x

Iklan

Tiara Febrianie

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 18 November 2021

Selasa, 7 Desember 2021 08:59 WIB

THE Guardian (Sang Pelindung)

Kami adalah pelindungnya, bertugas menjaganya, mengawasinya, menenangkannya, memberinya semangat. Sebagai gantinya, dia memberi kami senyumannya, suara tawanya, pelukannya, genggaman tangannya. Jika saja kami nyata, mungkin rasa dari pelukan hangatnya, ataupun tawa lembutnya dapat kami rasakan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Jika aku mewakili amarah, dendam, keserakahan, egoisme, ketamakan, dan kesombongan maka Dia adalah Rasa malu, kekecewaan, Sakit hati, Penghianatan, rasa jijik, kemalasan, dan kurangnya empati. Kami adalah pelindungnya, bertugas menjaganya, mengawasinya, menenangkannya, memberinya semangat. Sebagai gantinya, dia memberi kami senyumannya, suara tawanya, pelukannya, genggaman tangannya. Jika saja kami nyata, mungkin rasa dari pelukan hangatnya, ataupun tawa lembutnya dapat kami rasakan.

 

Dia berlari kearah kami.” Apa kalian tahu? hari ini, aku tersenyum pada seorang tunawisma, dan dia membalas senyumanku” aku mengelus surainya, kami berjongkok dihadapannya” jika dia tidak melakukannya, maka aku akan membunuhnya.”  Aku bohong, kami adalah pikiran. Tidak bisa hidup dan tidak punya sesuatu semacam masa depan. kami ada karena trauma telah mendorongnya sampai ke batas kewarasannya sendiri. Masa-masa kelam di pikirannya. Kekacauan di dunianya. Dia sendirian, membenahi segalanya sebelum kami ada dan membantunya bangkit.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Saat aku lahir, pikirannya adalah tempat paling mengerikan.

Gelap, dan dingin, karena tidak ada lagi harapan dan kehangatan di dunianya. Dia disana. Berlutut dengan air mata bewarna hitam pekat keluar dari sudut matanya. Memegang dadanya yang terasa sesak. Aku merasakannya, aku telah menjadi bagian darinya. Dia berteriak dengan suara serak, hampir terdengar kalau dia mencoba mengungkapkan perasaan buruk yang selama ini ia tenggelamkan di alam bawah sadarnya.

Seakan-akan pekatnya air mata itu menandakan betapa kejamnya dunia ini sudah berlaku padanya. Dan itu memberitahuku kalau ia sudah tidak mampu menahannya lebih lama lagi.  Sedikit lagi saja, jiwanya akan hancur.

 

 

“mereka mengolok-olok tubuhku.”

“mereka mencaci rambutku.”

“mereka memukulku, berteriak padaku.”

“mereka tidak puas akan usahaku. Mereka mencoba menuduhku.”

“aku tidak pantas menerima ini...”

“mereka  semuanya sama… se-semuanya sama saja.” Tubuhnya bergetar sambil menoleh kearahku.

“hei..bantu aku membunuh mereka semua .”

 

Kami bertiga. Si pemalas, aku, dan dia ada di pikiran ini. Kami hidup namun tidak hidup juga disaat bersamaan. Kami berpikir dan merasakan segalanya yang dia rasakan. Kami adalah dirinya yang lain. Kami adalah kehidupan, makhluk tanpa wujud yang nyata. Dia adalah perwujudan dari pikiran pemilik tubuh ini, majikan kami. Dia hanya anak kecil, pikirannya serupa dengan anak usia belasan tahun. Dia menyukai hal sederhana, mudah teralihkan, mudah tertawa, dia adalah cahaya dan seharusnya kami tidak disini jika saja hidupnya berjalan seindah itu.

 

Saat Si pemalas muncul, pikiran ini sedang berantakan.

Dia mengingat segalanya, hal memalukan, menjijikkan yang sudah kukubur dengan baik, tiba-tiba melayang di udara, membuatnya ingat akan semua rasa hina itu. Aku tidak berdaya menahannya. Aku gagal. Ada rasa sesak dan tidak nyaman muncul.

“mereka merendahkanku.”

“mereka membenciku.”

“mereka memperlakukanku seperti sampah.”

“mengapa mereka menjauhiku?”

Darah keluar dari sela pahanya, mengucur deras seiring dengan terbentuk sesosok dari darah menjijikan itu. Dan saat itu juga, ia bertugas menanggung semua hal memalukan, menjijikkan, kekecewaan, sakit hati, Penghianatan, selamanya. Sepanjang hidupnya.

Kami adalah benalu.

Kami tidak seharusnya ada.

Kami adalah kesalahan. Kami bukanlah pelindung karena kami perlahan mengambil alih. Pertama, dengan membuatnya lengah kemudian kehilangan kendali sehingga tubuh ini akan jadi milik kami saja.

Kami memang harapan terakhirnya, pertahanan terakhir sebelum  beban dunia masuk dan merobek jiwanya dari dalam. Namun, kami tidak puas.

Kami adalah pikiran yang berhasrat untuk berkuasa. Dia terlalu lemah. Kami tidak menyukai gaya kepemimpinan seperti pecundang itu.

 

Perlahan tubuh ini akan lupa siapa pemiliknya.

Kami lah yang akan berkuasa menggantikannya.

Ikuti tulisan menarik Tiara Febrianie lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler