x

Foto oleh kissearth dari Pixabay.com

Iklan

Shanti Cahyanti Dewi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 7 Desember 2021

Rabu, 8 Desember 2021 21:11 WIB

Antara Aku, Mereka, dan Sungai Air Hitam

Cerita sederhana yang berkisah tentang kegelisahan Rifa, seorang mahasiswi teknik lingkungan pada profesi ayahnya yang seorang pekerja tambang. Kegelisahannya akhirnya terjawab, seiring dengan perjalanannya menuju lokasi pertambangan tempat ayahnya bekerja, yang mampu membuat Rifa melihat sisi lain dari wilayah sekitar lingkar tambang dan profesi pekerja tambang.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Udara musim penghujan kota Bandung yang sejuk, sanggup mengeringkan keringatku yang tadi mengucur deras seusai berlari mengitari lapangan Gasibu pagi ini. Lumayanlah untuk runner pemula, sepuluh keliling lapangan cukup untuk membakar  kalori yang tercipta berkat dinner all u can eat tadi malam.

Hampir satu jam aku absen membuka pesan whatsapp. Dan bunyi pesan terbaru ternyata datang dari Papa.

“Rifa, tolong temani teman-teman Papa ya, mereka guru dan siswa-siswi SMK yang sedang praktek di Herbarium kampusmu”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Begitulah Papaku. Beliau memang seringkali bersikap formil padaku. Namun aku tetap merasa nyaman dengannya. Apalagi sejak memasuki bangku SMP, aku dan mama hanya bertemu beliau satu minggu dalam sebulan. Kerinduanku padanya  mengalahkan segala ego yang terbangun diantara kami berdua. Apalagi kesabaran beliau yang menenangkan, membuat sosok Papa begitu ‘ngangeni’.

Sudah 10 tahun Papa bekerja di perusahaan pertambangan batubara di daerah Nunukan, Kalimantan Utara. Karena lokasi pertambangan yang sangat jauh, aku dan mama belum pernah sekalipun berkunjung ke lokasi tempat papa bekerja.

Aku sendiri merupakan mahasiswi tingkat akhir program studi teknik lingkungan di kampus bersimbol gajah Ganesha di Bandung. Dan semakin aku mendalami ilmu di kampusku, semakin hatiku gelisah dengan pekerjaan Papa di perusahaan tambang batubara. Itu semua karena aku telah mempelajari apa itu risk assessment, health risk assessment, juga ecological risk assessment. Masalah pengrusakan hutan, juga pencemaran lingkungan akibat limbah berat. Pokoknya semua resiko lingkungan dari ladang pekerjaan Papaku, telah kupelajari.

Namun ada satu yang sedikit melegakan hatiku. Sejak awal berkarir di perusahaan tambang batubara, Papa selalu menangani permasalahan lingkungan dan CSR (Community Social Responsibility), sehingga aku mengetahui permasalahan yang berkaitan dengan lingkungan dan masyarakat dari Papa, akibatnya semakin sering Papa menceritakan tentang tantangan pekerjaan yang dihadapinya, semakin sering pula kami berdiskusi, bahkan beradu argumentasi.

 

***

 

Pagi ini, tanpa sempat sarapan seperti biasanya, aku segera tancap gas menuju Herbarium Bandungense yang terletak di Kampus ITB Jatinangor, Sumedang. Setelah menghubungi via whatsapp, akhirnya aku bertemu dengan Pak Rayhan, ketua rombongan sekaligus guru biologi pertanian siswa-siswi SMK dari desa Tabur Lestari, Kabupaten Nunukan, yang dititipkan papa padaku untuk diajak jalan-jalan berkeliling Bandung.

“Kalau tidak keberatan, kami ingin mengunjungi Taman Hutan Rakyat atau Tahura mbak Rifa” ucap pak Rayhan sopan.

“Ok pak, pasti adik-adik nanti akan menikmati suasananya, sejuk, menenangkan” ujarku berpromosi.

Hampir dua jam kami berlima mengelilingi Tahura. Suasana diantara kami juga semakin akrab dan hangat. Pak Rayhan, Adinda, Syifa dan Abrar. Ternyata mereka adalah siswa siswi berprestasi yang seringkali menyabet penghargaan sebagai siswa siswi teladan di Kalimantan Utara. Sungguh perjuangan yang luar biasa, mengingat mereka adalah anak-anak yang tinggal di perbatasan terluar negeri ini, perbatasan antara Indonesia dan Malaysia.

Ternyata misi yang diberikan papa padaku sungguh menyenangkan. Bahkan sisa waktu mereka yang tinggal satu minggu berada di Bandung, akan kami pergunakan untuk mengunjungi Lembang dan Ciwidey di akhir pekan, sehingga aku berharap dapat memberikan kenangan terindah bagi mereka yang akan kembali pulang Senin depan.

 

***

 

“Alhamdulillah… upaya sekolah kami untuk mengimbangi hutan sawit dengan kebun sayur dan buah demi memenuhi pasokan pangan warga setempat semakin memperlihatkan hasil yang menggembirakan” kisah Pak Rayhan, sarjana pertanian yang usianya hanya terpaut satu tahun denganku dan sejak lulus kuliah langsung mengabdi menjadi guru di Kalimantan Utara itu, cukup membuatku penasaran.

“Jadi setelah lulus kuliah, pak Rayhan langsung merantau ke desa Tabur Lestari ?” tanyaku antusias setelah mendengar kisah awal mula dirinya menjadi guru di wilayah perbatasan Indonesia Malaysia.

Satu persatu diantara kami berlima mulai berkisah tentang diri masing-masing. Berlatar sejuknya hijau kebun teh Malabar di Ciwidey,  membuat kami lebih mudah untuk saling membuka diri, berbagi pengalaman dan cita-cita yang perlahan mulai kami wujudkan satu persatu.

Hingga diakhir kisahku tentang harapan dan cita-cita yang ingin kuraih, aku memohon satu permintaan kepada pak Rayhan, Ananda, Syifa dan Abrar.

“Dengan segala kerendahan hatiku, aku memohon maaf kepada pak Rayhan, Ananda, Syifa dan Abrar, bila perusahaan tempat ayahku bekerja sampai merusak lingkungan hutan kalian, atau tidak peduli akan kesejahteraan desa di lingkar tambang” ucapku sedikit terbata. Ingatanku melayang pada satu kisah demo warga setempat yang memboikot alat berat milik perusahaan tambang, karena kecewa mereka yang terlampau berat, ditambah kerusakan alam yang ditimbulkannya. Apakah sejahat itu yang telah dilakukan perusahaan tempat Papa bekerja ?

“Mbak Rifa jangan terlalu berpikir negatif tentang perusahaan tempat pak Darma, Papa nya mbak Rifa bekerja dan mengabdi. Kalau nanti sempat, kami tunggu kunjungan balasan mbak Rifa ke desa kami” ajak pak Rayhan yang disambut anggukan antusias siswa-siswi nya yang sekarang otomatis menjadi sahabat baruku.

“Mbak Rifa harus mengunjungi Sungai Air Hitam, tapi jangan salah.. bukan berarti disebut air hitam itu karena tercemar limbah, itu nama tempat indah yang belum banyak terjamah orang karena letaknya di tengah hutan” ujar Abrar balik berpromosi.

 

***

Tak banyak informasi yang kudapatkan dari perjalananku keluar pulau Jawa kali ini. Pertama, karena aku belum pernah mengunjungi pulau Kalimantan, kedua, karena aku tidak memberi tahu Papa tentang kepergianku padanya. Ibaratnya ini adalah misi rahasiaku sekaligus kejutan untuk Papa. Satu lagi, surprise kedatanganku pun berlaku bagi pak Rayhan dan sahabat-sahabat ABG ku. Aku tak mau terlalu merepotkan mereka dengan kedatanganku.

Sesampainya di kota Tarakan, aku beristirahat sejenak di sebuah penginapan sederhana yang asri. Aku memang berniat melakukan perjalanan ini seorang diri saja, berbekal doa dari Mama. Tanpa ragu aku semakin mantap melangkah. Apalagi Mama juga harus mendampingi nenekku yang mengalami Demensia.

Keesokan harinya aku melanjutkan perjalanan menuju Nunukan. Baru sesampainya di Nunukan, aku menghubungi pak Rayhan untuk menjemputku, dan ternyata untuk dapat cepat sampai disana pak Rayhan menyewakan speedboat untukku, dan sudah menyiapkan penginapan sederhana milik penduduk setempat untukku bermalam.

Menjelang sore akhirnya aku dan pak Rayhan sampai di desa Tabur Lestari.

“Mbak Rifa mau berkunjung ke ladang pertambangan tempat pak Darma bertugas ? tanya pak Rayhan.

Aku menggeleng. “Tidak usah pak, saya hanya ingin berkunjung ke SMK tempat bapak mengajar, lalu ke Sungai Air Hitam yang dijanjikan memukau itu “  jawabku sambil tersenyum.

Dalam pikiran sederhanaku, yang ingin aku lihat dari wilayah tempat kerja Papa hanyalah sisi positifnya. Aku tak siap bila harus melihat alat berat mengeruk tanah serta lubang besar yang dibuatnya. Aku hanya ingin melihat sepotong keindahan yang mungkin masih tersisa disana. Aku berencana akan mengajak Papa untuk berjalan-jalan menyusuri hutan dan menemukan Sungai Hitam yang konon indahnya tak tergantikan.

***

Pagi ini Kekagumanku terus menyapu bangunan sekolah megah yang terpampang dihadapanku. Ternyata, SMK di tempat terpencil berjarak ribuan mil dari ibukota negara, bisa berdiri sekokoh ini. Fasilitas sekolah inipun cukup lengkap dan menunjang aktifitas belajar para siswanya.

“Mari mbak, kita menuju ke kelas yang paling ujung, siswa kelas dua belas jurusan pertanian sedang belajar matematika” ajak pak Rayhan ramah.

Aku hanya akan mengintip dari jendela kelas, agar tidak mengganggu proses belajar siswa. Namun hal yang menakjubkan berikutnya justru hadir di hadapanku.

Suara yang sangat akrab di telingaku mulai terdengar begitu aku mendekati ruangan kelas. Namun ternyata, aku dan Papa sesungguhnya memang ibarat satu hati dan pikiran. Bahkan hari ini kami saling memberikan kejutan. Papaku terlihat dengan gagah berdiri di depan kelas, menerangkan sebuah  rumus integral kepada para siswa.

Tanpa terasa airmataku menetes perlahan. Menahan hark dan bangga atas apa yang terjadi. Papaku ternyata menjadi salah satu pengajar di sekolah yang bagiku sungguh membanggakan ini.

“Pak Darma bukan hanya bersedia menyisihkan waktunya satu kali dalam seminggu untuk mengajar siswa disini. Mbak Rifa harus tahu, bahwa dukungan beliau dan perusahaan tempatnya mengabdi sudah banyak membantu kami, bahkan sejak sekolah ini masih menumpang di rumah penduduk” kisahnya.

Aku tak mampu lagi berbicara. Yang mampu kulakukan hanya mengikuti langkah Pak Ryan mengelilingi seluruh area SMK.

Sementara kakiku terus melangkah, pikiranku masih terus memikirkan bagaimana  mungkin Papa bisa menyembunyikan semua ini dariku. Sesuatu yang justru bisa kuteladani dan kujadikan penunjuk arah langkahku. Tapi sepertinya aku lupa, nasehat yang serimg beliau sampaikan.

“Nikmatilah proses ikhtiarmu, tanpa harus memikirkan betapa nikmat hasil yang akan kau dapat…”

 

***

Pagi ini kurasa mentari bersinar lebih cerah dari biasanya. Pagiku terasa semarak karena bisa berkumpul dengan sahabat perbatasanku di tempat yang sebelumnya tak pernah terbayangkan di benakku.

“Rifa…kenalkan ini sahabat-sahabat Papa, bapa Pemuka Adat, Mas Dokter Kepala Puskesmas desa, dan bu Maryam, Kepala Sekolah SMK”

“Oh, kalau bu Maryam saya sudah dikenalkan Pa, oleh Pa Rayhan kemarin di sekolah” jawabku.

“Maaf ya bu Maryam, Rifa belajar bikin surprise buat saya katanya”

“Bukan Pa, tapi jadi mata-mata Papa” candaku yang disambut tawa mereka.

Perjalanan menunju Sungai Air Hitam tak semudah yang kubayangkan. Aku menumpang pada pak Rayhan yang mengendarai motor berdua denganku. Papa dibonceng bapa Ketua Adat, dan Abrar bermotor bersama pak Dokter. Hanya aku perempuan satu-satunya yang turut dalam rombongan perjalanan kali ini, yang menempuh rute cukup sulit melintasi kebun sawit.

Sesampainya di tujuan sejauh mata memandang aku terperangkap dalam keindahan yang belum pernah kutemukan sebelumnya. Aliran sungai hitam berasal dari mata air yang membentuk ada 2 kolam besar. Kolam pertama yang berukuran lebih dari 15 meter persegi terlihat tenang dengan warna air sungai yang terlihat berwarna hitam.

Di kolam kedua aku menyempatkan diri untuk berenang menikmati segarnya air Sungai Hitam. Air sungai terlihat menyusuri turunan dari batu alami yang membuat undakan sebanyak 7 buah. Luar biasa indah tak ternilai. Meski berwarna hitam, namun saat kucoba meminum air sungai tersebut, terasa begitu segar khas air yang berasal dari mata air, begitu natural.

Puas menikmati keindahan surga tersembunyi di lingkar perbatasan Indonesia dan Malaysia ini, aku kembali ke penginapan, dan Papa ke mess perusahaan, begitu juga dengan yang lain, kembali ke rumah masing-masing, dengan membawa kesegaran baru untuk esok memulai hari yang baru.

 

***

 

“Hati-hati di jalan ya nak. Selamat sampai rumah. Salam buat mama, In syaa Allah Papa cuti dua minggu lagi…”

“Sama-sama Pa, jaga kesehatan ya…” jawabku

Akupun mencium tangan Papa dan memeluk tubuh tegapnya.

“Terima kasih juga nih..sama nak Rayhan..” imbuh Papa

“Terima kasih atas semua kebaikan pak Rayhan untuk aku. Hanya Allah yang bisa membalasnya…” ucapku tulus.

“Kamu bisa juga membalasnya nak…, kalau tidak ada murid, panggilnya mas Rayhan saja, kebetulan sudah setahun lebih putus dari pacarnya tuh…alias single, betul kan nak Rayhan…” sahut Papa spontan.

“Maaf ya pak, jangan salting ya pak…” ucapku menutupi desir yang perlahan terasa di hatiku, walah jangan sampai mukaku jadi merah gara-gara candaan Papa.

Oiya, ada satu lagi kekagumanku tentang Papaku, ternyata sesungguhnya beliau bisa bercanda juga…Alhamdulillah.

Jiwaku hari ini terasa begitu kukuh dan penuh. Kegelisahanku pun telah pergi, berganti dengan kenangan manis yang akan terus terpatri, termasuk kisah yang terjalin indah, antara aku, mereka, dan Sungai Air Hitam.

 

Ikuti tulisan menarik Shanti Cahyanti Dewi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler