x

Iklan

Resza Mustafa

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 14 November 2021

Rabu, 2 Februari 2022 19:04 WIB

Pasir Pantai

Beberapa pantai menyimpan kenangan indah. Pada sebuah pantai harapan dan cita-cita pernah melangit tanpa kenal batas.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Seorang anak kecil lari terbirit-birit, dia berteriak dengan sangat kencang sambil menangis. Tanpa peduli kondisi sekitar, dia terus berlari, menuju ke rumah neneknya. Setelah sampai, sebat dia mencari air minum sebagai obat penenang dari rasa kaget.

“Ada apa Buyung?” tanya Nenek.

“Aku lihat kepiting, Nek. Ternyata bentuknya menyeramkan. Punya capit,”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Haha,” neneknya tertawa terpingkal-pingkal.

“Memang seperti itu, di mana kamu lihat?”

“Sungai, dekat jembatan kecil.”

“Oh. Syukurlah, asal tidak ketemu sama ular saja. Sama kepiting kok takut,”

“Kaget, Nek. Bukan takut, beda lah.”

“Ya sudah, ayo sana cepat mandi! Lihat itu celanamu, kotor, penuh pasir semua,”

Anak kecil itupun lantas pergi, mandi. Membasuh diri dengan air sumur yang payau. Banyak dari sebagian anak kecil memang takut dengan hal-hal baru yang ditemukan. Itu untuk pertama kali, dia melihat langsung hewan menyeramkan.

 

***

 

Seorang anak kecil berlari dengan sangat kencang, melawan arah angin yang datang dari barat. Mencoba meniru apa yang Cristiano Ronaldo lakukan saat berlatih menempa fisik dan kecepatan lari. Meninggalkan jejak-jejak kaki di pasir pantai. Gesit dan benar-benar membuat pasir bak debu berterbangan, berlari seperti seorang Gundala.

“Akulah Putra Petir!” teriak dia.

Pasir pantai akan selalu nampak berkilauan kala senja hari tiba. Pernah suatu ketika, anak kecil itu memakai pedometer dan dilihatnya angka-angka di sana, dia berlari sepanjang pantai, menyisiri tepi laut dalam jangka waktu 47 menit, kemudian dilihatnya pedometer dan ternyata dia telah menempuh jarak 3 Mil, 4,8 Kilometer. Mencatatkan kecepatan rata-rata 1,72 meter per detik.

Sementara dari kejauhan bapaknya mengamati, dengan serius. Seolah memberikan suntikan semangat agar terus berlari. Kencang, sekencang-kencangnya, gesit, dan terus menerus.

Memang hanya berlari, namun dalam sanubari yang paling terdalam, anak kecil itu memiliki keinginan, serta cita-cita yang besar. Ya! Dia ingin menjadi pemain sepak bola tim nasional. Mencantumkan nama di beserta nomor punggung favorit yang dia sukai, tentu saja. Menjadi bintang lapangan di stadion, disoraki para pendukung, dan dikenang aksi-aksi memukaunya demi membanggakan dan mengharumkan nama negara.

Tanpa terasa dia telah berlari sampai guyub seluruh badan. Terkena cipratan air dari ombak yang mengayun dari tepi pantai. Memangkas jarak pandang dari bapaknya yang telah lama mengamati secara intens.

Dia mendekat, menyeringai, “Lelah, Pak,”

“Lusa, giliran berlari ke puncak gunung, ya. Baru selepasnya kita ke toko, beli kaus, pelindung tulang kering, dan juga sepatu bola baru, ayo lekas pulang! Petang kian mendekat, Buyung,”

“Beruntung, tadi pas lari tidak ketemu kepiting,” batin si anak kecil. Terengah-engah, berjalan menunduk sambil mengelus dada, lega.

Ikuti tulisan menarik Resza Mustafa lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler