x

Iklan

Ira Oktiana

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 20 November 2021

Rabu, 8 Desember 2021 10:21 WIB

Membunuh dan Merampok Sang Raja

Bagaimana meruntuhkan sebuah tirani?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Malam ini, aku tengah dalam perjalanan ke istana untuk membunuh dan merampok Raja. Terdengar gila, tetapi itulah faktanya. Telah kutempuh segala sakit. Sakit yang tak bisa dilihat mata. Sakit yang tak perlu dirasa lagi. Sakit yang ingin segera kuakhiri. Takkan keluar aku dari istana sebelum melihat Raja menjadi bangkai.

 

“Saya, Perdana Menteri, dan para pembantu kami selalu fokus pada peningkatan kesejahteraan yang adil agar rakyat di seluruh pelosok negeri bisa merasakan manfaat pajak secara merata. Kita semua akan bergerak bersama, maju bersama, sejahtera bersama. Inilah janji yang pasti kami wujudkan.”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Pidato Raja di depan istana saat pelantikan tiga tahun yang lalu menggaung di kepalaku. Membakar dendam kesumat yang bertumpuk di dalam dada. Apa itu kesejahteraan yang adil merata? Yang kutahu, kami—para petani—telah menelan kepahitan berkali-kali. Alat bajak yang katanya diberikan cuma-cuma itu ditarik kembali oleh para pembantu Raja seminggu setelah kami gunakan. Pajak tanah meningkat. Harga jual hasil panen terjun bebas karena Raja membeli komoditas yang sama dari negeri tetangga dan menjualnya dengan harga murah kepada rakyat. Padahal hasil panen negeri ini berlimpah ruah. Cukup untuk kami semua. Akhirnya, banyak bahan pangan yang tertumpuk dan membusuk sia-sia di lumbung desa.

 

Raja juga mewajibkan kami membayar tinggi untuk pengobatan. Seluruh tabib wajib tunduk pada penetapan biaya yang diatur Raja. Dia juga memberlakukan pajak kesehatan bagi rakyat yang sehat. Katanya, ini untuk membantu saudara-saudara kami yang sakit.

 

Namun, dusta seakan-akan telah mendarah daging dalam diri para penguasa negeri. Ketika wabah penyakit melanda, Perdana Menteri mengatakan, “Obat-obatan dan para tabib sudah dipersiapkan dengan baik. Pajak kesehatan yang dibayar rakyat sudah kami gunakan untuk menangani wabah ini. Silakan berobat. Semua cuma-cuma. Rakyat tidak perlu khawatir. Semuanya terkendali. Jadi, kalau sampai ada orang yang bicara sebaliknya, dia bisa datang menemui saya. Biar nanti saya tunjukkan ke hidungnya bahwa situasi sekarang benar-benar terkendali.”

 

Menjijikkan. Mengingatnya, membuatku semakin kehilangan kewarasan. Wabah penyakit itu telah merenggut istri dan ketiga anakku sekaligus. Para tabib menolak mengobati mereka karena aku tidak punya cukup koin emas untuk membayar jasa dan obat-obatan. Kata mereka, bahan baku pembuatan obat telah mereka beli dengan harga mahal. Tidak ada yang cuma-cuma kecuali mimpiku sendiri.

 

Kalian mau tahu apa yang terjadi pada adik perempuanku satu-satunya? Dia mati bunuh diri di samping kuburan Ayah setelah diperkosa oleh salah seorang penggawa kerajaan.

 

Kehidupanku luluh lantak. Guyuran hujan terasa seperti setetes dua tetes air di tanah tandus. Langit tak mampu lagi meniupkan udara segar, dan butiran debu berubah menjadi belatung.

 

Luka menganga ini masih harus tercabik oleh kelakuan keji para pembantu Raja. Mereka mencaplok tanah-tanah rakyat—termasuk tanah tempat rumahku berada—dan mendirikan apa pun yang ingin mereka dirikan di sana.

 

Jika seseorang atau sekelompok kecil rakyat datang ke istana untuk meminta keadilan, maka Raja akan serta-merta menghibur dengan janji manis dan palsu soal penegakan hukum tanpa pandang bulu. Namun, jika kami datang dalam kelompok besar, maka Perdana Menteri-lah yang akan menemui kami. Sementara, Raja sendiri dikatakan sedang pergi untuk urusan yang lebih penting.

 

Rakyat hancur. Lumat raga, hati, dan nyawa. Belas kasih di antara kami perlahan redup. Orang-orang beringas merajalela. Mereka merampas harta benda orang-orang lemah yang tak seberapa itu demi kebutuhan hidup. Tak segan membunuh jika tak diberi. Batas-batas kesopanan pun kabur. Kami tak segan bertengkar, saling mencela, saling menghujat, saling menjatuhkan. Seolah-olah napas bengis para penguasa ini telah melahap rakus kedamaian di muka bumi.

 

Mungkin benar yang dikatakan orang bijak: bagaimana pemimpinnya, demikianlah rakyatnya. Ataukah ... sebaliknya?

 

Entahlah. Yang kutahu, kami merdeka tetapi terjajah. Bebas, tetapi terbelenggu. Terkadang kupikir, yang membuat negeri ini tidak pernah benar-benar lepas dari kezaliman penguasa adalah kebodohan kami sendiri. Mudah silau dengan apa yang tampak, gampang dibujuk dengan secuil harta, dan tidak mau belajar dari kesalahan. Kebodohan ini mengakar sejak zaman pemerintahan Raja I sampai Raja VII—raja yang sekarang berkuasa. Padahal beragam peristiwa bersejarah telah diceritakan dari mulut ke mulut oleh para pendahulu kami, tetapi tak jua kepintaran kami bertambah.

 

Kalian mau tahu salah satu kisah sejarah yang kudengar? Baiklah, sedikit saja. Ini tentang Raja I. Konon, Ibu Suri tidak bisa melahirkan keturunan, sehingga dipilihlah sosok yang dianggapnya paling mampu untuk memegang tampuk kepemimpinan. Calon Raja I itu sepertinya cocok. Dia gagah, berani, cerdas, pekerja keras, dari kalangan bangsawan. Namun, setelah lima tahun berkuasa, dia mulai mudah terpikat dan mabuk pada wanita-wanita cantik. Kas negeri terkuras demi kesenangannya hingga membuat rakyat gerah. Momen nahasnya adalah ketika Pemuda Pemberani melihatnya masuk ke pondok seorang wanita di desa. Pemuda Pemberani serta-merta mengumpulkan warga sekitar, mendobrak masuk, dan mendapati Raja I dan si wanita dalam keadaan tanpa busana. Raja diseret, dicemooh, dan dijadikan tontonan rakyat. Ibu Suri kemudian mengirimnya ke penjara bawah tanah. Setelah sekian hari menolak makan dan minum, Raja I pun mati. Pemuda Pemberani lantas dinobatkan menjadi raja oleh Ibu Suri, dan Raja I memperoleh julukan si Raja Lacur.

 

Tak berapa lama setelah itu, Ibu Suri meninggal dunia. Penyebab kematiannya misterius. Menurut kabar yang beredar, dia tersedak saat makan malam, tetapi kakekku menduga dia tewas akibat diracun. Dugaan ini bukannya tak beralasan. Sahabat Kakek—seorang tabib yang diundang makan malam bersama Ibu Suri—mengatakan pada Kakek bahwa mulut Ibu Suri mengeluarkan busa. Tentu saja, dia tidak menyebarkan cerita semacam ini kepada semua orang. Dia tutup mulut kecuali pada Kakek.

 

Setelah Ibu Suri wafat, muncullah jabatan perdana menteri. Yang menjabat adalah orang yang dulunya cuma penasihat Raja II. Raja II sendiri yang mengangkatnya menjadi perdana menteri. Sejak saat itu sampai sekarang, kedudukannya belum ada yang menggeser. Perdana Menteri tetap dia seorang. Dia ahli dalam berbagai bidang; pertanian, keamanan, perdagangan, sampai kelautan.

 

Ketika Perdana Menteri berkunjung ke desaku, aku sempat melihat segelintir orang datang ke pondok tempatnya tinggal sementara. Mereka adalah orang-orang yang paling populer di desa masing-masing.

 

Tak lama setelah pertemuan dengan Perdana Menteri, ada saja berita tentang calon raja atau raja yang disiarkan orang-orang populer itu kepada kami. Cerita remeh seperti Raja mencukur rambut, bermimpi, bercanda, dan seterusnya, semua seperti wajib diberitakan kepada rakyat.

 

Ketika Raja II tumbang dan tewas akibat keserakahannya—sehingga kami juluki si Raja Perampok, orang-orang populer ini menyebarkan berita yang menyilaukan tentang calon Raja III dan membagikan pangan dan koin-koin perak. Kautahu, kan, bagaimana jika harta dan kata sudah membuai manusia? Segala hal tentangnya jadi sangat indah, sangat tanpa cela, sangat nyata. Mungkin itu karena rakyat rindu sosok pemimpin yang adil dan bijaksana. Sayangnya, kami selalu menitipkan mimpi di pundak orang yang salah.

 

Kakiku berhenti. Gerbang istana hanya tinggal beberapa langkah di hadapan. Aku bisa melihat atap menara berbentuk kerucut, juga bendera yang terpancang di atas bangunan utama. Tembok batu mengelilingi halaman istana yang sangat luas dan penuh semak belukar, seakan-akan Raja dan para pendahulunya sengaja membangun kesan angker dan suram di sana.

 

Aku meneruskan langkah sambil menggenggam erat tas kulit berisi sebotol arak dari jenis paling keras, serta gelas-gelas indah dari campuran pasir kuarsa dan batu kapur. Penampilanku sempurna. Ini penting sebab penampilan mencerminkan kelas sosial. Jadi, aku tak segan menghabiskan seluruh sisa koin perak untuk membeli pakaian berbahan beludru dan katun terbaik supaya dianggap orang terpandang.

 

Ada dingin yang coba kulawan. Semakin mendekati istana, dingin itu semakin menyergap. Itu adalah ketakutanku sendiri. Ia seperti ampelas yang mengikis keberanianku. Jika sampai tertangkap, aku pasti digantung. Konsekuensi ini sudah kusadari sejak lama. Namun, pahlawan adalah seorang yang pantang menyerah, bukan? Aku harus mengupas ketakutan ini dari kulit, memutusnya dari syaraf, dan menempatkannya di bawah telapak kaki.

 

Dengan mantap, kuhampiri keempat pengawal yang terlihat sedang duduk di tanah sambil bersandar pada tembok batu di samping gerbang istana. Instingku mendeteksi keganjilan. Biasanya mereka berdiri atau duduk tegak dan waspada, tetapi sekarang semua tampak begitu mengantuk.

 

Kuabaikan insting tersebut. Sesuai rencana, aku mengatakan, “Selamat malam, para pengawal yang terhormat. Aku seorang saudagar. Aku baru saja menyempurnakan racikan arak untuk kujual besok. Menurutku belum ada minuman lain yang seenak ini, tetapi aku ingin mendengar pendapat orang-orang berkelas seperti kalian. Maukah kalian mencicipinya?”

 

Mereka hanya menggumam tak jelas. Akan tetapi, tak ada satu pun yang menolak gelas-gelas yang kusodorkan, meski tangan mereka seperti tak bertenaga. Setelah menenggak habis minuman yang kutuang, mereka pun rebah ke tanah.

 

Aku melewati gerbang dengan mudah. Sesampainya di depan pintu bangunan utama, dua pengawal tampak tertidur pulas. Aku jadi semakin leluasa. Rasanya seperti diberkati Tuhan. Angin yang tadinya dingin sontak berubah hangat. Seakan-akan semesta tengah mendekapku erat.

 

Aku belum pernah memasuki istana, tetapi dari mulut ke mulut aku tahu bahwa kamar tidur Raja ada di sayap kanan bangunan utama.  Sambil menengok ke segala arah, aku melangkah cepat menyusuri beberapa koridor, melewati lukisan mendiang para raja yang tergantung di dinding, juga perabotan-perabotan mewah yang sedap dipandang mata.

 

Kakiku berhenti di depan pintu besar berwarna cokelat dengan ukiran berbentuk mahkota raja. Pastilah ini kamar Raja VII. Tanpa ragu, aku mendorong pintu.

 

Tampak olehku, Raja duduk mematung di tepi ranjang. Sendirian. Pancaran redup dalam matanya membangkitkan sebuah keasingan. Dia seperti bukan Raja VII. Mata Raja VII memiliki sorot ambisius, sok kuasa, tipu daya, dan kekosongan. Namun, bukan kekosongan soal semangat hidup, melainkan kekosongan isi kepalanya. Aku bersumpah, dia takkan bisa melakukan hal-hal besar tanpa bantuan pemikiran jongos-jongos di sekelilingnya.

 

Sekarang, aku dapat merasakan keletihan, ketidakberdayaan, dan keputusasaan dari netra Raja.

 

Ketika melihat pisau di tanganku, dia berkata, “Apakah kau kemari untuk melenyapkanku?”

 

“Ya, karena kaulah yang menghancurkan keluargaku dan membawa kesengsaraan bagi rakyat. Aku takkan pergi sebelum kau mati. Akan tetapi, katakan dulu di mana kausimpan emas-emasmu! Akan kugunakan semua itu untuk membangun kekuatan melawan kalian!”

 

Raja kemudian mengucapkan ocehan panjang lebar dan tak masuk akal yang menurutku sekadar bualan. Sekadar mekanisme kambing hitam yang dijalankan saat manusia terpojok karena kesalahannya sendiri.

 

“Terserah. Aku tidak peduli,”sahutku cepat. “Aku hanya mau harta dan nyawamu.” Kutekan ujung pisau ke leher Raja. “Katakan, di mana—“

 

“Tak ada apa pun yang berharga di sini selain perabotan berat yang pasti sulit kauangkat sendiri.”

 

“Bohong!” Amarah naik ke ubun-ubunku. “Jika bangsawan saja menyimpan perhiasan, tak mungkin seorang raja—“

 

“Apa kau mau mati? Sadarlah. Membunuhku bukanlah jalan keluar.”

 

“Siapa yang sudi mendengar nasihat raja kejam sepertimu?” Aku menggeram.

 

“Kautahu?” Raja mengirimiku tatapan yang tak kumengerti. “Kau masih punya kesempatan. Hidup masih bisa kaumenangkan. Kau orang baik. Tak pantas kau kotori tanganmu dengan—“

 

Aku muak mendengarnya bicara. Kuhantam wajah dan tubuhnya berkali-kali sampai dia tak berkutik lagi. Emas-emas itu harus kutemukan dulu. Kalau tidak kutemukan, dia bisa kusiksa lagi nanti sampai mengaku.

 

Tak membuang waktu, aku membuka peti dan lemari di kamar ini. Mengeluarkan seluruh isinya sampai berserakan. Menit demi menit beranjak pergi. Masih tak kutemukan yang kucari. Bulatan-bulatan keringat dingin kini membasahi tubuhku.

 

Tiba-tiba derap langkah beberapa pasang kaki terdengar mendekat.

 

Tidak, aku tidak boleh pergi! Aku harus dapatkan hartaku dulu! Ini satu-satunya kesempatan!

 

Sayangnya, kesempatan itu tak ada. Di ambang pintu, berdiri sosok Perdana Menteri dan dua pengawalnya. Senyuman bengisnya begitu membekukan.

 

Sontak kalimat Raja beberapa menit yang lalu mengiang di kepalaku. Kalimat yang tadinya kukira hanya bualan. Kalimat yang kupikir cuma wujud mekanisme kambing hitam.“Perdana Menteri baru saja mengatur siasat untuk menjatuhkanku secara terhina di depan rakyat. Aku tak sengaja mendengar perkataannya. Entah siasat macam apa yang dia susun, tetapi aku tahu dia takkan membiarkanku hidup setelahnya. Begitulah yang terjadi pada raja-raja sebelumku. Malam ini, diam-diam, para pengawal kuberi obat tidur agar istri dan anakku bisa lari sampai ke negeri seberang sebelum fajar tiba. Kuharap Perdana Menteri cukup puas dengan membunuhku saja dan membiarkan keluargaku tetap hidup. Sekarang, mengetahui ada orang lain di sini yang berniat membunuhku, aku sedikit lega. Rasanya lebih terhormat jika aku mati di tanganmu. Takkan ada yang menggelariku dengan sebutan hina, karena kematianku disebabkan oleh seorang pria kalap, bukannya oleh perilaku busukku.

 

Sedetik kemudian kelebatan cerita-cerita Kakek mengalir dalam ingatanku. Aku mengerti. Ah, sungguh mengerti. Perdana Menteri-lah yang selama ini memilih dan menjual citra diri para calon raja. Dialah raja sesungguhnya. Raja terpandai. Raja terlicik. Raja dibalik raja. Para raja resmi itu digerakkan oleh kekuatan besar yang selama ini ada di belakang layar. Mereka cuma raja boneka.

 

Sekarang, bisa kubayangkan skenario mengerikan macam apa yang akan dikatakan Perdana Menteri kepada rakyat. Raja VII pasti akan dibunuhnya, lalu aku dieksekusi sebagai si pembunuh. Aku mati. Mati sebelum membunuh raja yang sesungguhnya.

 

Ikuti tulisan menarik Ira Oktiana lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler