x

Iklan

Boki Nukila

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 7 Desember 2021

Rabu, 8 Desember 2021 10:38 WIB

Cara-cara Mati dalam Doa

Cerpen ini ditulis berdasarkan cerita dari saksi pembantaian di Pulau Obi, Halmahera Selatan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

CARA-CARA MATI DALAM DOA

            “Batres,” Sander memanggil lirih sebelum memindahkan guling lusuh ke sisi timur anak semata wayangnya.

            “Ya, Amah.”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

            “Kau sudah berdoa?”

            “Sudah, sebelum Amah tadi.”

            “Ceritakan apa yang kau doakan tadi, Nak.”

            “Doa yang Tete[1] ajarkan dulu. Meminta kebahagiaan, kesejahteraan, dan ampunan dosa dari Tuhan Yesus dan Bunda Maria.”

            Sander sontak memeluk anaknya dan mengangguk pelan.

            “Selain hal-hal lumrah itu, kau juga harus berdoa tentang kematian.”

            Batres dan Sander adalah potret malang yang bertahan hidup di tengah kemiskinan Kampung Baru di Pulau Obi. Setelah kepala keluarga mereka meninggal karena serangan jantung dua tahun lalu, Sander giat melakukan apa saja untuk memenuhi perut mungil anaknya. Apa saja.

            Batres memandang ibunya lamat-lamat. Momen Ketika ayahnya ditemukan tak bernyawa adalah momen paling abstrak untuk balita. Namun, selama dua tahun berturut-turut, Sander mencoba untuk menerangkan pada Batres bahwa ayahnya telah meninggal. Jasadnya masih ada di dalam peti, dikuburkan menumpang di pemakaman keluarga Sahule, karena mereka terlalu miskin untuk membeli lahan makam. Namun, jiwanya telah pulang ke rumah Bapa di surga. Rumah yang suatu hari nanti akan dia dan Batres kunjungi, bisa bersama, bisa terpisah.

            Konsep kematian yang Sander berusaha sampaikan lambat laun mulai dipahami Batres. Bocah laki-laki berkulit legam itu mulai bisa menerima bahwa segala sesuatu yang bernyawa di sekelilingnya suatu saat akan menumpang tidur di lahan keluarga Sahule. Cepat atau lambat.

            Sander melanjutkan. “Berdoa, minta pada Tuhan agar kita dipanggil dengan tenang dan dalam keadaan mengingat-Nya.”

            Malam di Kampung Baru terlalu suram untuk digambarkan, terlalu sepi untuk didengarkan. Rumah papan Sander yang terletak di simpang jalan menuju pasar makin menambah aura pilu. Rumah kecil dengan satu penerang lampu sumbu di ruang tengah. Tanpa gorden, tanpa bunga di pekarangan depan. Hanya rumput ilalang yang makin hari makin menutup jalan setapak kecil menuju teras rumah. Di belakang rumah ada pohon durian besar yang tak pernah berbuah sekali pun.

***

            Sudah tiga hari belakangan ini Sander mengajak Batres menceritakan isi doa mereka sebelum tidur. Dalam kegelapan yang pekat dan dingin angin dari pohon durian, sepasang anak dan ibu berbagi cerita tentang cara-cara mati paling mengasyikkan.

            Hari keempat Batres kembali meminta hal-hal lumrah dalam doanya. Sander tidak marah, dia memaklumi. Karena mendiang suaminya sempat mengajarkan keseimbangan doa pada anak mereka.

            “Tadi saya berdoa agar kita berdua kalau mati nanti tidak lagi menumpang di pemakaman keluarga Sahule. Di mana saja, tidak apa-apa. Di hutan, di dasar laut, di alam bebas, semua tidak masalah. Asalkan tidak menumpang.”

            Batres termenung lama. “Tapi Abah di sana, Amah.”

            Semua orang di Kampung Baru sudah tahu, jenazah suami Sander akan dibuang ke laut bila anggota keluarga Sahule ada yang meninggal dalam waktu dekat. Sander pun tahu akan hal itu ketika menerima tawaran Maria Sahule dua tahun lalu. Di belahan dunia mana pun, tidak ada yang gratis selamanya.

            “Ya, tapi tidak akan lama.”

            Batres tentu saja tidak mengerti perkataan ibunya. Tapi dia enggan bertanya, lebih karena dia yakin suatu saat nanti Sander akan menerangkan padanya. Sama seperti ketika wanita berumur tiga puluh tahun itu berusaha menyampaikan konsep kematian sesaat setelah dia kehilangan pasangannya.

            “Saya ingin kita berdua mati tidak dalam waktu yang bersamaan, Nak,” Sander melanjutkan.

            “Siapa yang lebih dulu?”

            “Yang paling siap.”

            Suara jangkrik dan gesekkan batang bambu di timur jalan mengiringi harapan-harapan khusuk Sander dan Batres. Ketika malam makin larut, ibu dan anak itu makin lelap memeluk harapan mereka. Bisa jadi salah satu doa mereka terkabulkan besok hari. Bisa jadi doa yang terkabulkan adalah kematian.            

***

            Satu minggu setelah ritual berbagi doa mereka lakukan, sebuah berita naas mampir ke Kampung Baru. Awalnya Sander hanya menanggapi desas-desus itu sebagai angin lalu. Ketika berbelanja ke pasar bersama Batres, Maria Sahule menyapanya dari balik payung merah PDI.

            “Sander. Sudah kau dengar berita perang dari Ambon?” tanyanya serius.

            Sander mengangguk. “Betul itu?”

            Maria Sahule menyandarkan payung ke bahu kirinya mendengar pertanyaan Sander. “Demi Bunda Maria, Sander! Semua orang sudah bergegas berangkat meninggalkan Kampung Baru. Pasar pun sepi hari ini. Cepat kemasi barang-barangmu dan bawa Batres berlindung. Kalian sudah tidak punya apa-apa lagi, selain diri masing-masing. Berangkatlah malam ini. Jangan tunggu besok.”

            Batres menggenggam erat tangan ibunya.

            Tahun 1999 memang tahun penuh kejutan bagi Kampung Baru. Setelah hampir 10 bulan musim kemarau, hujan deras akhirnya jatuh perdana di akhir September. Panen sayur-mayur gagal total. Cengkeh dan pala tidak semelimpah dua tahun belakangan. Bahkan sumur-sumur tua mulai kekeringan di beberapa tempat. Tapi Tuhan memberikan berkah di saat yang tepat, Ketika umat-umat-Nya telah melatih kesabaran.

            Sander menarik tangan Batres dan bergegas pulang, meski masih ada dua kebutuhan yang belum dibeli. Langit hari itu mendung pekat. Debu di jalanan kampung berterbangan ke mana-mana. Sander tahu tidak baik mengedepankan firasat, tapi dia yakin hari itu akan ada kejadian naas.

            Benar saja. Lima menit setelah mereka tiba di rumah, hujan dan petir menyambar. Listrik yang hanya mengalir di beberapa rumah saja juga padam tiba-tiba. Gelombang laut mulai meninggi, semua nelayan terpaksa berlabuh walau belum ada satu tangkapan yang menguntungkan.

            Lampu sumbu tak bisa menyala karena kehabisan minyak tanah. Sander sudah tidak memiliki uang lebih untuk membeli satu liter minyak tanah seharga lima ribu perak. Dengan lima ribu mereka bisa bertahan dengan memakan sayur kangkung dan singkong rebus selama lima hari berturut-turut. Hari itu, ibu dan anak paling malang di Kampung Baru melewati malam tanpa cahaya sedikit pun.

            Mereka duduk di dipan dapur, mendengar suara babi hutan di belakang pohon durian. Mendengar rintik hujan menghantam atap mereka, makin lama makin kencang. Ketika azan Isya berkumandang dari jauh, mereka bergegas ke ruang tengah. Menghadap ukiran Yesus Kristus, satu-satunya barang berharga dan berwarna di rumah serba abu-abu itu.

            Batres duduk bersila, mengatupkan tangannya, dan mulai merapal doa dalam diam. Sedangkan Sander duduk bertumpu pada lipatan kakinya, mendekatkan katupan tangannya di depan hidungnya agar bisa mendapatkan udara hangat dari napasnya. Mereka berdoa sedikit lama malam itu. Cukup lama untuk menyusun dua skenario terbaik untuk mati.

            “Apa yang kau doakan tadi, Batres?”

            “Tentang mati, Amah.”

            “Kau minta apa pada Tuhan Allah?”

            Batres diam sejenak. Sander tahu anaknya sudah bisa merasakan ketakutan dan ketegangan sejak dari pasar. Orang-orang mulai bergegas meninggalkan Kampung Baru, seperti kata Maria Sahule, desas-desus bahwa orang Islam akan membantai semua orang Kristen di Kampung Baru bukanlah tipuan. Mereka sedang dalam perjalanan dari Bacan dengan kapal besar.

            “Saya minta agar kita jangan dulu menyusul Abah dalam waktu dekat.”

            Kini Sander yang terdiam. Doanya sungguh berbeda dengan Batres. Sambil merasakan udara hangat dari napasnya, Sander meminta pada Yesus dengan khidmat. Bila nanti dalam perjalanan mereka melarikan diri, ada yang harus mati, maka segerakanlah. Tanpa sakit, tanpa rintih, hanya tenang dan damai yang dirasakan.

            Ketika mereka meraba-raba kembali ke kamar, orang-orang berteriak di jalan setapak. Hujan deras dan petir seakaan tertantang untuk terus mengeraskan suara. Tak ada yang bisa mengalahkan rasa peduli-lindungi seorang ibu, bahkan ketika dirinya sendiri sedang terancam dan ketakutan. Batres berlindung di balik rangkulan Sander. Mereka diam dalam kalut, diam dalam takut. Setiap teriakan dan suara petir yang mereka dengar seakan memperdek jarak mereka dengan kematian. Batres tidak akan pernah tahu apa yang didoakan Amahnya tadi. Tapi dia percaya, apa pun yang dipanjatkan Sander, itulah yang dibimbing Tuhan dalam alkitab.

            Seseorang menangis tepat di depan rumah mereka. Raungannya makin menjadi-jadi ketika suara gebukkan mengikuti dari belakang. Sander tidak punya nyali untuk melangkah ke pintu depan dan memastikan bahwa tidak ada peristiwa bunuh-membunuh yang sudah ia bayangkan sejak pulang dari pasar. Tapi, makin lama suara raungan makin panjang dan pilu. Mau tak mau, Sander harus menuntun Batres ke pintu depan. Dari balik jendela kayu dengan gorden kusam, mereka menyaksikan Maria mengangkang di tanah. Entah apa yang terjadi, tetap orang-orang berusaha membantunya berdiri. Dalam gelap, tak ada yang tahu mana tanah mana tahi.

            Sander membuka pintu dan berterika.

            “Maria! Demi darah Yesus! Apa yang terjadi?”

            Tak ada yang menyangka, Sander janda malang yang miskin masih bertahan di dalam rumah. Mereka membantu Maria duduk di teras rumah, dengan bantuan lampu pelita milik Ramos, Sander terkejut melihat apa yang terjadi di selangkangan Maria. Orang-orang yang sedari tadi membantu Maria untuk berdiri pun sama terkejutnya. Batres, saksi yang paling muda, berusaha memahami dari mana datangnya aliran darah di alat kelamin perempuan itu.

            “Sudah kubilang pada orang-orang yang lewat! Tapi tidak ada yang percaya. Pasukan putih sedang menuju ke sini, dengan kapal dari Sultan, mereka datang membawa parang. Ini buktinya!” Maria makin meraung, menunjuk vaginanya yang sobek dan bersimbah darah.

            Tidak ada yang tahu dari mana mitos ini berangkat. Para tetuah bilang bila ada bencana yang akan menimpa Kampung Baru, maka akan ada babi yang membuat onar. 10 tahun lalu, kejadian yang sama sempat terekam. Babi peliharaan Bapak RT sempat mengamuk sebelum akhirnya menggigit selangkangan Ustazah Maryam. Dua hari setelah insiden itu, hampir semua muslim dibantai karena perpindahan tahta kesultanan Bacan.

            “Batres, ambilkan handuk di lemari,” Sander berkata dengan getir. Batres melesat ke dalam rumah dan keluar dengan handuk kecil di tangannya. Wajahnya masih tegang dan penuh rasa penasaran. Bagaimana bisa babi menggigit kelamin seorang wanita?

            Hujan mulai reda, meski angin masih saja kencang. Orang-orang mulai keluar ke jalanan untuk memastikan tidak ada korban. Lalu mereka berkerumun di teras rumah Sander. Mendengarkan cerita Maria yang sudah mulai tenang. Entah apa yang menarik dari cerita Maria, hampir seluruh warga Kampung Baru tidak beranjak meski keadaan masih begitu tegang. Maria tidak keberatan mengulangi ceritanya bila ada warga yang baru bergabung. Setiap pengulangan memunculkan detail baru yang sempat terlewat, dan orang-orang makin antusias. Di pengulangan ke sepuluh, semua orang dikagetkan dengan cahaya obor dari arah laut.

            Puluhan orang dengan ikat kepala putih datang menyerbu dan menebas siapa pun yang berhadapan. Satu per satu tumbang dengan kepala putus di pekarangan Sander. Termasuk Maria yang duduk di antara para mayat. Kepalanya tergeletak di antara kaki kursi bambu, bersebelahan dengan kepala Sander yang tengkurap. Tidak jauh dari pintu depan, tubuh Batres tergeletak ditindih mayat Ramos. Kepala mereka menutupi tangga menuju pekarangan.

            Malam itu, Yesus tidak hanya mengabulkan doa untuk Sander dan Batres, tapi untuk setiap orang yang datang mendengarkan pengakuan Maria Sahule.

           

Jejak Imaji, 2021

 

 

[1] Kakek

Ikuti tulisan menarik Boki Nukila lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler