x

Iklan

Najma Sajidaa

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 10 November 2021

Rabu, 8 Desember 2021 22:28 WIB

Ajaran Batu

Untuk diikutsertakan dalam Sayembara Cerpen Indonesiana.id 2021

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Siang yang mendung itu di hiasi oleh suara anak kecil. Ia melempar batu, jatuh tepat  di kolam ikan. Namun, setelah itu ia mendengus kesal tanpa alasan. Akhirnya, ia mengambil batu di bawahnya lalu melempar batu itu seperti yang ia lakukan sebelumnya. Meski sudah membidik dengan susah payah, ia tetap merasa kesal.

“Musa! Ayo masuk! Salat Ashar dulu!”

          Terdengar sebuah panggilan yang berasal dari rumah di belakang anak itu. Ia adalah seorang ibu-ibu yang memakai kerudung. Sang anak menyahut “Nanti!” pada ibu itu. Anak itu kembali menatap kolam. Ibu itu menggeleng pelan lalu mendekati sang anak secara perlahan. Setelah sampai, ibu itu duduk sejenak. Ia melihat sang anak sedang memainkan batunya. Ia nampak tertarik dengan batu itu.

          “Musa mau ibu kasih lihat sesuatu?”

          Anak yang bernama Musa itu beralih menatap ibunya. “Iyalah!” sahutnya. Sang ibu tersenyum. Ia pun mengambil batu yang ada di tangan anak itu. Sontak, anak itu refleks meraih batu itu dari tangan ibunya, tidak ingin mainannya diambil. "Lihat ibu," begitu kata ibunya. Musa mulai patuh pada ibunya. Dengan pelan, sang ibu menyusun batu itu sesuai ukuran, dari yang paling besar ke yang paling kecil. Meski tak ada satupun dari batu itu yang memiliki bentuk beraturan, tetap saja, susunan batu itu tidak jatuh berserakan. Musa merasa kagum dengan apa yang di lakukan ibunya.
"Coba lihat, menurut Musa, kalau batu yang paling bawah di ambil, nanti bagaimana?" tanya ibu.

"Nanti batu yang di atas ikut… jatuh?" jawab Musa. Ibu Musa tersenyum. "Anak pintar," puji ibunya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

"Nah, sekarang coba kita bayangin kalau batu yang paling bawah itu salat lima waktu, terus batu yang paling atas itu surga," jelas ibu. Kemudian, ibu Musa menunjuk batu yang paling bawah. "Nah, kalau batu ini ibarat salat, terus yang ini ibarat surga. Nah, kalau Musa tidak salat, seperti kalau batunya diambil..." lanjut ibunya sembari langsung mengambil batu yang paling bawah. "Batu-batu yang diatas ikut jatuh, termasuk batu yang diibaratkan surga itu, menjadi mustahil untuk meraih surga kalau tidak mau salat dari awal," jelas ibu Musa. Musa mengangguk seraya melihat kearah batu-batu yang berserakan. Musa melongo. "Kalau begitu... batu-batu yang diatasnya apa?" tanya Musa. "Lima batu yang ibu taruh tadi itu perbuatan baik atau sholeh, artinya meski kita berbuat baik tapi salat kita masih buruk, tetap saja kita tidak bisa masuk surga, walau itu juga penting," lanjut ibunya. Musa terdiam. Ia mulai menyadari kesalahannya barusan.

"Musa jadi mau salat deh, biar masuk surga, nanti perbuatan baik Musa biar nggak sia-sia," ujar Musa seraya berlari menuju rumah.

***

          Sembilan belas tahun telah berlalu. Musa yang sekarang telah berumur 24 tahun bekerja sebagai guru di sebuah sekolah di tengah kota. Musa berhasil menjadi guru berkat bantuan ibunya yang dulunya juga seorang guru. Meski berat, Musa akhirnya memberanikan diri bekerja di kota dan meninggalkan ibunya sendirian. Ia bekerja sebagai guru pendamping di sekolah itu, karena baginya itulah pekerjaan yang cocok untuknya. Musa dikenal sebagai guru yang pengertian dan aktif, sehingga banyak murid yang dekat dengan dirinya. Suatu ketika, kepala sekolah di sekolah tempat Musa mengajar meminta tolong pada Musa untuk menangani kasus yang mengenai murid-murid disana. Menurut kepala sekolah, kasus itu cukup berat dan menyangkut banyak anak, sehingga kepala sekolah memercayakan urusan itu pada Musa sebagai guru yang paling dekat dengan para murid. Musa bersedia menerima tawaran kepala sekolah dan mulai menangani kasus tersebut. Kepala sekolah mengatakan bahwa kasus itu dimulai dari seorang anak kelas satu yang mengajak teman-temannya untuk merokok dan berjudi diam-diam di dekat rumahnya. Orangtuanya juga mengatakan demikian, namun tidak berani mengambil tindakan karena takut salah tingkah. Akhirnya, Musa memutuskan untuk menangani kasus itu baik-baik.

          Hari libur kemudian, Musa mendatangi murid yang menjadi awal dari kasus itu langsung kerumahnya. Orangtua murid itu mempersilahkan Musa untuk menemui anaknya, sekaligus memberitahu nama dan keberadaan anak mereka. “Namanya Nafi, mungkin lagi di kamarnya di lantai dua,” begitu kata sang ayah. Tak lama kemudian, Musa berjalan menuju kamar Nafi di lantai dua sendirian. Di depan kamar Nafi, Musa mengetuk pintunya perlahan lalu mengucap salam. Dilihatnya seorang anak kecil yang kebingungan dan kaget di pinggir ruangan, yang tak lain adalah Nafi. Musa tersenyum singkat lalu mendekati Nafi dan duduk di depannya.

          “Namamu Nafi ‘kan?”

          Anak itu mengangguk.

“Nama bapak Musa, panggil saja Pak Musa.”

Nafi, yang semula hanya diam tanpa ekspresi, menjadi kaget dalam diam. Musa tidak kaget setelah melihat ekspresi Nafi; ia tahu bahwa sebenarnya Nafi kenal dengannya, namun hanya tahu namanya saja, wajahnya tidak.

          Musa tertawa kecil. “Ngomong-ngomong soal nama, Nafi tahu arti nama Nafi tidak?” tanya Musa, diiringi dengan gelengan kepala Nafi setelah beberapa saat. Tiba-tiba, suasana yang ringan menjadi tegang setelah pertanyaan itu. Musa mengendurkan senyumnya, membuat Nafi semakin tegang. Lalu, Musa kembali angkat bicara.

          “Nafi itu artinya jujur.”

          Hanya dengan sepatah kalimat itu, Nafi merasa seperti ada kejutan dari tubuhnya. Ia terdiam tanpa berkata apapun, namun perasaannya sungguh berkecamuk. Kini, sudah jelas bahwa Musa ingin membocorkan rahasia terbesar Nafi. Sementara itu, Musa tetap tenang tanpa memandang Nafi.

          “Itu berarti, orangtua Nafi berdoa bahwa nanti, anaknya tumbuh menjadi orang yang jujur, bicara maupun berperilaku apa adanya. Bapak yakin Nafi tahu itu,” jelas Musa seraya berusaha mengembalikan senyumnya. Nafi tetap membisu, namun ia seperti ingin berkata sesuatu. Akhirnya, Nafi berani untuk berbicara.

          “Itu karena… supaya nunjukin kalau sekolah kita lebih keren daripada sekolah lain, ‘kan maksud Nafi juga baik, jadi Nafi nggak salah juga ‘kan?” tanya Nafi, nyaris terputus-putus. Musa tersenyum singkat.

          “Nafi mau jadi anak yang soleh tidak?” tanya Musa, diiringi dengan anggukan ringan Nafi.

          “Tahu tidak, Allah tidak pernah lho memaksa kita dalam berperilaku baik terus menerus dalam hidup,” jelas Musa, kali ini lebih santai, “itu pilihan hidup kita, begitu pula dengan risikonya yang juga milik kita sendiri,” lanjutnya.

          “Tapi gimana kalau udah dikasih ke orang lain?”

          “Hm?”

          “Nafi udah nunjukin ke temen-temen caranya, terus udah ngikutin semua,” ujar Nafi terus terang. Musa tahu itu; Nafi telah memperlihatkan hobinya pada teman-temannya. Kepala sekolah telah memberitahunya.

          “Menurut Nafi, perilaku Nafi itu baik atau buruk?”

          “Buruk.”

          “Jadi kalau teman-teman Nafi ikutan Nafi mereka perbuatannya ikut buruk juga ‘kan?”

          “Iya?”

          “Berarti yang harus tanggung jawab Nafi juga ‘kan?”

          “I-iya…”

          “Menurut Nafi, bagaimana cara bertanggung jawab atas perbuatan buruk yang Nafi lakukan?”

          Nafi berpikir sejenak. “Minta maaf ke temen-temen? Kasih contoh yang baik?”

          Musa mengangguk. “Betul. Tapi Nafi tahu tidak, kalau Nafi juga harus meminta ampunan kepada Allah?”

          “Iya.”

          “Tahu tidak, bagaimana caranya?”

          “Hmm…” Nafi bergumam mencari jawaban, namun tak lama kemudian ia mengangkat bahu tanda tak tahu.

          “Kalau begitu, Nafi mau tidak bertaubat supaya dosa-dosa yang Nafi tanggung diampuni Allah?”

          “Iyalah!”

          “Kalau begitu,” lanjut Musa, “coba Nafi lihat ini.”

          Musa mulai meraba-raba kantung celananya dan mengambil beberapa batu yang telah ia persiapkan sebelum menemui Nafi. Nafi memandang batu itu dengan heran.

          Kemudian, Musa menyerahkan batu-batu itu kepada Nafi.

          “Tolong bantu Pak Musa menyusun batu ini dari yang paling besar ke yang paling kecil,” pinta Musa. Nafi pun mengambil batu-batu itu dari tangan Musa dan menyusun batu-batu tersebut sesuai yang diperintahkan Musa. Setelah beberapa saat menyusun, tumpukan batu itu pun tersusun rapi.

          “Coba Nafi lihat ya. Bayangin batu yang paling atas ini adalah ampunan dari Allah, terus yang paling bawah itu salat lima waktu,” jelas Musa. Nafi terdiam memerhatikan tangan dan perkataan Musa.

          “Menurut Nafi, kalau Bapak ambil batu yang paling bawah, batu-batu yang di atas jadinya bagaimana?”

          “Jatuh semua.”

          “Betul,” jawab Musa, “batu-batu yang di atas akan jatuh. Nah, sesuai ilustrasi Bapak tadi, kalau Nafi salatnya tidak baik, jadinya…” Musa menarik batu yang paling bawah dan batu-batu di atasnya berjatuhan, “…akan mustahil untuk mendapat ampunan dari Allah kalau Nafi tidak mau salat.” Hal tersebut menyita perhatian Nafi. Sepertinya ia mulai mengerti.

          “Jadi, kalau Nafi ingin mendapat ampunan dari Allah, Nafi harus berusaha untuk paling tidak salat lima waktu,” jelas Nafi. “Apa Nafi merasa salatnya sudah baik?”

          Nafi menggeleng pelan. “Nafi masih suka lupa salat.”

          Musa pun kembali beralih ke batunya. “Kalau Nafi mau berusaha memperbaiki salatnya, insya Allah…” Musa kembali menyusun batu-batu itu seperti saat Nafi menyusunnya tadi, “…Nafi akan mendapat ampunan dari Allah atas perbuatan yang Nafi lakukan.”

          Nafi pun mulai terbenam dalam pikirannya. Musa tersenyum melihat reaksi Nafi. Ia mengikuti metode yang dilakukan ibunya saat ia masih kecil dan butuh arahan langsung dari orang yang ia percayai. Hal tersebut nampaknya berefek sama dengan saat ia masih kecil.

          “Baiklah Pak, mulai sekarang, Nafi akan memperbaiki salat Nafi dan tidak merokok lagi,” ucap Nafi sambil tersenyum puas.

          “Alhamdulillah,” ungkap Musa. Nafi sepertinya akan benar-benar merubah sikapnya.

          “Oh iya, jangan lupa juga ya, Nafi,” lanjut Musa.

          “Kenapa Pak?”

          “Contohin juga teman-temanmu perbuatan-perbuatan yang baik sebagai ganti dari perbuatan-perbuatan kurang baik yang kamu contohkan ke mereka waktu itu,” tambah Nafi, “dan kalau Nafi mau nunjukin kalau sekolah Nafi itu keren, kamu bisa ikut lomba tingkat sekolah dan tunjukkin kalau sekolah Nafi itu keren, semisal kalau Nafi suka gambar, Nafi bisa ikut lomba menggambar loh sambil mewakili sekolah.”

          Nafi pun mengangguk riang. “Siap, Pak Musa!”

          Musa tersenyum memandang sikap Nafi yang awalnya ragu-ragu dengannya menjadi seperti baru diangkat seluruh beban dari hatinya. Ia selalu teringat akan peristiwa yang ia alami saat ia berusia 5 tahun; hanya dengan beberapa bongkah batu, pandangan hidupnya berubah sejak usianya masih belia. Bahkan, batu-batu yang ia gunakan untuk Nafi adalah batu-batu yang sama dengan yang ditunjukkan ibunya saat usianya 5 tahun. Musa tidak akan pernah melupakan ajaran itu selama bertahun-tahun, sebagaimana pengaruh positif dari ajaran yang ia dapat dari batu-batu itu yang bertahan bertahun-tahun lamanya. Ia bersyukur dan bangga dididik oleh ibunya yang bijak nan pengertian.

***

          Beberapa bulan kemudian, di sekolah tempat Musa mengajar, Musa tengah membaca majalah di koridor sekolah. Tiba-tiba, ia mendengar seruan yang familier dari arah kanannya. Rupanya, setelah ia menengok ke kanan, ia melihat Nafi yang tengah berjalan menghampirinya.

          “Pak Musa, Alhamdulillah, Nafi dapat juara satu lomba MTQ!” seru Nafi senang. Spontan, Musa menghampiri Nafi dan menyampaikan selamat kepadanya.

          “Terima kasih Pak Musa atas arahannya waktu itu, Nafi sangat bersyukur bisa bertemu dengan Pak Musa,” ungkap Nafi girang.

                Musa pun tersenyum lega. Alhamdulillah…

Ikuti tulisan menarik Najma Sajidaa lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler