x

Iklan

El Ardivia

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 8 Desember 2021

Rabu, 8 Desember 2021 22:38 WIB

Pantun Istimewa

Cerita anak (cernak) tentang gadis kecil bernama Syafa yang sebal ketika Kakaknya berpantun

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pantun Istimewa

 

Aku berjalan cepat sejak keluar dari gerbang sekolah. Rasanya ingin cepat sampai rumah, masuk kamar, lalu rebahan memeluk bantal. Komentar teman-teman tentang nilaiku yang buruk masih terngiang di telinga. "Juara kelas kok ulangan Bahasa Indonesia cuma dapat enam setengah?" Huft ... apakah mereka tidak tahu kalau nilai jelek itu wajar! Enggak usah diejek pun aku sudah malu!

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Kutendang sekaleng sofdrink di tengah jalan. Namun, tak urung kuambil kaleng setengah penyok itu lalu kumasukkan ke tong sampah sambil menggerutu. Matahari pukul dua siang masih bersinar terik, membuat keringatku bercucuran dan tenggorokan kering. Aku semakin kesal.

 

Sesampai di rumah, kuhabiskan segelas besar air putih. Aku termangu, terduduk lesu di kursi. Nilai-nilai mid semester kali ini sungguh mengecewakan. Padahal, setiap hari selama tes berlangsung aku telah belajar keras. Masih terbayang janji ayah jika nilaiku bagus, maka akan mendapat hadiah sepeda. Akan tetapi, nyatanya sepeda merah muda yang kuinginkan tinggal impian. 

 

“Jangan sedih, Fa. Masih ada kesempatan memperbaiki,” hibur Ibu yang tiba-tiba masuk kamar. 

 

“Aku sudah belajar, Bu. Bahkan selama enam hari enggak pernah main!” keluhku sambil cemberut.

 

“Ayo, berusaha lebih rajin lagi! Jangan mudah nyerah!” 

 

Wajah Ibu berbinar memberi semangat. Aku hanya mengangguk dan tersenyum tipis. Bu Muti--wali kelasku--juga pernah berkata, bahwa kegagalan itu sebenarnya sebuah peluang agar kita lebih giat mencoba tanpa berputus asa. Ketika ibu membelai rambutku, mendadak Kak Amrul muncul. Dia mengenakan seragam basket dan membawa tas slempang. Sepertinya dia siap berangkat ekskul. Sambil menimang bola, Kak Amrul berpantun.

 

"Sore-sore makan bakpau

Sambil senyum melihat badut

Meski hati risau dan galau

Adikku sayang jangan cemberut"

 

Laki-laki berkulit putih itu tersenyum lebar dan melambaikan tangan tanda pamit. Huh, kenapa pantunnya membuat hatiku tambah panas, sih? Pasti dia meledek! Kak Amrul kakakku satu-satunya. Dia punya banyak kelebihan yang bisa membuat iri. Cowok berpotongan rambut ala oppa-oppa Korea itu kelas dua SMA. Dia tak hanya pintar, tetapi juga pandai bergaul dan aktif di berbagai kegiatan sekolah.

 

Sebenarnya dia kakak yang baik, tetapi aku mulai sebal jika jurus pantunnya keluar. Kadang aku merasa diejeknya. Yang kuherankan, mantan siswa teladan itu sampai kini selalu berprestasi meskipun terlihat sibuk setiap hari.

 

***

 

Malam ini setelah membaca buku pikiranku tertuju pada Kak Amrul. Iseng-iseng aku pergi ke kamarnya, lantas diam-diam mengintip dari balik pintu yang setengah terbuka. Dia tampak asyik mengerjakan sesuatu. Tangannya memegang pena sembari mencoret-coret. Sekonyong-konyong Kak Amrul menoleh dan menatapku. Sejenak kemudian bibirnya yang merah mulai bergerak-gerak.

 

"Kelap-kelip bintang kejora

Menggantung tinggi di angkasa

Ada apa gerangan adikku Syafa

Malam-malam ke sini juga"

 

Aku membuang napas dalam. Lagi-lagi pantun! Hampir saja aku balik badan tidak jadi bicara dengannya, tetapi beruntung rasa dongkol masih bisa kutahan.

 

“Sini, Fa!” ajaknya ramah.

 

“Sedang belajar, ya? Serius amat,” tanyaku penasaran.

 

"Harus serius, dong, Fa, biar lebih teliti ngerjain soal."

 

“Belajarnya lama, Kak?” tanyaku ingin tahu.

 

“Enggak. Paling hanya satu jam," tegas Kak Amrul sambil mengambil secangkir teh di samping tumpukan buku matematika. 

 

“Hah, satu jam? Kok, cuma sebentar? Aku kalau belajar 2 jam lebih, loh! ” ucapku sambil mengernyitkan kening.

 

“Belajar enggak perlu lama-lama, Fa. Yang penting rutin tiap hari meskipun enggak ada ulangan, PR, atau tes. Kalau Syafa ingin menguasai pelajaran, kuncinya rutin belajar ples konsentrasi. Syafa kan pinter, pasti bisa!” jelasnya seraya menepuk pundakku.

 

"Jadi, Kakak selalu belajar, ya? Tapi, kan, sering kegiatan sekolah? Emang enggak capek?"

 

"Harus bisa bagi waktu, Fa. Ada saatnya belajar, main, dan istirahat. Jangan cuma main terus, nanti lupa belajar, deh. Tepati jadwal harian yang udah kamu buat, ok!"

 

Aku mengangguk pelan ketika bunyi jam dinding berdentang sembilan kali. Kak Amrul menyuruhku segera tidur. Tak lupa dia mengeluarkan pantun andalannya. Namun, anehnya kali ini aku tidak merasa tersinggung.

 

"Kue bolu buatan ibu

Sungguh lezat dimakan hangat

Adikku Syafa tak usah pilu

Ayo belajar lebih semangat"

 

Kak Amrul mengepalkan tangan dengan mantap. Aku keluar kamar seperti mendapat semangat baru. Ternyata selama ini cara belajarku keliru. Belajar hanya jika ada tes atau ulangan, bahkan SKS alias sistem kebut semalam. Pantas saja hasilnya tidak maksimal. Aku berjanji akan belajar lebih giat dan telaten. Nilai terbaik pasti bisa kuraih!

 

***

 

Bulan Desember tahun ini sangat kutunggu. Walaupun sering mendung seperti hari ini, aku tetap ceria karena penerimaan rapor kenaikan kelas telah tiba. Aku tak sabar melihat hasilnya. Para wali murid silih berganti mengambil buku catatan hasil belajar anak-anak mereka.

 

Jantung ini berdegup kencang menunggu detik-detik ibu keluar kelas. Aku mencoba membayangkan bagaimana ekspresi ibu ketika bertemu anak gadisnya ini. Hanya doa yang tak henti kugumamkan, semoga hasilnya sesuai harapan.

 

“Selamat, Syafa. Nilai-nilaimu meningkat. Ibu bangga padamu!" 

 

Sontak ibu mendekapku. Mataku membelalak hampir tak percaya. Kurasakan bahagia tengah membuncah di dada. Ucapan ibu membuatku terlonjak girang. Aku berhasil naik ke kelas enam dengan nilai yang memuaskan. Ibu mengecup keningku berkali-kali hingga air matanya mengalir. Tips belajar dari Kak Amrul membuahkan hasil. Ingin rasanya segera pulang ke rumah dan menemui kakakku yang unik itu.  

 

***

 

Di depan rumah, Kak Amrul dan Ayah sudah menyambut kami. Aku berlari lalu menghambur ke pelukan mereka.

 

“Syafa hebat! Kakak punya hadiah spesial untukmu," ucapnya seraya mengeluarkan sesuatu dari balik pintu. 

 

Aku terpana dengan mulut menganga. Tepat di depan mata, ada sepeda merah muda berhias kertas krep dan balon warna-warni.

 

“Kakakmu yang membelikan sepeda ini, Fa,” kata Ayah.

 

Aku terkejut bukan main. Sepeda yang kuinginkan sejak lama menjadi nyata. Tak terasa air mataku berjatuhan karena haru dan bahagia.

 

“Aku juga punya sesuatu untuk Kak Amrul,” ujarku memberi kejutan seraya menyeka pipi yang basah. Ibu, ayah, dan kakak tampak berpikir menebak-nebak. Dengan percaya diri kuucapkan pantun buatan sendiri.

 

"Ingin mengupas buah mangga

Tapi ternyata pisaunya tumpul

Terima kasih kado spesialnya

Syafa sayang sama Kak Amrul"

 

Pantunku disambut derai tawa dan tepuk tangan. Kami berempat saling berangkulan. Aku bersyukur bisa membagi sukacita ini bersama keluarga tercinta. Tak disangka, laki-laki pecinta teh itu masih membalas pantunku.

 

"Kumbang-kumbang asyik berdendang

Tersipu malu si bunga-bunga

Bagaimana kakak tak sayang

Punya adik sepintar Syafa"     

 

Aku mengacungkan dua jempol. Tak ada lagi rasa gemas kepada Kak Amrul, karena bermain pantun ternyata menyenangkan dan membuat gembira. Lagipula, pantun istimewa ini menjadi bukti kasih sayang seorang kakak kepada adiknya. 

 

***

Selesai

Magelang, 8 Desember 2021

Ikuti tulisan menarik El Ardivia lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler