x

Iklan

Sal

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 8 Desember 2021

Rabu, 8 Desember 2021 22:18 WIB

Segumpal Nasi di Piring Ibu

Menjadi Ibu adalah pekerjaan seumur hidup. Maka dari itu tidak ada Ibu yang lemah di dunia ini. Karena Ibu memegang semua peran penting bagi anaknya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

SEGUMPAL NASI DI PIRING IBU

Pagi ini aku dibangunkan oleh berisiknya air yang jatuh di atap rumah yang terbuat dari seng. Air itu bersahutan dengan suara katak yang ikut menambah suasana syahdu hujan pagi ini. Kulihat Ibu sedang merapikan mukena yang baru dikenakannya untuk salat Subuh. Selepas itu dibuangnya genangan-genangan air yang mulai memenuhi baskom. Ya, rumah kami adalah rumah sederhana yang atapnya sudah bocor sana-sini. Aku hanya berdua dengan Ibu. Sementara Bapak sudah meninggal karena sakit TBC, ketika aku baru belajar berjalan, saat itu.

Le, salat gagian mengko selak entek wektu subuhe,” kata Ibu memutus lamunanku.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kuambil air wudu dan bergegas salat Subuh, seperti yang diinstruksikan Ibu. Karena Ibu adalah satu-satunya keluarga yang kupunya, aku selalu mematuhi perkataannya. Setelah salat Subuh, Ibu sudah menyiapkan sepiring nasi lengkap dengan lauk favorit kami, tempe dan kerupuk. Hanya lauk itulah yang mampu dibeli Ibu. Kadang kalau hasil panen singkong kami dibeli dengan harga mahal, Ibu bisa membeli seperempat telur untuk selingan lauk. Tetapi itu jarang terjadi. Lebih banyak orang yang menawar singkong dengan harga paling rendah. Ibu hanya bisa pasrah, karena baginya lebih baik laku murah dan segera mendapatkan uang, dibanding menjual dengan harga yang mahal tetapi tidak cepat laku.

Maem sing akeh yo, Ham. Ben cepet gedhi. Ben iso nyenengke Ibu,” kata Ibu sambil mengelus kepalaku.

Aku makan dengan lahap akibat rasa lapar yang sudah kutahan dari semalam. Jatah makanku hanya dua kali, pagi dan siang. Sementara kalau malam Ibu menyeduhkan segelas air hangat dicampur gula satu sendok makan, supaya aku merasa kenyang. Ini karena Ibu hanya mampu membeli beras 1,5 kg tiap minggunya. Kadang kalau sudah telanjur habis sebelum satu minggu, kami terpaksa memakan daun singkong saja.

“Ibu ora maem?” tanyaku.

Kudekatkan sesuap nasi dan tempe ke mulut Ibu. Jika kulakukan itu, Ibu selalu menolak.

Dimaem Ilham bae, men wareg tekan awan. Ilham kan arep sekolah,” tolak Ibu sambil menjauhkan mulutnya, “Ibu maeme mengko nek Ilham wis mangkat sekolah ya.”

Aku tak tahu mengapa Ibu selalu menolak untuk makan bersamaku. Ibu lebih memilih untuk makan sendiri. Biasanya Ibu sarapan saat aku sudah berangkat sekolah, sementara untuk makan siang saat aku sedang istirahat tidur siang. Bila kutanya kenapa tak makan bersama saja. Ibu selalu menjawab tidak.

“Ibu iseh wareg. Eman-eman nek iseh wareg tapi wis maem,” jawaban itu konsisten keluar dari mulut Ibu.

Kuhabiskan sepiring nasi itu. Menyisakan sedikit bulir nasi yang sulit dijangkau tangan. Selesai makan aku segera mandi supaya tidak terlambat ke sekolah. Jarak ke sekolah memang cukup jauh, perlu waktu 30 menit untuk berjalan. Sebenarnya ada sekolah yang dekat dengan rumah, tetapi berbayar. Jadi Ibu tidak mampu menyekolahkan disana. Satu-satunya sekolah gratis yang paling dekat adalah sekolahku sekarang.

Oiya, aku belum memperkenalkan diri ya? Namaku Ilham, lengkapnya Ahmad Ilham Mustain. Aku baru saja masuk kelas 7 SMP. Seharusnya aku sudah kelas 8, tetapi karena uang untuk membeli keperluan sekolah, seperti buku-buku dan seragam baru terkumpul tahun ini. Alhasil Ibu baru mendaftarkanku sekolah setelah satu tahun menabung. Bagiku tidak apa-apa telat sekolah, daripada tidak pernah sekolah sama sekali.

Kedinginan karena mandi pagi dengan air sumur sudah biasa aku rasakan. Bergegas kutukar baju dengan seragam sekolah hari ini. Setelah mengenakan seragam kuhampiri Ibu yang sedang menghitung kecimpring singkong yang akan dijual. Selain berjualan singkong, Ibu juga mengolah singkong menjadi kecimpring. Ini Ibu lakukan agar harga jualnya bisa lebih tinggi.

Dino iki aku gawa pirang bungkus, Bu?” tanyaku sambil ikut menghitung bungkusan kecimpring.

“Ilham gawa lima las bungkus wae, ya,” kata Ibu, “wingi po’onge wis podo ngayu dadi Ibu orak akeh gawe cimpringe.”

“Iya, Bu.”

Kusisihkan lima belas bungkus kecimpring yang menjadi jatah untuk dijual. Sebungkus kecimpring Ibu beri harga Rp 400, dan kujual dengan harga Rp 500. Untung dari hasil penjualan itu menjadi jatah uang jajanku. Setelah bungkusan selesai kurapikan, aku bersiap untuk berangkat sekolah.

“Ilham mangkat ya, Bu,” kataku berpamitan sambil mencium tangannya.

“Ati-ati. Aja kesusu yo,Le. Sek udan ning jaba,” kata Ibu mengingatkan.

Karena hujan masih turun, kupakai jas hujan plastik yang Ibu dapatkan dari tukang becak di pengkolan jalan dekat rumah. Sesuai pesan Ibu, aku berjalan dengan hati-hati karena takut terpeleset di jalan yang licin. Apalagi sepatu yang kupakai adalah sepatu bekas pemberian tetangga, yang solnya sudah tipis. Jadi kalau tidak hati-hati, tentulah aku dapat terjatuh dengan mudah. Tiba-tiba….motor itu berlalu dengan cepat dan membuatku kaget. Aku yang telanjur mengambil sikap menyelamatkan diri tercebur di genangan air pinggir jalan. Kecimpring yang akan kujual terlempar jauh dan menjadi remuk. Bajuku kotor dan basah, aku kebingungan. Ingin menangis, tapi aku anak laki-laki.

Akhirnya kuputuskan untuk pulang. Karena aku tidak berani berangkat dengan baju yang kotor dan basah. Tidak hanya itu, jas hujan plastik yang kupunya juga sobek, sehingga tak bisa lagi menyembunyikanku dari air hujan yang terus menghujam. Setibanya di rumah, kulihat sepi. Kucari Ibu yang ternyata sedang berada di dapur. Ibu sedang memunguti sisa nasi di dandang penanak nasi. Kemudian mencampurkannya dengan sisa nasi di piring makanku. Aku menangis melihat Ibu hanya memakan sisa nasi itu.

“Bu, sek opo?” tanyaku.

“Eh. Ibu tembe kelar maem. Iki eman-eman sega pada nempel ning dandang,” kata Ibu menipu.

Tapi aku tahu Ibu hanya berbohong padaku. Selama ini yang kutahu apa yang kumakan juga dimakan oleh Ibu. Ternyata aku salah. Pantas sering kudengar bunyi perut Ibu, tanda panggilan bahwa organ itu harus segera diisi. Ibu bilang itu hanya masuk angin saja. Dibungkamnya bunyi itu dengan segelas air putih dan berpura-pura untuk kenyang. Kebohongan itu sudah Ibu bawa dari lama. Hatiku teriris, melihat orang tua satu-satunya yang masih kupunya selama ini berjuang dengan kata “tidak apa-apa”.

“Kok bali maneh, Ham?” Tanya Ibu.

“Aku kepleset, Bu. Cimpringe remuk kabeh,” kataku sambil berlalu agar Ibu tidak mengetahui sebenarnya aku menahan tangis.

Tibalah waktu makan di siang hari. Seperti biasa sepiring nasi sudah tersaji. Kali ini lauk pendampingnya adalah kecimpring remuk yang kubawa tadi pagi. Aku makan seperti biasa. Namun, sengaja tak kuhabiskan.

“Bu, aku pun tuwuk. Iki segane nggo Ibu bae,” kataku sambil menyodorkan sepiring nasi yang baru kumakan separuh.

Ibu heran dengan sikapku. Kupeluk agar dia mengerti tak perlu membohongi anaknya lagi.

“Bu, mulai saat ini kita kudu pada-pada wareg ya, Bu.”

Ibu menangis saat mendengar kalimat itu. Membalas pelukan yang kuberikan dan berualng menciumi keningku. Membisikkan kata maaf berkali-kali.

Ikuti tulisan menarik Sal lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler