x

Lulu

Iklan

Herti Rahmawati Ch

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 5 Desember 2021

Selasa, 7 Desember 2021 14:10 WIB

Lu-ka (2)

,

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

"Rafanio, Tunggu!" Langkah sepatu biru itu mengayun cepat, juga tas biru tersampir di pundaknya. gadis itu berlari kecil sembari membenahi kenakalan helai-helai anak rambutnya.

Rafanio berhenti. Berbalik, sehingga rambut hitamnya berkibar tertiup rayuan angin. Pria itu pun tersenyum lebar dikala sosok gadis bermata bundar itu tiba di hadapannya. "Cape, Ran?"

Gadis rambut pendek itu memekik tajam, manik lembutnya menatap Rafanio kesal. "Ninggalin pacarnya ya?"

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Rafanio tersenyum, jemarinya mengusap pucuk kepala gadis itu lembut. "Tenang dong. Kan ngga sengaja, Rana."

Akhirnya Rana, gadis itu tersenyum lebar. "Awas, sekali lagi!"

Rafanio tertawa kecil lalu dengan gemasnya mencubit pipi gadis di depannya. “Gimana ya?”

Rana melotot.

Lalu angin berhembus, menghembuskan rambut mereka. Seakan-akan hening, sorot layu milik Rafanio menatap lembut seperti menyirat sesuatu. "Ran," ucapnya.

Menatap Rafanio yang lebih tinggi darinya, Rana mengkerutkan kedua halisnya. "Apa?"

"Menurut lo gimana?"

"Gimana apa Rafanio? Lo harusnya kasih pertanyaan yang lebih jelas ke gue, kalo yang setengah gitu gue ngga ngerti, sama ngga ngertinya gue ke Rafanio," balas gadis itu sambil tertawa pendek.

Rafanio tersenyum lebar sembari melepas lengannya dari pipi gadis itu. "Menurut lo gue itu gimana?"

Rana terdiam menghadapi kata-kata yang Rafanio, ia malah mengikuti angin yang senyap, tapi beberapa detik kemudian dia tersenyum, jari telunjuknya menunjuk pohon rindang yang berdiri kokoh di dekat lapangan sekolah. "Lo liat itu, Nio!" ujarnya antusias.

Mata Rafanio menyipit mengikuti arah tunjuk gadis itu. perlahan ia tersenyum lalu menganggukkan kepalanya sangat pelan. "Ada apa sama pohon itu Rana?"

Rana menoleh, memperhatikan Rafanio yang masih fokus mempertanyakan pohon rindang itu. Rana mendekat, tersenyum lalu mengecup singkat pria itu di pipi. "Sulit gue gambarkan Rafanio, tapi gue sayang."

Rafanio menoleh, kaget dengan apa yang dilakukan Rana padanya. Ini pertama kali Kalinya Rana melakukan hal itu.

Tiba-tiba saja seolah-olah berjalan lambat, hingga manik mereka terpaut lembut, saling mengawasi. Keduanya pun diam, menyimak dentuman hati yang dibiarkan bergemuruh.

Rafanio yang pertama kali mengalihkan pandangannya, lalu diikuti Rana yang kini malah sedikit dilanda kegugupan. Rafanio menunduk, berdehem pelan lalu menyorot Rana datar, sangat dalam. "Sepercaya itu lo sama gue Na?"

Rana balas menyorot pria itu, gadis itu tampak khawatir dengan pertanyaan yang diberikan Rafanio untuknya. Pria itu seolah ragu, tapi entah entah di sisi mana-nya. Saking khawatirnya, Rana malah tidak menjawab pertanyaan singkat pria itu. Gadis itu menunduk, meremas rok abunya kaku.

"Rana," panggil Rafanio.

Rana menoleh, pikiran gadis itu berputar membuat sedikit pening di kepalanya. "Ya?"

"Gue juga sayang sama Rana," ujar Rafanio. "Percaya ya sama gue."

*****

Detik ini, detik-detik yang jauh beda dari sebelumnya. Bagai belati yang menyayat hati, bahkan seolah-olah seakan ada petir yang ikut menyambar pondasi hati. Di ruangan yang minim cahaya ini Rana tak tahu harus bagaimana lagi. Senyap, air mata gadis itu tak henti-hentinya keluar, menahan rasa sakit yang sulit untuk dihentikan. Kenangan indah bersama Rafanio seolah sirna begitu saja di waktu yang terasa singkat ini. Selama ini, Rana kira Rafanio hanya akan memberikan beberapa potong hatinya pada Rana saja. Tapi ternyata, dengan teganya pria itu malah membagikannya pada gadis lain juga.

Rana menarik napasnya, mencoba tersenyum memahami keadaan. Manik gadis itu menatap Rafanio sendu lalu menunjuk gadis yang tadi bersama Rafanio. "Hubungan kalian belum jauh kan Rafanio?." Bibir gadis itu bergetar. "Jadi putusin dia buat gue ya?"

Rafanio diam, menatap Rana samar.

"Nio gue mencoba berpikir positif aja untuk kali ini, jadi hubungan kita ngga apa-apa." Rana tersenyum sembari menahan air mata yang tidak bisa ia bendung kali ini. "Gue tetep mau sama lo. Gue sayang sama lo, lo tau kan itu?"

Wajah Rafanio sudah pucat. Dengan bergetar, pria itu menggapai jemari Rana lalu menggenggamnya erat. Tapi pria itu tetap diam, tidak berani berbicara apa-apa.

"Pergi dari sini ya Rafanio!" Rana menatap pria yang lebih tinggi darinya itu, tersenyum kaku, hati gadis itu pun rasanya bagai teriris-iris begitu tipis. Menggenggam erat jemari Rafanio, gadis itu membalik-balik, menarik Rafanio agar mau pergi dari sana.

Namun Rafanio tidak mau beranjak barang sedikit saja, pria itu hanya tetap diam dalam kebingungan dengan sorot kosongnya. Seakan tidak tahu ia harus melakukan apa.

"Rafanio!" Rana menatap pria itu sendu, mencoba sekuat tenaga menggoyangkan lengan pria itu. Namun pria itu tetap diam.

"Ayo Nio!" Rana menangis dengan perih di hati. Kini bahkan terasa lebih sakit dari sebelumnya.

Rafanio tetap diam dalam kebingungan. Sementara hampir semua orang di tempat ini menjadikan mereka sebagai sorotan utama.

"Lo sayang kan sama gue?" tanya Rana. Kali ini terdengar kecil dan bergetar. Lengan gadis itu mencengkeram Rafanio dengan erat. "Rafanio! Lo sayang kan?"

Rafanio menyorot sayu hingga akhirnya mengangguk pelan. "Gue sayang sama Rana."

Rana menarik napasnya, mengatur semuanya, namun tetap terasa berat. Lalu gadis itu mengungkapkan Rafanio dingin. "Kalo sayang, lo harus sama gue, harus pergi dari sini."

"Iya Ra, tapi-."

"Pergi sama gue!" Akhirnya Rana membalik dan menarik paksa Rafanio hingga pria itu turut mengikutinya di belakang. Namun langkahnya lagi-lagi terhenti.

"Rafanio juga sayang sama gue." Tiba-tiba sosok gadis dengan rambut bergelombang berteriak, berlari menahan langkah Rafanio. Diraihnya Rafanio, gadis itu memeluknya erat dan menumpahkan air matanya dalam pelukannya. "Rafanio! Lo harusnya bilang sama dia, kalo lo juga sayang sama gue."

Rafanio benar-benar tidak bisa melakukan apapun, pria itu sudah terjebak oleh lingkaran permainan yang ia buat. Pria itu hanya mencengkeram Rana semakin erat dan juga memeluk gadis di sampingnya. Serakah.

"Nio!" Rana menuntutnya. Lagi-lagi ia menarik tangan sana Rafanio agar mau pergi.

"Rafanio itu lebih sayang sama gue, lo yang harusnya lepasin dia!" Gadis itu, Kyla berteriak dan semakin erat memeluk Rafanio, seolah-akan hanya miliknya.

"Siapa bilang? Jaga bicara lo ya! Rafanio itu lebih sayang sama gue." Rana mengangkat dagunya. Mata gadis itu memerah.

"Cuma pegangan tangankan?" Kyla terisak, semakin erat memeluk Rafanio. Takut pria itu pergi meninggalkannya. "Tapi Rafanio udah terlalu jauh sama gue, kita udah jauh banget. Rafanio mau nikahin gue. Harusnya lo tau yang lebih butuh Rafanio di antara kita."

Rana terpekik, melotot tidak percaya. Gadis itu menggeleng pelan lalu maniknya terpaut pada Rafanio yang kini menyororotnya kaku, terluka dan penuh penyesalan. Perlahan jemari gadis itu terlepas dari jemari besar milik Rafanio, air mata semakin deras mengalir. Ah, mengapa ia terlalu percaya pada pria itu? Mengecewakan. Akhirnya gadis itu mengangkat tangannya tinggi-tinggi lalu melayangkannya tepat di pipi kanan pria itu. "Brengsek."

Gadis itu berbalik, berlari melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti. Paling tidak jika tidak bisa membawa Rafanio bersamanya, Rana masih bisa mengeluarkan dirinya dari sana. Rana tahu di luar tengah hujan deras, tapi ia ingin sekali pergi dari tempat malam ini. Tempat di mana tidak terungkap siapa Rafanio sebenarnya, tempat di mana ternyata Rafanio tidak seimut saat di sekolah bersamanya, juga tempat di mana Rana putus cinta untuk pertama kali Kalinya. Gadis itu berlari meskipun terdengar suara Rafanio yang seolah-olah memanggil namanya dari belakang.

Rana berlari tapi tidak memperhatikan sekitar, ia tidak ingin peduli dulu, bahkan batu yang cukup besar saja tidak melihat keberadaan. Hingga akhirnya ia terjatuh, lututnya terluka, hak sepatunya patah. Dan ia hanya ingin menangis saja. Tanpa payung dan di bawah rembulan.

Hujan turun begitu derasnya ya?

kita tidak tahu kapan kita bahagia, kapan kita sedih atau kapan mungkin kita rapuh serapuh-rapuhnya bukan? Jika kalian pikir Rana akan bahagia terus dengan Rafanio itu salah. sudah! Kini gadis itu bersimbah air mata di bawah hujan, dres putih selututnya sudah kotor terkena lumpur, lututnya terluka begitu merah. Gadis itu sudah patah hati, dan Rafanio yang menjadi penyebab utamanya.

Jahitan yang tertata rapi ternyata belum rapi, ada saja benang yang mengecoh itu semua. Berantakan sudah. Rana tidak menyangka, bisa-bisanya Rafanio adalah penyerangnya, menusuk hati kecil Rana dengan belati yang menyayatnya tajam. Ia sampai tidak tahu harus bagaimana, ia rapuh. Rafanio yang terlihat suci di matanya ternyata tidak sesuci kelihatannya. Pria itu bahkan banyak menodai warna-warni pelangi di hidupnya. Sehingga rasa sakitnya terasa sulit untuk diatasi. Di tengah gemericiknya hujan, Rana merasa begitu hampa. Hening dan begitu menyakitkan.

"Rana!" Itu Syalonna, teman dekat Rana yang lebih tua lima tahun darinya.

Guyuran hujan yang tadinya menyerbu atas kepala kini terhalang payung biru. Bibir Rana bergetar, gadis itu rapuh, air mata mengalir.

"Masuk mobil gue!"

Rana gemetar, terisak sambil memegangi lututnya yang sakit.

"Gausah bodoh lo Na!

Rana sudah tidak bisa berkata-kata, gadis itu hanya ingin menangis sepuasnya di bawah hujan.

"Masuk!" Kali ini Syalonna memaksa Rana masuk ke dalam mobilnya, gadis itu sampai di lengan Rana agar mau menurutinya. Akhirnya Rana menurut juga.

Setelah mereka di dalam mobil, akhirnya Syalonna mengendarai mobilnya dengan curahan hujan ibu kota.

"Gue bilang ngga usah deketin dia, ya gausah! Gue bilang dia ada hubungan sama cewek lain ya harusnya lo nyadar. Cinta lo itu terlalu buta Na. Liat deh sekarang, sesuci apa dia? Sesuci apa yang lo lihat?"

Rana diam, menangis tersedu-sedu sambil mengepalkan jemarinya. Gadis itu akhirnya menunduk, mengusap rambut lalu menangis lagi pilu.

Syalonna menyodorkan ponsel miliknya pada Rana. Ia menatap garang. "Minta putus sama dia, buru!"

Rana menoleh ke sendu. "Gue ngga tau harus bilang apa lagi Syal. Gue ngga tau."

Syalonna menghela napas. Mengerti. "Jangan balik sekarang, biar gue bilang sama bunda kalo lo nginep di gue. Tapi lo sekarang ke klinik dulu, liat tuh lutut, ngga sakit apa?"

Rana tidak balas berkata-kata, gadis itu hanya mengangguk. Menurut pada Syalonna.

*****

Dari: Rana Greenhara

Kepada: Rafanio Arkamura

Nio, harap harap ketika membaca surat ini, segera lupa perasaan ke gue, itupun kalo ada. Karena gue juga seminggu lagi berusaha lupain lo dari pikiran gue. Walau masih butir-butir rasa suka sama lo, tapi gue udah ngga mau lagi sama lo. Setelah lulus SMA nanti gue mau ayah nikahin sama Nichols, jadi kalo lo masih berharap sama gue, hapus itu. Gue berhak bahagia tanpa lo bukan?

Rafanio, perpisahan ini mungkin awalnya sakit bagi gue, bahkan gue nulis ini aja sakit banget. Nih, nangis lagi. Tapi pas gue pikir-pikir, ngapain coba nangis cuma karena lo? Iya ga?

Jadi, kita sudah cukup. Jangan dilanjut. Baik gue, baik elo harus terima perpisahan ini.

Ttd korban hati,

#Raanaa

Ini pesan terakhir dari Rana untuk Rafanio sebelumnya akhirnya Rana hanya bisa memandang dari kaca mobil Syalonna, lengannya terulur di sana, berharap bisa menggenggam pria itu lalu memeluknya. Rafanio juga memandangnya, bahkan terlihat lebih tersakiti dari pada Rana, melihatlah sorotnya yang terluka, rambut hitamnya yang lembut terhempas hembusan angin.

Pria itu tersenyum kaku hingga akhirnya bayangannya mengecilkan penglihatan dalam Rana. Mobil Syalonna sudah melesat jauh dari sana akan tetapi Rana seolah-akan masih berasa di sana. Merasakan kenangan-kenangan yang sedikit demi sedikit memudar. Menarik napas berat, ia harus bisa, ia harus bisa melupakan lukanya.

Selamat tinggal Rafanio.

 

 

Ikuti tulisan menarik Herti Rahmawati Ch lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler