x

Iklan

Juan Vint

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 8 Desember 2021

Rabu, 8 Desember 2021 23:57 WIB

Lelaki di Dalam Kardus

Seorang editor lepas yang mendapatkan klien penulis yang ternyata berhubungan dengan masa lalunya dulu

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Lelaki di Dalam Kardus

 

Ini harus diganti dengan kata ‘menunjukkan’ agar lebih efektif. Ah, ini lebih baik jika kata ‘hanya’ dihapus agar kalimat lebih enak dibaca.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Aku terus bergumam sendiri dengan layar komputer di hadapanku. Layar yang sudah dipenuhi oleh deretan kata dan kalimat, yang saling menunggu untuk diperiksa. Berkutat dengan berbagai naskah sudah menjadi makanan keseharianku. Apalagi jika bekerja menjadi peyunting naskah lepas.

 

Hari ini aku harus fokus menyunting naskah dari salah satu klien. Naskahnya memiliki judul “Lelaki di Dalam Kardus.” Naskah ini cukup menarik perhatian. Selain memiliki cerita yang aneh dan bahasa yang sulit dimengerti,  banyak sekali bagian cerita yang tidak memiliki hubungan dengan konflik utamanya.

 

“Baru pertama kali aku menyunting naskah seperti ini,” ujarku dengan mata yang masih fokus pada layar.

 

Jika dilihat, sepertinya naskah novel ini bergenre sastra. Genre ini cukup kuhindari karena makna cerita yang sulit dimengerti. Pada saat klienku meminta untuk menyuntingnya, aku sudah menolaknya mentah-mentah. Tapi ia bersikeras agar aku yang mengeditnya.

 

Tidak ada pilihan lain selain menerimanya. Lagipula, bayaran akan terus mengalir. Dan, tidak ada salahnya mencoba hal-hal baru, sekaligus bekerja. Tahap penyuntingan yang aku lakukan sudah hampir setengah. Artinya, sudah lumayan jauh. Sejauh ini tidak ada kesulitan dalam mengartikan beberapa kalimat dan diksi di naskah ini.

 

Sampai ketika aku menghadapi bagian bab konflik cerita. Pada bagian ini terdapat jalan cerita yang tidak masuk akal. Bahkan diksinya juga kurang bisa dimengerti. Aku mencoba membacanya berkali-kali, tapi tidak ada satupun hal yang bisa dipahami.

 

 “Kenapa ada cerita yang berkonflik seperti ini. Apakah ini salah tulis?” ujarku, mengarahkan kursor ke bagian tersebut dan langsung mencoretnya.  

 

Ketika sedang asik bekerja, tiba-tiba suara ponsel berdering kencang. Aku ingin mematikannya tapi, tindakan itu langsung kuurungkan ketika melihat nama kontaknya. Alison. Nama itu terpampang jelas di layar ponsel. Aku langsung segera mengangkatnya tanpa basa-basi.

 

[Halo, dengan James di sini.]

 

[Halo, James. Bagaimana perkembangan penyuntingan naskahku? Sudah sampai mana?]

 

 Aku menarik kursor laptop ke bawah untuk memastikan.

 

[“Sudah 70%. Aku sudah menyuntingnya sampai ke bagian konflik cerita]

 

[Ooo, kalau begitu apakah kita bisa bertemu? Ada beberapa hal yang ingin aku cek lagi.]

 

 [“Umm … tidak bisakah jika hanya di chat ?”]

 

[Boleh-boleh saja, tapi jika bertemu langsung kita bisa mendiskusikan beberapa bagian yang mungkin harus disunting atau tidak.]

 

 [Baiklah jika begitu. Kita mau bertemu dimana?]

 

[Di Kafe seberang apartemenmu saja. Di situ lebih dekat.]

 

[Oke, kalau begitu sampai jumpa di sana.]

 

[Iya, sampai jumpa.]

 

***

 

Jarak dari apartemen dan kafe sangat dekat. Hanya butuh berjalan 5 menit saja. Ketika sampai, aku langsung memesan segelas kopi caffe latte hangat untuk menjadi teman dalam menunggu. Hari ini langit mendung tetapi tidak hujan. Udara menjadi lebih dingin dari biasanya. Aku mengeluarkan laptop dan langsung menyalakannya.

 

Beberapa kali aku menyeruput kopi, menikmati rasa hangat yang turun dari mulut ke perut. Aku kembali memeriksa hasil penyuntinganku. Tidak lama kemudian, Alison akhirnya datang. Tanpa memesan apa pun dia langsung menghampiriku dan menagih pekerjaanku.

 

“Bolehkah aku melihatnya?” tanyanya.

 

Aku langsung menyerahkan laptop kepadanya. Ia tersenyum, matanya langsung fokus ke layar. Aku melihatnya mengangguk-anggukkan kepala. Aku kurang menyukai tanda itu. Ketika orang melakukan itu hanya ada dua hal yang ada di otaknya.  Diantara hasilnya baik, atau buruk.

 

“Humm … sejauh ini sudah bagus. Kau bisa mengerti apa yang tertulis di sini. Aku cukup kagum … ”

 

Aku bisa menghela napas lega ketika mendengar itu, tapi … ternyata …

 

“Hanya saja, aku tidak akan pernah mau setuju jika bagian ini dicoret.”

 

Alison langsung membalik layar laptop dan menunjukkan bagian cerita yang dicoret. Bagian itu adalah bagian yang tidak bisa aku mengerti. Aku sudah tau kalau Alison akan menyadarinya dan sudah menyiapkan penjelasan untuknya.

 

“Apakah kau yakin ingin memasukkan bagian itu? Bagian ini- ”

 

Aku mengambil laptop kembali dan menunjuk bagian itu.

 

“Bagian ini tidak perlu. Tokoh yang ada di cerita bisa berdiri sendiri tanpa ini. Cerita yang ditulis adalah mengenai seorang pria yang putus hubungan. Lantas mengapa harus ditambahkan hal itu? Apalagi itu seperti filosofi yang sulit dimengerti,” ujarku dengan wajah agak mengkerut, bingung.

 

Alison hanya tersenyum ketika mendengar jawabanku. Wajahnya terlihat santai, seperti diliputi kemenangan.

 

“James, apakah kamu sudah membaca keseluruhan naskah ini? Atau, jangan-jangan hanya sekilas saja?” tanyanya kepadaku.

 

“Ya, umm … aku membaca semuanya kok,” jawabku, sedikti ragu.

 

“Kamu tidak akan mencoret bagian itu jika kamu membacanya secara penuh. Lalu memangnya boleh ya jika seorang penyunting mencoret suatu bab novel tanpa persetujuan penulisnya? Apakah benar kamu ini seorang penyunting? Menurutku jika kamu mengerti kode etik penyunting, kamu tidak akan mencoret itu tanpa konsultasi dulu denganku.”

 

Pernyataan itu cukup menusuk hati. Tanpa disadari, kedua tanganku sudah terkepal erat di bawah meja. Aku merasa seperti sedang diuji. Aku merasa bahwa integritasku dipertanyakan oleh seorang penulis kecil yang bahkan baru akan menerbitkan buku. Aku merasa dihina dan direndahkan.

 

“Tarik kata-katamu tadi,” tuntutku, pelan, dengan wajah tertunduk.

 

“Kenapa? Apa ada yang salah? Bukankah semua itu benar? Aku berhak mempertanyakan kemampuanmu jika mengedit naskah seperti ini saja tidak bisa dan masih ada salah,” balasnya dengan nada yang tegas. “Aku ingin agar kamu membaca naskahnya lagi. Kali ini dengan lebih lengkap. Dan, bagian ini tidak boleh dihapus sama sekali.”

 

Pernyataan itu bagaikan ultimatum di telinga. Aku tidak punya pilihan lain selain menuruti kemauannya. Sepertinya sore ini akan menjadi sore yang sibuk..

 

“Jika kamu sudah mengerti, aku permisi dulu. Ada urusan lain yang harus kulakukan. Ingat, James. Baca yang lengkap,” ujarnya sambil beranjak bangun dan meninggalkan kafe.

 

Ia pergi meninggalkanku sendirian. Badanku terasa lemas ketika ia sudah pergi dari hadapanku. Aku baru tau kalau menahan amarah rasanya bisa sangat melelahkan.

 

“Sepertinya memang harus dibaca ulang,” gerutuku pelan.

 

Aku langsung menghabiskan kopi dan beranjak pulang. Sesampainya di kamar apartemen, Laptop langsung kubuka kembali. Aku membaca naskah itu sembari mengeceknya lagi. Kata-kata yang tadi Alison ucapkan masih terngiang-ngiang di otakku. Aku menjadi tidak fokus dan malah kesal sendiri. Kenapa sih aku mendapatkan klien seperti dia. Baru kali ini aku mendapatkan klien yang serepot ini. Padahal naskah ini tidak seberapa.

 

Karena kekesalanku tadi, terciptalah niat jahat di kepala. Aku ingin memberikannya sedikit pelajaran agar ia bisa lebih menghargai penyunting. Beberapa kalimat dan diksi kuhapus sampai hanya tinggal sedikit dalam satu paragraf.

 

Rasakan kau. Makanya jangan berani-beraninya merendahkanku, batinku dalam hati.

 

Aku terus melakukan itu sampai akhirnya sampailah juga di bagian yang bermasalah tadi. Aku masih ingin melancarkan niat jahat tadi, tapi timbul rasa penasaran juga dengan bagian ini. Alison ingin ini tidak dihapus, artinya bagian ini penting. Tanpa disadari, aku malah mulai membacanya. Ceritanya berisi seperti ini,

 

“Aku terobsesi dengan kesendirian. Aku terobsesi dengannya sampai-sampai aku rela melakukan apapun untuk mencapai kesendirian. Aku akhirnya mencapai tingkat dimana aku menikmatinya. Tapi, tingkat itu datang dengan konsekuensi yang harus dibayar. Untuk mencapai ini, aku menjadi rela mengorbankan cintaku.

 

Aku memutuskan hubungan dengan Alice. Aku memutuskan hubungan dengan dunia luar. Aku hanya terhubung dengan tempat dimana aku menyendiri. Aku suka dengan keadaan ini. Tapi, perasaan suka itu hanya sesaat. Ia datang dan pergi dengan cepat. Ketika semuanya terjadi, aku baru menyadari satu hal.

 

Aku seperti manusia yang terjebak di kandangnya, di tempatnya. Aku seperti manusia yang terkurung. Tidak bisa keluar untuk selamanya. Aku seperti manusia yang terjebak di sebuah sangkar. Bukan, sangkar bukanlah kata yang tepat untuk mendeskripsikan tempat ini.

 

Tempat ini lebih tepat disebut kardus. Kardus kecil yang mengurungku. Aku seperti lelaki yang terjebak di dalam kardus.”

 

Aku terpatung setelah membaca keseluruhan bab ini. Niat jahat tadi tiba-tiba luruh seketika. Mengapa … keadaan ini mirip denganku? Mengapa cerita ini sama dengan situasi 5 tahun lalu? Saat-saat itu adalah ketika keterpurukan menimpaku dan aku mulai menutup diri dari orang lain dan dunia. Apa jangan-jangan …

 

Aku langsung mengambil ponselku dan menghubungi Alison. Aku butuh penjelasan darinya. Apakah karena ini ia jadi menyuruhku untuk membacanya secara lengkap? Pesan apa yang ingin ia sampaikan? Semakin memikirkan itu, aku semakin penasaran.

 

Sudah lima kali aku menghubunginya, tapi tidak kunjung diangkat. Sepertinya ia sedang sibuk. Tapi, untung saja aku masih ingat alamat rumah yang ia pernah berikan. Tanpa pikir panjang, aku langsung pergi menuju alamat itu.

 

Gas mobil kutancapkan dengan kencang. Selama perjalanan, hatiku diisi oleh rasa penasaran yang diselimuti gelisah. Aku tidak sabar ingin menemuinya.  Tapi rasa takut juga menyelimuti akan apa yang akan terjadi nanti. Jarak dari apartemen ke alamat itu hanya beberapa meter sehingga hanya dibutuhkan waktu 30 menit untuk sampai

 

Ketika sampai, ternyata malah rasa kecewa yang menyambut. Rumahnya memang ada di dalam komplek. Tapi, ternyata sudah terbengkalai dan tidak berpenghuni. Aku mencoba untuk bertanya kepada satpam yang ada di situ. Ingin memastikan apakah benar jika ini rumah yang ada di alamat.

 

“Permisi, pak, apakah benar ini Jalan Melawai Blok A21 No. 33?” tanyaku kepada seorang satpam yang berjaga di pos depan.

 

“Iya kak, benar, tapi rumah itu sudah lama tidak ada penghuninya. Sudah terbengkalai selama 2 tahun,” jawabnya.

 

“Ooo … oke deh, kalau begitu terima kasih pak.”

 

Aku berjalan balik ke dalam mobil. Perasaan ingin mencoba sebenarnya ada, hanya saja keyakinan akan keberhasilannya sepertinya tida ada. Jadinya, menyerah adalah jalan yang harus dipilih.

 

Ketika aku ingin pergi dari tempat itu. Ada pesan yang tiba-tiba masuk. Aku langsung mengeceknya dan mendapati kalau nomornya baru dan tidak ada di kontak ponselku.

 

“Siapa ini? Apakah dari orang yang mau menawari kartu kredit lagi?” gerutuku sambil membuka pesannya.

 

Pesannya ternyata lumayan panjang. Aku langsung membacanya dengan pelan-pelan, sama seperti ketika membaca naskah tadi.

 

“Halo, James. Jika pesan ini terkirim artinya aku akan menghilang. Aku mohon untuk jangan mencoba mencari dan buanglah rasa penasaranmu. Aku tau itu karena kita pernah bersama selama beberapa tahun. Aku tau persis bagaimana kau yang selalu mempunyai rasa penasaran. Aku ingin menyampaikan sesuatu dengan pesan ini.

Yang pertama, namaku bukanlah Alison. Nama itu hanyalah nama samaranku agar aku bisa menghubungimu kembali. Yang kedua, kamu mungkin sudah mengenali diriku dari caraku mengirim pesan ini. Tapi, aku bukanlah orang itu. Orang itu sudah pergi bersama dengan dirimu 5 tahun lalu. Jadi, kamu salah jika mengira aku akan tetap sama.

Lalu, yang terakhir dan ketiga. Aku mohon untuk agar kamu berjanji akan menjaga naskah itu. Kalau bisa terbitkan. Aku ingin agar kenang-kenangan kita dulu dapat menjadi sebuah penyemangat untuk orang lain. Jika aku boleh jujur, aku masih sayang padamu. Untuk itu, aku mau memberikan sekeping kenangan indah kita dulu. Setidaknya hal ini juga bisa menjadi penyemangat dirimu.”

 

Hanya helaan nafas yang terdengar ketika pesan ini selesai kubaca. Sekarang aku menjadi mengerti dan tau segalanya. Aku akan menepati janjimu Alice. Aku akan menerbitkan naskah ini dan menjaganya. Sama seperti kita dulu yang sama-sama menjaga hati, sampai akhirnya pecah berkeping-keping.

Ikuti tulisan menarik Juan Vint lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler