x

Iklan

rosita sukadana

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 29 November 2021

Rabu, 8 Desember 2021 22:50 WIB

Pengorbanan

Fiksi

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Matahari belum berada tepat di atas kepala. Jeje, gadis remaja itu duduk menunduk di sebelah ibunya ketika pak Arief datang. Pria paruh baya yang telah beristri, tiba bersama tiga orang yang mewakili keluarga besarnya. Maksud kedatangannya adalah untuk melamar Jeje.

Ibu Jeje–yang merasa mempunyai hak penuh dalam mengambil keputusan–langsung menyetujui. Tanpa menunggu hari berganti, permintaan untuk meminang berlanjut ke pernikahan yang diadakan secara singkat dan sangat sederhana. Tidak melalui Kantor Urusan Agama. 

Dengan setengah memaksa, ibunya memegang kedua pundak Jeje dan mendorong tubuhnya ke hadapan pak Arief. Bagai serah terima barang. Jeje terus menunduk, sedih. Air matanya telah habis terkuras tadi malam.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Semalam, ibunya berkata, “Kelima adikmu perlu makan, menjadi istri Pak Arief adalah  jalan keluar satu-satunya”. Jeje terdiam. Tidak percaya bahwa ucapan itu keluar dari mulut seorang ibu yang sangat dia sayangi. Jeje menafsirkan rangkaian kata itu sebagai perintah. Dia layak mematuhi sebagai tanda kasih, walaupun harus mengorbankan angan-angannya. 

Mimpinya lenyap. Keinginan menamatkan pendidikan SMP yang tinggal enam bulan lagi, menjauh dari jangkauan. Jeje berusaha memahami ibunya yang tergesa-gesa hendak keluar dari permasalahan keuangan. Tidak sabar menanti dirinya melanjutkan ke SMK dan meniti karier di dunia perbankan untuk memulihkan ekonomi keluarga.

Wajah polos Jeje menatap ibunda. Matanya menangkap kelelahan yang mendalam. Dirinya baru menyadari, figur perempuan yang amat dicintainya itu terlihat tua. Lebih tua dari usianya. Hatinya iba. Galau. Emosinya memuncak. Kenapa situasi ini menimpa keluarganya? Siapa yang salah?

Tanpa disadari, air matanya mengalir. Ibunya mendekat dan memeluk. Ada kehangatan menjalar, menguasai tubuhnya. Jiwanya melayang memberi kepasrahan yang tidak pernah dirasakan sebelumnya.

Ingatannya kembali membuka kenangan pahit yang menjadi awal permasalahan keluarga. Tujuh bulan lalu, ketika hari ke dua Idulfitri 2020, ayah Jeje meninggal karena Covid-19. Kepergian tulang punggung keluarga itulah yang mengubah kehidupannya. Ibunya yang selama belasan tahun berumah tangga, hanya tahu memasak, membersihkan rumah, dan mengasuh anak. Tidak pernah tahu cara mencari uang untuk menghidupi keenam anaknya.

Keadaan tersebut memaksa Ibu Jeje menjual isi rumah. Dalam waktu kurang dari dua bulan, TV, Kulkas, mesin cuci, dan sofa, berubah menjadi beras dan mie instan. Bulan berikutnya, kebutuhan hidup memaksa ibunya untuk mencari pinjaman secara online

Keterbatasan pengetahuan membuat dia mengabaikan syarat dan ketentuannya. Ibunya menganggap uang tunai dari pinjaman online–yang begitu mudah diperoleh–dapat menyelesaikan permasalahan ekonomi keluarga. Namun, sebulan kemudian pandangannya berubah setelah teror dan ancaman mulai berdatangan; membuat persoalan keuangan bertambah runyam.

Perhatian tetangga yang bergiliran mengantarkan lauk atau sayur sekali sehari, cukup membantu memenuhi kebutuhan gizi keenam anaknya. Tetapi, tidak dapat melunasi hutang-hutangnya. Pun, kepedulian Ketua RT yang memasukkan namanya sebagai penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT), tidak banyak membantu. Besar pinjaman online terus meningkat setiap hari, membuatnya semakin panik; tidak tahu harus berbuat apa.

Pendidikan Jeje dan adik-adiknya–kecuali si bungsu–terbengkalai. Tunggakan SPP dan ketidakhadiran dalam pembelajaran jarak jauh, membuat pihak sekolah mengunjungi rumah Jeje. Mereka melihat keluarga ini dalam kondisi minim sehingga berinisiatif untuk membebaskan SPPnya, berikut membantu pengadaan internet agar dapat mengikuti kelas secara daring. Akan tetapi, biaya hidup lainnya membuat hutang semakin menggunung, bunga berbunga menjadi jumlah yang fantastis.

Akhirnya, rumah penuh kenangan bersama ayahnya, terpaksa dijual. Pada masa pandemi, tidak mudah menemukan pembeli. Setelah menunggu beberapa bulan dengan kondisi yang semakin kritis, datanglah malaikat penolong–menurut ibu Jeje–bernama pak Arief. 

Pak Arief memberi penawaran sebesar sepertiga dari harga beli dua belas tahun yang lalu. Berdasarkan pandangannya, tawaran tersebut sudah sangat baik. Terdesak situasi dan merasa tidak mempunyai kekuatan untuk mengajukan jumlah yang lebih tinggi, ibu Jeje melepas rumah itu dengan berat hati.

Bayangan ‘malaikat penolong’ semakin nyata ketika pak Arief mengizinkan ibu Jeje beserta anak-anaknya tetap tinggal di rumah yang telah dibelinya. Bahkan, dia bersedia menanggung biaya hidup seluruh keluarga dan pendidikan anak-anaknya sampai mereka mandiri.

Tawaran yang sangat menarik itu sangat melegakan ibu Jeje. “Saya tidak minta balasan apa-apa, Bu. Jika diperbolehkan, anaknya yang besar itu menjadi ibu dari anak-anak saya. Istri saya yang sekarang, tidak dapat memberi keturunan,” ucap Pak Arief.

Tidak perlu berpikir panjang, ibu Jeje cepat-cepat menyetujuinya. Dia kuatir kelegaan yang baru saja menenteramkan, lenyap ketika menolak permintaan tersebut. Menurutnya, lebih mudah menghadapi Jeje ketimbang menjalani hidup serba kekurangan dan dikejar-kejar debt collector.

===

Akibat sorongan ibunya, kini Jeje berada hanya beberapa sentimeter dari suaminya. Pak Arief menangkap muka Jeje dan mencium kedua pipinya. Setelah itu, mereka berpamitan meninggalkan tempat tinggal keluarga Jeje menuju mobil yang parkir tepat di depan pagar. 

Sekali lagi, Jeje menyempatkan menatap Ibunya. Berharap namanya dipanggil untuk membatalkan pernikahan. Melepaskan rangkulan pak Arief yang membuat tubuhnya menggigil. Sebuah asa yang sia-sia.

Sebelum masuk ke mobil, ibunya menyerahkan sebuah kantong plastik berisi pakaian yang telah tertata rapi. Seluruh bajunya; tidak seberapa banyak. Tangan Jeje  hendak mengambil kantong plastik itu, tetapi kedua anggota badan tersebut seperti ada magnet yang mengarahkan untuk memeluk ibunya. Entah kenapa, Jeje merasa ini adalah pelukan terakhirnya. 

Kepasrahan Jeje melonggarkan pelukan pada ibunya. Adik-adiknya mendekat. Mereka tidak mengerti apa yang sesungguhnya terjadi. Mereka hanya merasakan ada kesedihan yang dialami kakaknya. Jeje mendekap mereka satu per satu.

Ibu dan adik-adik Jeje melepas kepergiannya dengan lambaian tangan. Kendaraan itu bergerak perlahan, menjauh. Kemudian melaju menuju rumah yang telah dipersiapkan pak Arief. Sekitar lima belas menit perjalanan, mobil yang ditumpanginya masuk ke garasi sebuah rumah yang asri. 

Bangunan itu lebih besar berkali-kali lipat dari rumahnya. Namun, dirinya tak dapat menikmati keharmonisan yang ada di kebun rumah itu, terasa asing. Kegelisahan mulai merasuk. Menyusul ketakutan.

“Ini tempat tinggal kita,” kata pak Arief seraya merangkul Jeje, mengajaknya masuk. Langkahnya ragu. Tetapi, tenaga pak Arief jauh lebih kuat. Setengah menyeretnya ke dalam kamar. Kantong plastik berisi baju di tangan Jeje terjatuh sebelum kakinya melangkah lebih lanjut. Dunianya berputar dan menjadi gelap; Jeje pingsan.

Jeje terbangun. Kebingungan. Pikirannya berputar mencari tahu keberadaannya. Belum pulih ingatannya, dia tersadar. Dirinya terbaring di tempat tidur yang asing. Selimut tipis menutup sebagian tubuhnya. Cukup untuk menghangatkannya dari dinginnya ruangan.

Lampu remang membantunya melihat keadaan di sekelilingnya. Di sebelahnya, terlihat sosok yang tidak begitu jelas sedang tidur pulas di bawah selimut yang sama. Daya ingatnya kembali seketika tentang pernikahannya. Secara reflek dia menyibak selimut dan segera bangkit dari pembaringan. 

“Aaaaa….,” teriaknya spontan. Perih di selangkangan membuatnya membatalkan berdiri. Jeje baru sadar, tidak ada sehelai benang pun di tubuhnya. Secepat kilat tangannya menarik selimut dan membebatkan di badannya. 

Sosok di sampingnya yang kini terlihat jelas tanpa busana, bergerak perlahan, terbangun. Dia tersenyum dan menarik badan Jeje, memeluknya erat. Jeje tenggelam di bawah tubuh kekar, hanya merasa perih yang teramat sangat. 

Masa remaja Jeje lenyap. Dia menjadi objek sex, pemuas hasrat berahi demi keluarganya. Perlahan tubuh di atasnya berpindah ke sebelahnya, menikmati kepuasan yang baru saja dicapai. Setelah itu, berjalan menuju kamar mandi.

Sementara, Jeje masih berbaring. Terpaku dengan apa yang baru saja terjadi. Bayangan ibu dan saudara-saudaranya menjadi kekuatan yang meringankan beban tanggung jawab. Senyuman mereka mengobati perih yang dirasanya.

Tiba-tiba ada rasa rindu yang teramat sangat, meskipun belum 24 jam  meninggalkan mereka. Jeje merasa ringan dan melayang-layang. Dari kejauhan, dia melihat ayahnya menghampiri kemudian memeluknya.

Pak Arief keluar dari kamar mandi. Senyuman yang menghiasi wajahnya berubah seketika setelah menyaksikan tubuh Jeje bersimbah darah. 

Pada saat yang sama, di ujung jalan rumah yang baru ditempati Jeje, seorang wanita melangkah dengan baju ternoda warna merah tua di beberapa tempat. “Rasakan Jeje, kamu telah merebut suamiku,”gumamnya.  

***

Ikuti tulisan menarik rosita sukadana lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu