x

Ilustrasi membaca buku. Dok: Pexels.com

Iklan

Maulida meisya

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 14 Desember 2021

Selasa, 14 Desember 2021 14:54 WIB

Makna Dibalik Puisi Telinga Karya Sapardi Djoko Damono

Makna Puisi Telinga karya Sapardi Djoko Damono ini adalah pertemuan antara Bima dengan Dewa Ruci. Bima diperintahkan untuk masuk ke tubuh Dewa Ruci melalui telinganya agar ia dapat belajar makna kehidupan di dalam tubuh Dewa Ruci

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Seperti yang kita ketahui, bahwa Sapardi Djoko Damono atau lebih kerap disapa dengan SDD adalah penyair berkebangsaan Indonesia yang sangat terkenal, bahkan beliau pun terkenal pula sebagai dosen, pengamat sastra, kritikus sastra, serta pakar sastra. Karya-karya beliau sangat terkenal di kalangan masyarakat, salah satu karyanya ialah puisi Telinga yang terdapat dalam kumpulan puisi Perahu Kertas yang terbit pada tahun 1983. Berikut ini merupakan puisi Telinga karya Sapardi Djoko Damono.
 
TELINGA
 
“Masuklah ke telingaku,” bujuknya.
Gila:
ia digoda masuk ke telinganya sendiri
agar bisa mendengarkan apa pun
secara terperinci—setiap kata, setiap huruf,
bahkan letupan dan desus
yang menciptakan suara.
“Masuklah,” bujuknya.
Gila! Hanya agar bisa menafsirkan sebaik-baiknya apa pun yang dibisikkannya
kepada diri sendiri.
 
Setelah membaca puisi di atas, mungkin banyak yang bertanya-tanya tentang makna dibalik puisi tersebut, terutama pada bait "ia digoda masuk ke telinganya sendiri". Mengapa ia digoda masuk ke telinganya sendiri? bukankah perbuatan tersebut tak masuk akal? karena tidak mungkin seorang manusia yang sebesar ini dapat masuk ke telinga yang sangat kecil, lalu siapa yang membujuk untuk masuk ke dalam telinga?
Untuk itu, penulis akan sedikit memaparkan tentang makna dibalik puisi Telinga ini dan untuk dapat memahami puisi tersebut pembaca disarankan untuk memahami kisah Dewa Ruci terlebih dahulu.
 
Kisah Dewa Ruci ini berasal dari Kitab Nawa Ruci yang diambil alih oleh Hardjowirogo (1982), Sri Muljana (1983), Magnis-Suseno (1984), dan Siswoharsojo (1979). Inti dan alur ceritanya tetap sama, hanya saja dalam bahasa pengucapan dan gaya penyajian dibuat dengan ciri khas oleh masing-masing penulisnya.
 
Kisah ini bermula saat Bima sedang dalam perjalanan untuk menemui Dewa Ruci atas perintah pendeta Dorna untuk menemukan wit gung susuhing tapa angin di Gunung Candramuka. Setelah melalui perjalanan yang panjang dan mengalami beberapa rintangan, akhirnya Bima bertemu dengan Dewa Ruci. Dewa Ruci bermakna halus, halus yang dimaksud ialah halusnya jiwa Bima, yaitu pribadi yang sesungguhnya dari Bima. Oleh sebab itu, wujud dari Dewa Ruci adalah serupa dengan wujud Bima, tetapi dalam bentuk kecil. Hal ini serupa dengan bait puisi diatas yang berbunyi "ia digoda masuk ke telinganya sendiri", mengartikan bahwa jiwa Bima memerintahkan Bima untuk masuk ke telinganya sendiri.
 
Bima diperintahkan untuk masuk ke dalam tubuh Dewa Ruci melalui telinga kirinya. Awalnya Bima sedikit bimbang dengan perintah tersebut, tetapi karena ini atas perintah Dewa Ruci, Bima pun masuk ke dalam tubuh Dewa Ruci melalui telinga sebelah kiri. Telinga kiri memiliki makna dapat berfungsi untuk membersihkan noda-noda dan kotoran yang terdapat di dalam jiwa seseorang.
Saat berada di dalam tubuh Dewa Ruci, awalnya Bima hanya menemukan alam suci yang tidak ada noda sedikitpun. Lalu, semakin lama Bima mulai memahami bahwa ia sedang belajar makna kehidupan di dalam sana. Kemudian, lambat laun Bima mulai melihat kehidupan di dalam tubuh Dewa Ruci, seperti matahari, tanah, gunung, dan laut. Tahap ini dinamakan dengan tahap yang sudah terdefinisi oleh ketentuan konsep pemikiran manusia. Pada tahap ini pula, Bima melihat isi hati manusia yang meliputi baik dan buruk. Selain itu, Bima juga melihat nafsu-nafsu yang ada pada diri manusia yang bermakna bahwa manusia harus dapat menjaga hawa nafsunya agar terhindar dari perbuatan tercela. Hal ini juga mengajarkan bahwa manusia harus mempunyai budi pekerti yang luhur dan mulia, serta suci lahir dan batin.
 
Selanjutnya, Dewa Ruci mulai memberi nasihat-nasihat kepada Bima, termasuk nasihat dari Pendeta Dorna yang diberikan kepada Bima tentang wit gung susuhing tapak angin yang sebenarnya merupakan teka-teki silang. Sayangnya, saat Pendeta Dorna memberi perintah tersebut, Bima tidak dapat menangkap isyarat yang diberikan olehnya.
Wit artinya pohon atau mula-mula, yaitu melambangkan kehidupan yang berasal dari Karsa Tuhan. Gung berasal dari kata agung, yang artinya besar. Susuhing tapak angin artinya sumber kehidupan. Makna keseluruhan dari wit gung susuhing tapak angin adalah bahwa hidup itu berasal dari karsa Tuhan Yang Mahabesar, sumber kehidupan pun dari Tuhan, maka kelak manusia juga akan kembali kepada Tuhan.
 
Penulis menyimpulkan, bahwa ilmu yang Bima dapatkan dari Dewa Ruci ini adalah agar ia dapat mengetahui dan mengenal dirinya sendiri, serta alam sekitarnya. Dengan demikian, ia dapat mencapai kesatuan dengan Tuhan, yakni dengan menghubungkan diri dan mendekatkan dirinya kepada Tuhan.
Dari kisah Dewa Ruci di atas, dapat dipahami bahwa makna dari puisi Telinga yang ditulis oleh Sapardi Djoko Damono adalah hubungan manusia dengan tuhannya, beliau menyajikan puisi yang bermakna bahwa manusia dapat menerima segala pengetahuan dari Tuhannya melalui pengalaman spiritual.
 

Ikuti tulisan menarik Maulida meisya lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu