x

Iklan

UB

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 27 November 2021

Kamis, 9 Desember 2021 14:57 WIB

Gadis di Dalam Pigura (Bagian II)

Cerita singkat ini tentang seorang mahasiswa semester akhir yang di sore itu hendak mengikuti keinginannya untuk mencari makanan yang dia inginkan. dia pun menyusuri jalan jakal atas demi memenuhi keinginannya. dia tiba di sebuah warung makan kuno dengan atribut ala warung makan china yang meniupkan bebauan sedap. warung itu di pinggir jalan jakal atas km 16 yang terbuat dari kayu dengan warna alami kayu yang mulai reot

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Gadis Di Dalam Pigura

Sewaktu aku akan menutup pintu pagar kosan, dadang anak kosan sebelah berlari menghampiriku. Wajahnya timbul tenggelam diterpa cahaya bulan. Aku bisa melihat rambut gondrongnya yang terguncang langkah. Badanya yang tambun membuat langkahnya lebih pendek dan larinya pelan. Di depanku dadang menopang badannya dengan bersender di pagar. Dia membuang nafas panjang yang terdengar lenguh.

“weh, dari mana dang?” sapaku lebih dulu.

“dari kosan bang. Bang itu pacarmu yang kau bonceng tadi?” tanya dadang dengan logat bataknya.

“ha? Pacar apa dang? Yang mana?” aku menatapnya heran.

“tadi barusan yang kau bonceng. Udah masuk ke kamarmu kah bang?” dadang.

“gak ada kubonceng sapa-sapa dang. sendirian aja aku masuk sini. Kau nampak dimana emang?” tanyaku.

“tadi pas kau masuk gang ini bang, kau kan lewat depan kosanku. Nah aku lagi ngudud di balkon atas. Eh, Abang lewat bonceng cwe cantik pake pakean orang mandarin warna merah, telanjang lengan. Cantik kali bang. Aku aja yang tengok bentar tahu kalo dia cantik kali.” Tutur dadang.

Aku terdiam seribu bahasa. Kurasakan ada getaran halus di badanku, bulu romaku bangkit, dan kepalaku terasa memuai. Angin berhembus halus memainkan rambut dadang dan pohon-pohon bambu depan kosan. Dadang menatap tajam seolah ingin masuk kedalam kepalaku. Aku langsung membalikkan badan membelakangi dadang. Dalam ingatanku aku melihat bayang wanita yang ku ambil gambarnya waktu di warung makan china di jakal atas tadi. aku terdorong rasa takut. Melangkah gegas. Dadang memanggil-meanggilku dari luar pagar. Suaranya lantang. tapi panggilanya justru menjadi impetus membuat aku lebih cepat meninggalkannya.

Didalam kamar aku termenung. Tak ada suara apapun kecuali kicau dadang yang masih sayup-sayup. Kunyalakan Hp ku. Melompat kedalam galeri virtual dengan jempolku. Disana. Di baris bagian pertama. Ada foto gadis yang ku ambil tadi. dia tetap indah dan misterius. Aku masih meragukan apa yang dadang katakan padaku.

“mana mungkin di foto itu dihinggapi demit? Tapi, kalaupun iya, masak aku harus takut sama cwe cantik? Kalaupun sakral kurasa tak ada pantang yang kulanggar. Yang ku ambil cuman foto dan yang aku tinggal cuman sepasang sumpit kotor dengan sebuah mangkuk. Kejadian ini biasanya hanya menimpa manusia dengan niat yang buruk. Sedangkan aku, aku hanya ingin mengisi perut, apa bisa itu disebut buruk? Tapi. Sekali lagi. Kalaupun iya! Artinya aku beruntung digentayangin cici-cici demit cantik.” kelakarku.

Rasa takutku larut dan berganti dengan perasaan tegang yang nikmat. Aku beranjak dari tempat dudukku bergeser ke tempat yang lebih nyaman. Kasur. Ragaku rebah diantara guling jumbo diikuti kedua kakiku. Hp dan wajahku hanya berjarak 30cm di dalam layar biruku ada seorang gadis yang duduk menghadapku. Sejak awal aku melihat gadis di foto ini dia sudah berhasil membuatku sulit berkedip tapi mampu menanam perasaan tenang dalam hatiku. Foto ini seperti gendam. Atau Anesthesia dalam medis. Makin dalam aku menatap foto itu semakin berat kantuk di kelopak mataku.

Mataku pejam. Tubuhku yang rebah terasa mengambang seperti dialiri zat relaksasi. Tak ada hal lain yang aku pikirkan kecuali hilang dalam lelap. Tapi begitu tubuhku istirahat. Sendi-sendiku lemas. Kesadaranku berpindah tempat melewati terowongan gelap. Déjà vu.

Aku kembali duduk di kursi depan meja makanku. Di warung makan china. Jakal atas setelah KM 16. Tak ada siapapun dalam ruangan. Suasana begitu hening. Ruangan belakang yang ku tahu sebagai dapur sama sekali tidak mengeluarkan bunyi dan bau masakan. Tempat ini persis seperti yang tadi aku kunjungi. Tapi kali ini aku benar-benar sendiri ditemani semangkuk I Fu Mie yang masih panas dan belum tersentuh. Aku berdiri. Dan sedang menghadap foto gadis itu. Aku melihat ada perubahan pada wajahnya. Ada senyum menyeringai pada wajah yang dingin itu. Senyum yang asing. Yang sebelumnya sama sekali tidak disana. Kurapikan talenan bantal tempat duduk. kembali duduk. Ketakutan merayap dari ujung kakiku. Kudapati pantulan wajahku dengan warna ketakutan. Pucat pasi. sedangkan tatapan wanita itu terlihat mengahadapku dan tersenyum lebar. Tiba-tiba pintu belakang berderit. Kain gorden pintu itu tersingkap pelan seperti ditiup angin halus. Beberapa bagian melayang memberi jalan. Tengkukku bergetar hebat. Ada hawa dingin misterius yang menyusup dari belakang. Sesuatu telah masuk. Menyelinap. Aku melihat dari ekor mataku. Sekelabat bayang. Ku hela napas panjang meredakan pukulan jantungku dan kembali duduk bersandar. Saat itu, aku mulai menyadari ada sesuatu di belakangku. Dia berjalan pelan melintas dari belakang. Lalu perlahan belok kanan mengambil jalan di samping kiri pada meja ketiga dari ku yang berjarak lima meter. Aku merasa ruangan ini semakin dingin, sunyi. Detak Jarum jam nyaring terdengar membuat debur jantungku semakin cepat. Dari ujung mataku aku menangkap sosok gadis dengan rambut cepol, cheongsam merah dengan kain lengan buntung. Kulitnya putih bersih. Dia berjalan sangat pelan. Mungkin melayang. Aku mencium bau Bunga sedap malam yang pekat mengelilingiku. Dalam batinku doa dan nama-nama tuhan menjadi dzikir. Pandanganku tak lepas dari sosok itu. Leher dan kepalaku kejang. Dia terus berjalan tanpa ada gerak langkah dari dua kakinya. Sangat pelan. Tapi tidak dengan dzikirku yang semakin cepat dan serampangan.

“astagfirullahaladzim!! Astagfirullahaladzim!!” terbata-bata. Gigil di geligiku.

Bibirku mulai menyebut semua kalam-kalam panik yang tersimpan di memoriku. Sosok itu berhenti, lalu memutar badannya setelah berdiri sejajar dari arah mejaku. Aku dan dia hanya berjarak lima meter. Pandanganku terpaku pada tubuhnya yang menunduk pucat seperti lilin. Tak bisa ku turunukan. Telapak tanganku basah dengan keringat. Ada kekuatan ghaib di atasku, pundakku terasa berat. Mataku enggan menutup. Tubuhku sama sekali tak merespon ketakutanku. Aku ditindas rasa takut. Sosok itu menagangkat wajahnya. Matanya putih dilapis semburat. Tak ada kehidupan duniawi dimata itu. Dia menatapku nanar, dan dengan segera dan laju dia melayang menujuku. Kepalanya terpelanting ke kanan kiri seperti ingin dia lepaskan. Aku mendengar suara gemeretak dari lehernya. Semesta terasa berhenti berputar. Dia melayang setinggi meja. terbang menujuku dengan tawa melengking diikuti pekikan kalimat “Astagfirullahaladzim, astagfirullahaladzim, astagfirullahaladzim!!” meniru ucapanku.

Aku terlonjak dari tempat tidur dan langsung memeluk diri sendiri. di samping dipan. tubuhku menggigil. separuh kasurku kuyup. suasana hatiku suram. Peluh sebesar biji jagung mengalir di pipiku, terjun menambah genang keringat dingin yang keluar dari kaki dan telapak tangan. Tawa dan wajah gadis itu masih terperangkap dalam kepalaku.

Ciputat, 14/03/2021

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ikuti tulisan menarik UB lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler