badannya ramping terbungkus cheongsam merah bermotif burung merak. Jari kukunya sewarna dengan gincu di bibirnya. Kedua tangannya diletakkan di atas lutut dengan jemari yang terkulai indah. Bagian dada dan pinggulnya terlihat begitu liat dan tampak dari depan rambutnya disanggul Konde Cepol. Sungguh indah. Dugaanku gadis dalam pigura ini mungkin anak dari seorang petinggi di masa lalu yang memiliki darah campuran nusantara dan China. Menurutku gadis didalam foto ini masih seumuranku 22 tahun.

Wanita itu meletakkan buku menu di depanku. Dia berdiri dan memerhatikanku membolak-balikan lembaran yang penuh gambar mie. Pada lembar terakhir, aku berhenti pada gambar I fu mie yang topingya dibubuhi udang lalu menengok ke buku kecil yang di genggam tangan kirinya.

“I fu mie satu ya mba,” kataku.

“I fu mie ya, baik. ada lagi? Minum?” dia bertanya setelah mencatat pesananku.

“ooh, minumnya es teh aja, makanan itu aja dulu.” Pungkasku.

“ooh iya baik, ditunggu sebentar ya mas.” Wanita itu menambahkan senyum tipis pada kata ‘mas’.

dia lalu segera berjalan melawatiku menuju pintu yang ada di sudut kiri ruangan kemudian hilang dibalik tirai pintu.

Aku kembali pada foto jadul yang ada disampangku. Melihat lebih dekat dan terjebak pada wajah gadis yang mematung dalam pigura. Suara penggorengan keluar dari balik tirai merah di ujung ruangan. Aku bersiul dalam hati mengagumi gadis ini. Dalam hidupku ini kali pertama aku melihat foto seorang gadis yang begitu indah. Aku ingin mengeluarkan hpku untuk memotret gambar gadis ini. Tapi kurasa kalau aku lakukan tanpa izin yang punya warung, aku telah bertindak tidak sopan. Ku pastikan untuk menunggu saja sampai pesananku tiba di meja. Sepuluh menit berlalu menunggu dan aku hanya duduk menghadap gambar gadis ini yang tak kunjung hambar dengan kaku dan malu-malu seolah pandangannya tertuju padaku. Betapa konyolnya aku secara sadar bertingkah bodoh di depan sebuah foto yang sama sekali tak kukenali. Pintu berderit. Wanita itu mucul dari balik tirai dengan semangkuk Ifu mie dan segelas es teh. Dia melangkah dengan hati-hati. Bau mie di atas nampan menyatu dengan udara dingin. Aku membantu dia meletakkan mangkuk dan gelas, serta struk tagihan di atas mejaku.

“ini dia mas.”

“makasih ya mba, mba. Ini foto anak mba?” tanyaku sambil melirik ke foto itu.

“oh ini? Gak tahu mas ini foto siapa. Tapi, foto ini sudah dari sejak saya jualan disini. Kenapa? cantik ya orangnya?” kata wanita itu dengan nada rayu.

“iya mba. Jadi mba gak tahu siapa gadis yang ada dalam foto ini?” tanyaku penasaran.

“iya mas, semua foto-foto disini saya gak tahu. Banyak orang kira mereka yang ada dalam foto ini ada di garis keluarga saya. Nah. dan foto yang disamping mas ini, selama jualan disini, suami saya sudah sering mindahin foto ini ke depan biar rapih berjejer dengan foto yang lain. Tapi, foto ini selalu balik kesini mas.” Wanita itu menjawabku dengan nada rendah misterius. Aku terdiam mencoba mencerna apa yang barusan dia kata-katakan.

“tapi gak apa-apa kok mas, itu hal biasa. Makan dulu nanti dingin loh mie nya.” Imbuhnya lirih dengan seulas senyum di wajahnya.

“oh iya mba. mba, aku mau minta izin mau ambil gambar foto ini.” aku merasa gugup.

“ooh silakan mas, gak papa. Mau bawa pulang sekalian juga gak ada yang larang kok.” bibirnya kembali tersungging tapi kali ada kengerian di retak senyumnya. Aku hanya menundukan kepalaku tanpa membalasnya. Kuletakkan uang pas di struk tagihan yang dia berikan dan langsung merogoh saku celanaku mengeluarkan hp. Wanita itu berlalu mengambil uangku. Dia kembali ke ruangan yang ada di balik tirai tadi.

Kuarahkan hpku sejajar dengan foto itu agar mendapatkan komposisi yang pas. “gimanapun juga gambar si manis ini gak boleh dilewatin begitu saja. Belum pernah sebelumnya ada sesuatu apapun yang mendekati kecantikan ini. Jadi, Soal cerita mistis atau apalah tadi itu, biar aja tetap jadi menu tak tertulis di warung ini.” Gumamku.

Ikuti tulisan menarik UB lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler