x

(Foto: Kabare.id/ Baskoro Dien).

Iklan

Geovanny Calvin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 2 Desember 2021

Senin, 13 Desember 2021 07:33 WIB

Yang Transenden dan Imanen (Analisis Teater Suara di Seminari San Dominggo Berjudul Pada Mulanya)

Teater Suara tampil dengan apik membawakan sebuah penampilan teater bertajuk "Pada Mulanya"

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Pada mulanya adalah hampa ….pada mulanya adalah kata...” seruan ini menjadi prolog dalam penampilan teater yang diselenggarakan di panggung Pesta Emas Seminari San Dominggo Hokeng pada Sabtu, 11 Desember 2021. Teater yang dilaksanakan secara outdoor tersebut sudah menghipnotis para penonton sejak detik pertama para aktor masuk ke panggung.
Adegan awal dikemas dengan sebuah arak-arakan dari 7 pria yang memikul sebilah bambu menuju pondok alang-alang di atas panggung atau yang biasa disebut Korke Bale. Ketujuh pria tersebut berkumpul di sekitar Nuba Nara, simbol yang mempersatukan masyarakat adat. Di tengah langit malam yang mencekam, ketujuh pria tersebut sontak berseru, “Kami butuh api. Kami mau api!” 
Di balik temaram, tepat di belakang penonton, seorang pembawa obor mendekat seakan mendengar doa-doa ketujuh pria tersebut. Perapian yang tadinya dingin dan senyap kini memNara di depan pondok beratap alang-alang. Seketika, semua aktor melakonkan tarian perang khas wilayah Adonara. Yang lain sedang duduk berkumpul sambil meneguk arak. Beberapa yang lain sedang menyabit rumput. Semua dinamika ini mencerminkan kesibukan masyarakat di kampung-kampung tradisional. Geliat euforia ini menutup adegan babak pertama.
Adegan kedua dibuka secara solo oleh seorang aktor pembawa tuak dalam bilah bambu. Ia segera berbaring terlentang di depan pondok. Ia bermimpi tentang sebuah tangga yang menjulur ke langit yang darinya para malaikat naik-turun dengan semarak. Setelah tersadar, sambil menunjuk Korke Bale tersebut, si pembawa tuak berujar, “Agung dan dahsyatlah tempat ini. Ini rumah Tuhan.” Selanjutnya, ia menunjuk kumpulan batu yang disebut Nuba Nara sambil mendaras, “Batu yang didirikan ini menjadi penanda Tuhan tinggal.”
Simbol-simbol budaya seperti Korke Bale dan Nuba Nara dikitari sambil para aktor berseru, “Ama Lera Wulan Tana Ekan..” (Tuhan Langit dan Bumi). Lantas, setelah semua seruan itu berakhir, pada aktor berkumpul di bawah lindungan atap Korke Bale.
Arak-arakan lain datang mendekat. Mereka terdiri atas para imam berjubah dan masyarakat tak berbaju sebagai representasi masyarakat kampung. Barisan yang teratur tersebut mengarak para imam untuk kemudian memimpin perayaan ibadat. Semua mendaraskan doa bersama. Di antara momen-momen tersebut, lima orang penyanyi menggaungkan lagu-lagu liturgi untuk mengiringnya. “O….ke manakah arah perahu?...,” demikian suara mereka mengisi relung hati para penikmat. Usai salib diangkat oleh seorang imam, terdengar darasan lagu Ina Maria. Lagu ini menutup seluruh rangkaian teater dua babak tersebut. Ditemani rintik, para penonton merasa puas dan tiada henti memberi apresiasi kepada para aktor Teater Suara yang disutradarai oleh siswa Kelas XII Yosua Pati Luon dan didampingi oleh RD. Inosensius Koten.


Penyatuan yang Imanen dan Transenden
Teater dua babak yang digarap oleh Teater Suara mewariskan sebuah kisah tentang peralihan besar dalam sejarah masyarakat NTT, khususnya tentang kepercayaan terhadap yang transenden dan imanen. 
Korke Bale, Nuba Nara, aktor tanpa berbaju, obor, menyabit rumput, minum tuak, dan tarian perang merupakan simbol-simbol budaya yang kental. Semuanya berbicara tentang sebuah identitas kultural yang sama. Semua atribut ini merupakan produk budaya masyarakat dan dengan demikian bersifat imanen. 
Yang imanen selalu bersifat melekat dengan realitas material dan terungkap dalam bentuk-bentuk budaya. Yang imanen terungkap dalam solidaritas saat minum tuak dari bilah-bilah bambu, atau dalam upacara-upacara adat yang selalu dilaksanakan di sekitar Nuba Nara. Rutinitas masyarakat yang dilukiskan dalam teater juga adalah bentuk-bentuk realitas imanen; menyabit rumput, hidup berpenerang obor, menari di sekeliling api, melangsungkan ritual dan masih banyak lagi.
“Kami butuh api!” Seruan ini menjadi titik tolak pergeseran besar. Api merupakan simbol kekuatan yang dipercaya berasal dari dunia yang lebih tinggi. Kerinduan atasnya merupakan sebuah kerinduan terhadap sesuatu yang melampaui dunia imanen atau dengan kata lain melampaui dunia itu sendiri. Realitas ini disebut yang transenden. Yang transenden adalah api yang menerangi dunia material manusia. Ia menjadi sumber kekuatan untuk memberi makna yang besar terhadap kehidupan.
Seluruh dinamika adegan babak pertama menggambarkan sebuah citra kehidupan imanen manusia yang sibuk dengan realitas materialnya dalam budaya. Namun, di balik semua kesibukan itu ada sebuah kerinduan yang terpendam terhadap yang transendental, terhadap “api”, yang memberi kekuatan dan makna atas hidupnya. Ia dikenal sebagai Tuhan. Meskipun demikian, Tuhan tidak sekedar hanya dirindukan, tetapi “dibutuhkan” oleh manusia.
Pola hidup tradisional yang melihat Tuhan secara implisit dalam ungkapan budaya, kini diperjelas secara meyakinkan. Korke Bale dan Nuba Nara merupakan simbol kultural, tanda persatuan antara yang transenden dan imanen. Tapi kedua simbol tersebut masih melihat Tuhan sebagai sebuah kekuatan yang anonim, tanpa nama dan identitas jelas. Tuhan masih disamakan dengan kekuatan alam dan roh-roh leluhur. 
Adegan-adegan babak kedua menjembatani pergeseran menuju yang transendental secara lebih eksplisit. Hal ini digambarkan melalui kedatangan arak-arakan para imam yang memimpin ibadat. Peran mereka melukiskan peristiwa sejarah para misionaris.
Dalam sejarah, kedatangan para misionaris perintis di tanah Flores menjadi penanda besar atas sebuah akulturasi masif. Gereja Katolik hidup berdampingan dan mengembangkan model-model budaya lokal. Konsep keTuhanan diperkenalkan berdasarkan wahyu agama, tetapi tidak menafikan iman implisit yang terpendam dalam bentuk-bentuk kebudayaan setempat. Ungkapan “Ama Lera Wulan Tana Ekan..” (Tuhan Langit dan Bumi) yang sudah diungkapkan oleh masyarakat Lamaholot sebelum kehadiran doktrin Gereja meyakinkan kita bahwa iman sudah hidup di tengah mereka dalam bentuknya yang paling primitive. Rutinitas imanen masyarakat tradisional sudah mengandung realitas transendental dalam dirinya.
Misi Gereja Katolik awal di Flores dibawa oleh misionaris Ordo Dominican tahun 1630. Karya mereka kemudian dilanjutkan oleh misionaris Yesuit sejak tahun 1859 hingga 1914. Dalam perkembangan selanjutnya, Societas Verbi Divini (SVD) yang berpusat di Steyl, Belanda melanjutkan estafet misi tersebut. Para perintis ini berjumpa dengan masyarakat lokal yang sudah terlebih dahulu menganut kepercayaan asli, dengan segala bentuk ungkapan budaya yang bervariasi. Hal ini menegaskan bahwa, kalangan masyarakat tradisional sudah memiliki emosi dan perasaan religius atas yang transenden. Misi Gereja bukan merombak semua tatanan yang ada, melainkan memberi bentuk yang eksplisit dan memperdalam iman tersebut.
Teater bertajuk ‘Pada Mulanya’ mengajak para penikmatnya untuk menghargai kekayaan budaya lokal. Kebijaksanaan yang terkandung dalam ungkapan dan ekspresi budaya barangkali bisa menjadi sebuah sarana untuk memperdalam kandungan iman dan mengejawantahkan cinta kita pada yang transenden, Tuhan. Menjadi berbudaya bukan berarti menjadi tak beriman. Justru iman terhadap yang transenden terungkap jelas melalui realitas budaya yang imanen.
“Kami datang bukan untuk sebuah nama. Kami datang untuk sebuah pesan,” demikian seruan para anggota Teater Suara saat menyatakan semboyan mereka di akhir penampilan. Sesaat kemudian, hujan mengguyur deras, barangkali sebuah tanda bahwa alam semesta sepakat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ikuti tulisan menarik Geovanny Calvin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler