x

Iklan

Resza Mustafa

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 14 November 2021

Jumat, 10 Desember 2021 13:08 WIB

Layang-layang Milik Zeus

Arme mengisahkan tentang masa kecil penuh pengalaman bermain. Hubungan kekerabatan terasa lebih seperti sepasang sahabat, memuat identitas Zeus sebagai sepupu yang jago memainkan layang-layang. Pada beberapa titik, Arme menyadari bahwa waktu terus bergerak maju. Membawa dia jauh dari saat pertama kali peradaban muncul oleh sebuah gambar kuno, manusia menerbangkan layang-layang, di gua Sugi Patani.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Seorang teman menerbangkan layang-layang, menghadap ke arah barat. Hampir setiap sore, di tanah lapang samping rumah. Seingatku, kalau tidak salah, itu adalah masa ketika rezim Saddam Hussein di Irak tengah saling adu rudal secara sengit melawan prajurit militer Amerika Serikat. Aku melihat temanku tersenyum, sambil memain-mainkan benang menggunakan tangan kanan, dibantu dengan tangan kiri yang mengukur dan membantu menahan.

Tentu untuk mengatur pergerakan dan jarak ketinggian. Terkadang dia mengulur benang, seolah sengaja melepaskan layang-layang itu agar terhempas dan mengikuti arah mata angin. Sebat, ditariknya senar benang itu dengan sangat cepat dan kuat memakai kedua tangan, seolah takut layang-layang itu akan mengembara lepas jauh ke suatu tempat.

Aku melihat dengan lamat, setiap gerakan yang dilakukan, sambil memakan kerupuk gorengan pasir favorit, serta sebungkus es teh buatan sendiri. Rasa penasaran mulai muncul, lantas kuhampiri.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Apa telapak tangan dan jarimu baik-baik saja?” tanyaku.

“Ya, apa yang salah dari caraku bermain layang-layang?” dia menoleh. Sebelum itu, aku melihat dia memang sangat serius dan berkonsentrasi saat memainkan layang-layang.

“Aku kira benang itu bisa melukai jari-jarimu, lihat betapa tajam,”

“Apa yang harus kita takuti dengan menggunakan benang ini? Tinggal pandai-pandainya kita saja. Luka, terkadang, tapi kalau tidak dirasakan, jadi tidak terasa,” ujar dia.

Aku melihat benang itu, sepintas memancarkan sinar pantulan dari sengatan mentari sore. Berkilau-kilauan, bercahaya, seperti kaca, sekejap kadang dapat membuat mata berkedip, silap kala menatap. Bahannya yang terbuat dari campuran logam, pecahan kaca, dan lem memang cukup berbahaya.

“Benar-benar tajam,” batinku.

***

 

Pada akhir pekan, tepatnya di hari libur mingguan Sekolah Dasar. Aku menyambangi rumah sepupu. Seperti anak kecil lain kebanyakan.

“Arme! Tangkap!” seru sepupu saat kami bermain bola di dalam rumahnya, di samping ruang tamu ada tempat yang masih kosong dan setidaknya dapat digunakan latihan tendang-menendang dengan menggunakan bola plastik. Kebetulan sedang giliranku berkesempatan jadi kiper.

“Aduh!” teriakku, karena bola gagal kutangkap dan justru meleset, mengenai sisi kanan wajahku. Rasanya seperti tertampar, agak panas. Namun aku bisa merasakan kebahagiaan luar biasa karena kami berdua bisa tertawa lepas, terbahak-bahak, terpingkal-pingkal, akan sebuah peristiwa yang menurut kami, benar-benar lucu.

Habis itu aku diajaknya ke tanah lapang, tepat di samping masjid, memainkan dan menerbangkan layang-layang. Buatannya sendiri! Bermodalkan benan terbaik yang dia simpan dan miliki, rasa riang dan senang, aku menemani dia berlari ke tanah lapang. Bergabung dalam kelompok, lalu bertemu dan diperkenalkan dengan teman-temannya.

“Siapa ini, Zeus?” salah seorang teman bertanya.

“Arme, adik sepupu. Anak Bu Lik,” jawab Zeus. Singkat.

Selain benang baru dan bagus, sepupuku Zeus juga membawa benang cadangan. Hasil dari usaha memenangkan pertarungan angkasa melawan teman-temannya yang digabungkan dengan hasil dari mengejar layang-layang putus akibat dihempas angin. Beberapa meter lainnya, juga ada yang didapat dari benang putus karena gesekan benang dari lawan main.

Benang-benang itulah yang dia kumpulkan dan lantas disambungkan secukupnya agar terlihat lebih panjang. Lalu dia gunakan untuk menerbangkan layang-layang kepunyaannya sendiri. Benang sambungan terasa lebih menarik karena dalam satu gulungan, bermeter-meter benang biasanya memiliki kualitas berbeda, selain itu juga warnanya semakin semarak, mirip pelangi.

“Hai Zeus! Sore ini berani bikin pertarungan angkasa?” sahut salah seorang teman sepupu, bertanya.

“Tentu saja Zeus berani!” aku berseru dari belakang, menyeringai, memberi Zeus dukungan.

“Itu ada! Sepertinya milik anak perumahan sebelah,” balas temannya.

Kami berdua bermain layang-layang, beberapa kali menang, sempat pula kalah dan harus kehilangan layang-layang andalan. Masa bermain yang sangat mashyuk dan asyik. Sampai tidak terasa sore tiba, senja melembayung di ufuk barat, aku membawakan layang-layang hasil kemenangan di angkasa dan hasil kejar-kejaran. Pulang membawa empat buah layang-layang terselempangkan di balik punggung. Lagaknya kesatria yang pulang dari arena pertempuran, aku berjalan dengan dada membusung dan kepala tegak.

***

 

Dari masa ke masa setiap orang memiliki pengalaman dalam perjalanan hidup, kemungkinan disertai rasa bahagia. Keriangan hati, dan mendapat kesempatan mengenal orang-orang baru pada suatu waktu melalui orang-orang terdekat. Layang-layang diterbangkan, dikendalikan dengan bantuan hembusan angin. Keahlian memainkan layang-layang bisa diukur melalui jarak ketinggian, bisa diadu dengan cara pertarungan angkasa guna menambah keuntungan dalam segi “mendapat hadiah” pada sebuah usaha permainan.

Namun waktu secara absolut tidak pernah bisa diterbangkan. Maupun dikendalikan. Waktu selalu berjalan, dari masa ke masa menuju sesuatu yang biasa kita sebut sebagai, masa depan.

Akhir-akhir ini aku mendengar suara layang-layang hias atau biasa disebut layang-layang besar dalam bahasa gaul kami kala sore tiba. Tak jarang, bahkan di siang hari pula. Beragam bentuk, jenis, dan ukuran. Saat aku tiduran di kamar, aku merasa layang-layang itu terbang ke arah tenggara, diterbangkan angin yang datang dari arah barat laut.

Kisah tentang layang-layang selintas mengingatkanku pada 1996, tentang seorang penjaga Gua Sugi Patani, di desa Liang Kabori, Pulau Muna, Sulawesi Tenggara. Dalam berita, tanpa sengaja dia menemukan sebuah gambar kuno, berbentuk seorang manusia yang menerbangkan layang-layang. Sejak detik awal dibuatnya gambar kuno itu, kukira jadilah dimulai, sebuah peradaban.

Ikuti tulisan menarik Resza Mustafa lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler