x

Gambar oleh jodeng dari Pixabay

Iklan

Intan Heryani

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 8 Desember 2021

Rabu, 8 Desember 2021 19:40 WIB

Mentari dari Desa


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mentari senja menemani Dizwhar dan kerbau kesayangannya menyusuri dinginnya gemercik air sungai.

“Di, main yuk!” ujar Aris yang baru keluar dari warung.

“Makasih Ris, aku mau ngaji dulu.” Sahut anak lelaki berhidung mancung itu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dizhwar sangat dikenal sebagai anak yang baik di desanya. Ia anak pertama dari sepuluh bersaudara. Ibu dan bapaknya bekerja sebagai petani dilereng gunung di Provinsi Sumatera. Kesehariannya dihabiskan untuk belajar dan membantu kedua orang tuanya. Mulai dari menggembala, membantu bertani hingga pekerjaan rumah lainnya. Meski ia seorang anak laki-laki, ia tak segan membantu mengerjakan pekerjaan rumah.

Hari ini pengumuman kelulusan sekolah dasar, Dizhwar tak pernah menyangka sebelumnya, dari 30 siswa yang bersekolah di desanya hanya dua yang dapat melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah pertama. Namanya menjadi salah satu dari dua anak tersebut. Didi begitu ia acap disapa. Didi yang gembira berlari hingga sampai di pintu rumah dan bersorak.

“Mak, Pak. Didi lulus, Alhamdulillah Didi lulus.” Soraknya

“Kamu kenapa Di?” Tanya ibunya yang sedang memotong bawang

“Ini bu, ini.” Seraya menyodorkan secarcik kertas.

“Alhamdulillah ya Allah, ibu bangga padamu Di.” menenggelamkan Didi dalam pelukannya.

Sebagai rasa syukur atas keberhasilannya, ibu Didi menghadiahkannya sebuah peci putih, agar kelak Didi menjadi manusia yang berakal dan berakhlak baik. Sejak saat itu anak lelaki berkulit putih dengan mata sedikit sipit itu semakin giat belajar dan mengaji. Waktu yang ia lalui tak pernah terbuang sia-sia. Kini ia sudah menjadi remaja tanggung yang sudah banyak memahami ilmu pengetahuan, agama bahkan beladiri. Beladiri merupakan salah satu hal terpenting yang harus dimiliki pemuda di daerahnya jika ingin merantau.

Didi mendedikasikan ilmunya dengan mengumpulkan anak-anak yang tidak suka belajar lalu mengajaknya bermain bola atau berlatih beladiri. Sekitar sebulan lamanya rutinitas itu ia lakukan, namun kini ia tak mau melatih mereka jika mereka tidak ingin belajar. Hingga akhirnya anak-anak yang malas belajar di desanya kini sudah bersemangat kembali. Jika ditanya oleh temannya apa tujuan hidupnya? Didi hanya menjawab ingin bermanfaat.

Perjalanan hidup Didi yang tak mudah, menjadikannya seseorang yang kuat. Tekadnya ingin merantau diusia 18 tahun tak dapat ditahan oleh siapapun termasuk orang tuanya. Ia memutuskan untuk mencari masa depan ke kota dipulau seberang. Keberangkatannya dilepas dengan air mata haru kedua orangtuanya. Anak kebanggaan mereka kini harus pergi meninggalkan mereka. Kepergian Didi diiringi doa kesuksesan dari kedua surganya.

Kehidupannya di kota tak seindah yang dibayangkan oleh kebanyakan orang. Bermodalkan tekad yang kuat dan ilmu, ia bertahan hidup menjadi kernet angkot hingga tukang cuci piring di warteg. Biaya sekolah yang dikirim orangtuanya hanyacukup untuk keperluan sekolahnya, meski demikian ia tak pernah mengeluh. Sebab sejak kakinya menginjakkan pulau ini ia berjanji dalam hati.

“Aku tidak akan menginjakkan kaki di Sumatera sebelum aku sukses.” Begitu ucapnya dalam hati.

Waktu berlalu ia pun sudah menyelesaikan pendidikan menengah kejuruannya di sekolah kelistrikan. Tak butuh waktu lama ia kini sudah bekerja di perusahaan milik negara yang bergerak dibidang kelistrikan. Tepat dihari kamis, seleksi pegawai kenegaraan dibuka. Teman seusianya membeli formulir sebagai salah satu syarat mengikuti kepegawaian tersebut. Didi membuka dompetnya, ia hanya menemukan uang pecahan dua ribu rupiah. Didi hanya tersenyum dan menemani Mas Kiki membeli formulir dan mengantarkan formulir yang telah diisi pada panitia.

“Di, kamu nggak mau coba?” Tanya Mas Kiki padanya

“Eum aku.. eum..” Didi bergumam ragu

“Ini aku punya satu formulir lagi, tadi aku beli dua. Nah buat kamu, coba aja siapa tau rejeki” Mas Kiki mengulurkan selembar kertas.

Dengan ragu-ragu Didi mengambil dan mengisinya.

“Nah, nanti dihari tes kita naik sepeda berdua ya. Aku boncengin deh kamu.” Ujar Mas Kiki.

Beberapa hari menjelang  tes mereka melihat pengumuman di kantor kepala pemerintahan dan ternyata lokasi tes Mas Kiki dan Didi tidak sama. Hari yang ditunggupun tiba, Mas Kiki menggayuh sepedanya menuju SMK Pertiwi sedangkan Didi berjalan menuju SMA Kartika. Jarak yang lumayan jauh untuk berjalan kaki.

“Ya Allah ya Tuhanku, berikanlah rejeki ini pada hambamu ini.” Ujarnya dalam hati

Sepanjang perjalanan ia menyebutkan itu dalam hatinya tanpa henti. Pagi itu ramai becak dayung dan sepeda yang berlalu lalang, hanya Didi peserta yang berjalan kaki. Tes berlangsung dan Didi sangat fokus menjawab setiap soal yang ada dihadapannya. Tes pertama berakhir, semua peserta beranjak dari ruangan. Peserta menyesakkan kantin yang ada, hanya Didi yang duduk disudut sekolah itu sambil terus berdoa. Perutnya berbunyi namun ia tahan dengan menelan air liur, bukannya tak lapar namun Didi tak punya uang untuk berbelanja.

Tes kedua segera dimulai. Kelas kembali penuh dengan para peserta, Didi terus berdoa dan berharap Allah memberikannya kesempatan untuk pekerjaan ini. Semua seleksi telah diikutinya, kini hanya menunggu hasil dari semua jerih payahnya. Sambil menunggu pengumuman kelulusan Didi melanjutkan aktivitasnya sebagai pekerja dan meluangkan waktunya menjadi guru yang tak dibayar untuk anak putus sekolah dilingkungannya.

Didi yang rendah hati, senang menolong dan ramah. Begitu ia dikenal oleh orang sekitarnya. Pengumuman seleksi pegawai kenegaraan telah tiba, Mas Kiki dan Didi memandangi setiap nomor ujian yang tertera dikoran tersebut. Sayangnya nomor ujian Mas Kiki tidak ada, bahkan nomor Didi terpampang disana. Didi senang nomor ujiannya ada namun sedih nomor ujian mas Kiki tidak tercantum. Begitulah rejeki tak ada yang dapat menebak.

Mas Kiki yang kecewa memutuskan pergi dari pulau itu dan tetap berteman baik dengan Didi. Didi pun kini menjadi pegawai kenegaraan yang sah, menjalankan tugas dengan baik. Ia langsung mengirimkan surat untuk Mak dan Bapaknya di kampung. Gaji yang diperolehnya selalu dikirimkan untuk Mak dan Bapaknya serta dicicil untuk membangun rumah. Rumah sederhana miliknya kini dijadikan sebagai pusat belajar bagi anak-anak yang putus sekolah dan anak yang tidak memiliki biaya untuk sekolah. Keberuntungan membanjirinya hingga dirinya mampu mendirikan rumah singgah yang sangat membantu banyak orang. Tak jarang dari siswa yang bersekolah disana kini sudah menjadi orang-orang yang sukses. Kedua orang tuanya diberangkatkan haji pada tahun selanjutnya.

Keberhasilannya dirantau membanggakan orang tuanya, keluarganya, dan warga desanya. Siapapun yang meminta bantuannya tak pernah ditolak, ia selalu membantu sebisanya. Kini Didi menjadi orang sukses diperantauan.

Ikuti tulisan menarik Intan Heryani lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler