x

Iklan

Sion Geva

Penginisiasi Fiksi Indonesiana
Bergabung Sejak: 7 Desember 2021

Rabu, 8 Desember 2021 10:05 WIB

Pengantara dari Laut


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sesaat setelah gempa berlangsung, aku terpaku melihatnya di seberang sungai. Tidak mau menerima kenyataan kalau sungai air asin yang tiba-tiba muncul ini adalah pemisah kami. Andai aku adalah buaya, aku tinggal melompat ke sungai dan berenang menggapainya. Andai aku adalah burung elang, aku tinggal mengepakkan sayap menyeberangi sungai untuk mencapainya. Tapi semua itu mustahil kulakukan karena aku hanyalah makhluk daratan berkaki empat.

Hari ini adalah hari kedua setelah gempa. Sehari sebelumnya aku dan tiga betina yang lain sedang berburu di savanna ini. Salah satu dari kami berhasil kembali dengan anak Kerbau di mulutnya. Hari itu kami bisa puas makan dengannya dan anak-anak kami! Membayangkan momen tersebut sangat membahagiakan.

Saat hal itu terjadi kami dalam perjalan pulang. Padahal tinggal sejengkal hingga kami bisa kembali berhimpun. Hingga tiba-tiba lempengan retak dari bawah danau dan derasnya air memisakan daratan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bangkai Kerbau buruan kami dibiarkan tergeletak. Rasa lapar hilang seketika waktu melihat dari jauh dirinya di seberang sana. Surai-surai indah di kepalanya tertiup angin ketika ia berdiri menatap kami. Tiba-tiba ia mengaum dasyat dan seluruh makhluk hidup di sekitarnya lari terbirit-birit. Itulah Singa jantan kebanggaan kami.

“Sayangku,” rintih kami pilu.

Ia tidak berhenti mengaum. Auman yang mengiris hati. Kami menebak, mungkin ia akan mengaum hingga serak. Belum pernah kami melihatnya kehilangan ketenangan. Selama ini ia mempertontonkan taring dan cakarnya yang kokoh, menegakkan punggungnya yang perkasa lalu mengaum hebat untuk mengintimidasi siapapun yang berusaha mengganggu kelompok si raja hutan. Atau ketika ada jantan lain muncul, berusaha untuk mencuri area kekuasaannya. Satu aumannya sanggup menggetarkan bulu burung-burung dan sisik reptil-reptil. Sekarang lihatlah, ia mengaum tanpa henti dengan kesedihan mendalam.

Anak-anak Singa mengelilinginya. Mereka berputar-putar sambil ikut mengaum kecil. Mereka memanggil kami. Meski begitu, kami tidak berdaya membalasnya. Kami para Singa betina tidak bisa mengaung sekerasnya. Bagaimana cara kami mengatakan kalau kami di sini baik-baik saja?

 

Para Gagak berdatangan. Mereka bersaing dengan burung Kondor untuk mencuri bangkai mangsa kami. Kami hanya menilik. Tidak berniat mengusir meskipun sebenarnya kami kelaparan dan bau daging Kerbau yang setengah membusuk itu sangat menggoda.

“Hei, induk Singa,” bisik sesuatu memanggil.

Aku menegakkan kepala. Menoleh pada bangkai yang tinggal tersisa tulang-tulangnya. Berpikir kalau ada suara yang berani mengusik sang Singa betina yang terkenal sekontingental sebagai pemburu nomor satu. Ingin rasanya aku tertawa membayangkan ada yang berani mengajakku berbicara.

“Di depanmu, induk Singa,” bisiknya lagi.

Berpaling ke permukaan sungai air asin tidak wajar di depanku, seekor ikan Barramudi menyembulkan kepala. Dahiku berkerut. Suatu keanehan melihat ikan yang tidak seharusnya ada di situ.

“Kau berani memanggilku? Kau mau kumakan?” aungku marah.

Herannya ikan Barramudi di depanku tidak lari. Ia hanya menenggelamkan dirinya sebentar dan kembali menyembul ke permukaan setelah aunganku selesai.

“Kau kelihatan sedih,” sahutnya getir.

Amarahku hilang total. Sebenarnya marahku hanya dibuat-buat. Aku merasa terusik dengan kehadiran makhluk lain. Lebih baik ia seperti para burung yang berani mencuri makanan tetapi tidak berisik.

“Kenapa ada ikan Barramudi di sini?”

“Kau benar! Tidak seharusnya aku ada di sini, induk Singa.” Raut mukanya berubah kelam. “Akibat gempa kemarin, muncul retakan dari dasar danau hingga ke delta. Arus air laut yang tersedot mengisi retakan menyeretku hingga kemari.”

Sekarang aku tahu alasan air danau yang menjadi satu-satunya oase di savanna ini dengan anehnya menjadi asin. Namun begitu, setelah tahu kebenarannya aku hanya tambah putus asa. Bagaimana tidak, kami penghuni savanna kehilangan satu-satunya sumber pemuas dahaga. Ini artinya, dalam sekejab mata tempat ini akan ditinggalkan. Semua akan berbondong-bondong pindah mencari tempat tinggal baru.

Rasanya aku ingin menangis. “Tidak.”

Aku menengadah. Singa jantanku masih di sana. Berbaring lemah dan belum berpindah. Tak terganggu dengan para anak-anak Singa yang menggigiti dirinya dengan taring mereka yang baru tumbuh.

“Bagaimana caraku bilang padanya?” sergahku.

Sirip kecil ikan Barramudi menyentuh telapak kakiku. Tetes airnya mengalir membasahi cakar putihku. Sungguh membingungkan melihatnya tidak takut dengan cakar mengerikan yang sudah menghabisi begitu banyak nyawa hewan.

“Apa yang mau kau sampaikan, induk Singa?”

Mataku terbelalak. Sesantainya ia seakan-akan sedang berbicara pada ikan yang kebetulan sedikit lebih besar ukurannya dibanding dirinya. Mungkin ia terlalu banyak minum air tawar sehingga otaknya rusak. Sampai ia lupa pesan yang ingin kusampaikan tertuju pada si penguasa alam liar.

Aku merendahkan badan. Membisikkan, “tolong katakan padanya.” Berpikir sejenak, mencari kata yang tepat.  “… kalau kami baik-baik saja.”

“Itu saja?”

Aku mengangguk diam. Antara linglung dan skeptis. Apakah pesan itu sungguh-sungguh bisa tersampaikan? Kalau iya, aku takjub melihat seekor ikan Barramudi menembus kemustahilan dari suatu jarak tak terselami.

 

Singa betina yang lain melemah. Kehilangan semangat hidup. Aku melirik iba. Tidak sanggup berbuat apa-apa karena terjerat dalam luka hati yang sama. Boro-boro menolongnya, menolong diri sendiri saja aku tak bisa.

Pandanganku melayang ke seberang sungai. Di sana ikan Barramudi melakukan hal yang sama seperti kepadaku. Menyembulkan kepala, lalu mulai memanggil-manggil. Aku hanya berharap… kalau keputusasaannya membuat Singa jantanku lebih tenang. Seperti yang kulakukan barusan.

Menunggu dan menonton ternyata lebih berat dari dugaanku. Rasa frustasi memuncak, bukan karena pengganyang pesanku mati dalam medan perangnya. Malahan Singa jantan kami mengabaikannya. Sekalipun hampir sepertiga tubuh ikan Barramudi mencuat ke permukaan air, demi memukul-mukulkan siripnya ke tanah.

Tenggorokanku yang haus rasanya terbakar. Aunganku sengau bagai lolongan serigala karena tenggorokanku kering. Biar begitu, aku harus terus mengaung agar Singa jantanku mau berpindah, paling tidak kepalanya tidak bergeming saja. Ia harus memutarkan bola matanya kepada ikan Barramudi malang di depannya.

“Oh, sayangku,” aungku sekuat tenaga.

Dan… aku berhasil! Ia mulai bergerak, menyadari tingkah lakuku yang tidak wajar. Melambai-lambaikan kaki bagai sedang mengusir nyamuk yang berputar-putar di depan moncongku, membuatnya beranjak dari singgahsananya.

Aku menepuk-nepuk tanah. Menghentakkan kaki berulang-ulang supaya ia menunduk. Dan ia … melakukannya! Aku tidak memungkiri kalau asaku kembali terbit.

Dari jauh aku menatap Singa jantan menghampiri ikan Barramudi. Suara sekeras apapun tidak sampai ke telingaku. Jadi, aku hanya bisa berdoa kalau pesanku dapat tersampaikan kemudian menenangkan hatinya.

 

Kepalaku terkulai. Rasa letih menggelayuti sekujur tubuhku. Semangat memang tadi kembali menyala tapi setelah merenung lagi, ‘setelahnya apa? Kami tetap akan berpisah kan? Kami bukan berang-berang yang bisa menyeberangi sungai yang dasarnya tidak kelihatan’, aku pun tidak berkutik.

“… induk Singa.”

Aku tersentak. Ikan Barramudi kembali!

“Kata Singa jantan, ‘Ia baik-baik saja’. Ia menyuruh kalian mencari makan.”

Telapak kakiku mencengkeram tanah. Sedih hatiku mendengarnya. Ia memikirkan perut kami. Kami adalah betina yang bertugas mencari makan bagi kawanan, kami cuma menolak untuk makan. Lantaran, bagaimana dengannya dan anak-anak kami?

“Sampaikan padanya, kalian juga harus mencari air dan makanan.”

Dengan gundah aku mengutus pengantar pesanku. Kembali melirik tiga betina yang lain. Mereka sungguhan tidak melakukan apa-apa selain berbaring.

 

Ikan Barramudi tidak kelihatan lesu. Padahal dari matahari ada di atas kepala hingga sebentar lagi terbenam yang ia lakukan adalah bolak-balik mendatangiku dan Singa jantan. Memang tidak ada arus air yang ia lawan, tapi tetap saja, cuma membayangkannya energiku habis.

Biarpun begitu aku butuh ikan Barramudiku. Bunyi percikan air menandakan pengantar pesanku datang. Apapun yang diusungnya dari mereka yang menantiku di sana membawaku hidup kembali. Kalau pesan-pesan itu bisa kusampaikan sendiri lewat terjun ke air demi sampai ke seberang. Itu pun kalau memang aku bisa tiba ke mereka dan bukan jadi bangkai lain yang terhanyut. Jadi, sampai kapan jarak ini memisahkan kami?

Sekali ini, aku menanti tanpa ujung. Menyaksikan pantulan cahaya bulan di permukaan air tanpa gejolak. Kadang kali ikan gobi muncul ke permukaan, lalu hilang. Air itu sangat tenang. Begitu hening tanpa ikan Barramudi. Kemana dia?

Aku menengok kepada Singa jantanku. Ia mengaum lemah sekali kemudian tertidur.

Kemana ikan Barramudiku?

 

Aku tidak tahu apa yang kutunggu selama berhari-hari. Walau begitu aku tetap melakukan seperti jantanku bilang. Aku mencari anak Rusa lalu meletakkan bangkainya di depan Singa betina yang lain.

“Aku tidak makan.” Akhirnya salah satu dari mereka bersuara. Sudah berapa hari aku tidak mendengarnya?

“Aku tidak tahu kenapa harus makan,” sela yang lain.

Tidak menyahut sinisme mereka, aku makan. Melakukannya di depan moncong mereka. Sebenarnya, aku juga tidak ingin. Perih hatiku mencegahku untuk makan. Benar saja, setelah menelan susah payah untuk yang kali ketiga aku menyerah. Dalam kerapuhan aku terseok-seok menjauhkan diri lalu kembali berbaring ke dekat permukaan air.

Yang membangunkanku adalah sentuhan sesuatu yang lembap. Begitu aku membuka mata, sebuah moncong basah mencuat dari air menyentuh kepalaku. Aku tidak salah lihat; ikan Barramudiku!

“Darimana saja –“

“Dengar, induk Singa. Berlarilah menyusuri sungai ini! Aku berenang terus hingga ke ujung. Kau bisa berkumpul kembali lagi dengan Singa jantan!”

Aku terpekik kaget. “Bagaimana bisa?”

“Retakan yang terisi air tidak memisahkan seluruh savanna, induk Singa!”

Tubuhku bangkit. Aku mengaung. “Kalau begitulah katakanlah hal itu pada Singa jantan!!”

Ikan Barramudi berpaling. Buru-buru menghempaskan siripnya menyeberangi sungai.

“Bangun!” Aku menggigit telinga yang lain. Aku mengangkat kakiku. Memukul-mukul udara. “Kau lihat Singa jantan di sana! Ia akan berlari hingga ujung sungai dan kita akan kembali berkumpul!!”

Mereka serentak melayangkan pandangan ke seberang sungai. Menunggu Singa jantan mendapatkan kabar. Irama detak jantungku menjadi tidak beraturan. Detik demi detik aku menunggu jantungku memompa lebih kencang. Dan begitu Singa jantan menatap balik kami, jantungku serasa mau meledak.

Ia mengaum. Singa jantanku mengaum! Setelah berulang-ulang matahari bertemu bulan bintang dan bertemu matahari lagi di cakrawala, aku akhirnya mendengarnya mengaum lagi. Usai itu, ia menggeram dan mulai berlari.

Ikuti tulisan menarik Sion Geva lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler