x

Ilustrasi Band. Rahul Pandit/Pixabay.com

Iklan

atmojo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 16 Desember 2021 19:48 WIB

Musica Menguji, Musisi Melawan: Sebuah Pengantar

Musica Studios mengajukan permohonan uji materi UUD Hak Cipta. Ada pasal yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945, dan meminta agar masa pengembalian hak cipta lagu menjadi 70 tahun. Apa dampaknya buat perusahaan film?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Apa konsekuensi bagi dunia bisnis, khususnya dunia rekaman musik, jika permohonan uji materi Undang-Undang Hak Cipta yang diajukan oleh PT Musica Studios dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK)? Seperti kita ketahui, setelah  7 (tujuh) tahun Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang terakhir disahkan, November lalu PT Musica Studios melalui kuasa hukumnya, Otto Hasibuan & Associates,  mengajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).  Ada 4 (empat) pasal yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945, yakni pasal 18, Pasal 30, Pasal 122, dan Pasal 63.  Sedangkan yang dijadikan batu uji adalah Pasal 28H Ayat (4), Pasal 28 D Ayat (1), Pasal 28 I Ayat (2) UUD 1945.

Jika MK mengabulkan, meskipun putusan tersebut mestinya tidak berlaku surut ke belakang, para pemilik studio musik atau rekaman bakal tersenyum makin lebar.  Apalagi jika MK menyetujui bahwa pembelian hak cipta tidak harus dikembalikan kepada pencipta setelah dua puluh lima tahun, tetapi tujuh puluh tahun. Maka kesempatan untuk mengeksploitasi hak ekonomi sebuah lagu bisa lebih panjang.

Sedangkan bagi pencipta, rentang waktu 70 tahun bakal dirasa terlalu lama. Itu sebabnya, untuk menghindari masa tunggu yang lebih lama, termasuk untuk memenuhi rasa keadilan, beberapa pencipta lagu – baik perorangan maupun melalui beberapa organisasi – berencana untuk mengadakan perlawanan di MK.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Lalu bagaimana jika sebaliknya, yakni  permohonan Musica itu ditolak? Keadaan tidak akan banyak berubah, kecuali mungkin keengganan beberapa pemilik studio untuk membeli lagu baru. Tapi semua itu tergantung dari kalkulasi bisnis mereka. Jika studio musik ingin terus menjual fonogram atau melihat ada peluang lain, pembelian bisa saja terus berlangsung asal harga cocok.

Apa yang dilakukan Musica ini, disadari atau tidak, bakal berdampak juga pada jenis usaha yang lain. Sebab pembeli hak cipta lagu tak hanya perusahaan rekaman, tetapi juga beberapa institusi lain, sebut misalnya Production House (PH) yang memproduksi film atau iklan serta perusahaan lain untuk kepentingan tertentu. Pertanyaannya, apakah jika permohonan Musica itu diterima, maka putusan itu juga berlaku untuk perusahaan film dan lainnya? Harusnya demikian. Sebab Pasal 18 dan Pasal 30 itu lebih luas atau bersifat umum. Tidak untuk produser fonogram saja.

Nah, agar lebih jelas bagi masyarakat umum, berikut beberapa pasal yang diuji oleh Musica Studios tersebut. Pertama, Pasal 18 UU Hak Cipta yang berbunyi:  “Ciptaan buku, dan/atau semua hasil karya tulis lainnya, lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks yang dialihkan dalam perjanjian jual putus dan/atau pengalihan tanpa batas waktu, Hak Ciptanya beralih kembali kepada Pencipta pada saat perjanjian tersebut mencapai jangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun.” Atau setidaknya, kata pihak Musica, frasa yang berbunnyi: “lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks” yang ada dalam pasal tersebut. Sebagai batu uji, mereka merujuk pada Pasal 28 H Ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi: “Setiap orang berhak mempunyai Hak Milik pribadi dan Hak Milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun”, dan Pasal 28 D Ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”

Pasal kedua yang diuji adalah Pasal 30 UU Hak Cipta yang berbunyi: “Karya Pelaku Pertunjukan berupa lagu dan/atau musik yang dialihkan dan/atau dijual hak ekonominya, kepemilkan hak ekonominya berakih kembali kepada Pelaku Pertunjukan setelah jangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun.” Batu ujinya sama dengan pasal sebelumnya.

Sebagai catatan, Pelaku Pertunjukan yang dimaksud dalam UU Hak Cipta adalah “seorang atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama menampilkan dan mempertunjukkan suatu Ciptaan.” Pelaku Pertunjukan ini, selain memiliki Hak Ekonomi, juga memiliki Hak Moral yang melekat, misalnya, pencantuman nama, distorsi atau mutilasi Ciptaan yang merugikan kehormatan dan reputasinya.

Sedangkan Hak Ekonomi Pelaku Pertunjukan, antara lain,hak melaksanakan sendiri,memberikan izin, atau melarang pihak lain untukmelakukan:a. Penyiaran atau Komunikasi atas pertunjukan Pelaku Pertunjukan;b. Fiksasi dari pertunjukannya yang belum difiksasi; c.Penggandaan atas Fiksasi pertunjukannya dengan caraatau bentuk apapun;d. Pendistribusian atas Fiksasisalinannya;  pertunjukan atau penyewaan atas Fiksasi pertunjukan atau sailinannya kepada publik; danf. penyediaan atas Fiksasi pertunjukan yang dapat diakses publik.

Adapun perusahaan rekaman, dalam UU Hak Cipta disebut Produser Fonogram, juga memiliki Hak Ekonomi yang meliputi hak melaksanakan sendiri, memberikan izin, atau melarang pihak lain untuk melakukan: a. Penggandaan atas Fonogram dengan cara atau bentuk apapun; b. Pendistribusian atas Ponogram asli atau salinannya; c. penyewaan kepada publik atas salinan Fonogram; dan d. penyediaan atas Fonogram dengan atau tanpa kabel yang dapat diakses publik.

Pasal ketiga UU Hak Cipta yang dijui adalah Pasal 122, yang berbunyi: “ Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, perjanjian atas Ciptaan buku dan/ atau hasil karya tulis lainnya serta lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks yang dialihkan dalam perjanjian jual putus dan/atau pengalihan tanpa batas waktu yang telah dibuat sebelum berlakunya Undang-Undang ini dikembalikan kepada Pencipta dengan ketentuan sebagai berikut:

  1. Perjanjian jual putus yang pada saat diberlakukannyaUndang-Undang ini telah mencapai jangka waktu 25 (duapuluh lima) tahun dikembalikan Hak Ciptanya kepadaPencipta 2 (dua) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini;
  2. Perjanjian jual putus yang pada saat diberlakukannya Undang-Undang ini belum mencapai jangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun dikembalikan Hak Ciptanya kepada Pencipta setelah mencapai 25 (dua puluh lima) tahun sejak ditanda tanganinya perjanjian jual putus dimaksudditambah 2 (dua) tahun.

Atau, setidaknya, kata Musica, frasa yang berbunyi:  “Lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks” yang ada dalam Pasal 122 tersebut. Sebagai batu ujinya, masih sama dengan dua pasal yang diuji sebelumnya  (Pasal 28H dan Pasal 28 D).

Pasal keempat UU Hak Cipta yang diuji adalah Pasal 63 Ayat (1) huruf (b), yang berbunyi: “Perlindungan Ekonomi bagi Produser Fonogram, berlaku selama 50 tahun sejak Fonogramnya difiksasi.” Batu ujinya adalah Pasal 28 H Ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.” Dan Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: “Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”

Hak Cipta sebagai benda bergerak tak berwujud (intangible object) memang dapat dialihkan kepemilikannya atau diperjualbelikan. Peralihan baik seluruh atau sebagian Hak Cipta ini, antara lain dapat dilakukan dengan cara perjanjian tertulis. Dalam hukum perdata, perjanjian jual beli ini dimaknai sebagai “suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang tekah disepakati (Pasal 1457 KUHPerdata). Isi perjanjian bisa macam-macam tergantung kesepakatan para pihak. Di situ berlaku asas pacta sunt servanda, yakni “semua poerjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya (Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata).

Umumnya, pengalihan atau penjualan Hak Cipta dari Pencipta kepada orang lain dilakukan denga sistem flat pay atau jual beli putus, yakni pemohon membayar di muka berupa sejumlah uang kepada Pencipta sesuai kesepakatan. Bentuk atau cara pengalihan hak ekonomi yang lain bisa berupa pewarisan, hibah, wakaf, wasiat, atau sebab lain yang dibenarkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

            Dalam konteks pembuatan fonogram, pihak studio juga bekerjasama dengan penyanyi dan pemain musik, yang dalam UU Hak Cipta kemudian disebut sebagai Pelaku Pertunjukan tadi. Kepadamereka juga harus dilakukan sebuah perjanjian tersendiri. Lalu, setelah merekam Ciptaan lagu dan karya Pelaku Pertunjiakn, maka hasil rekaman tersebut dikenal sebagai Master Rekaman atau Fonogram, yakni fiksasi suara pertunjukan atau suara lainnya, atau representasi suara lainnya, atau representasi suara, yang tidak termasuk bentuk fiksasi yang tergabung dalam sinematografi atau Ciptaan audiovisual lainnya (Pasal 1 angka 14 UU Hak Cipta).

Lalu apa yang diminta yang Musica dalam petitumnya? Singkat cerita, Musica meminta agar MK menjatuhkan putusan dengan amar bahwa Pasal 18 dan pasal 122 UU Hak Cipta betentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat atau setidaknya frasa “lagu dan/atau music dengan atau tanpa teks dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap. Demikian juga dengan Pasal 30 agar dinyatakan sebagai betentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap. Lalu Pasal 63 ayat (1) huruf (b) UU Hak Cipta dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tdak dimaknai “Selama 70 (tujuh puluh) tahun”.  Sehingga Pasal 63 ayat (1) huruf (b) UU Hak Cipta selengkapnya akan berbunyi: “Perlindungan Hak Ekonomi bagi Produser fonogram, berlaku selama 70 (tujuh puluh) tahun sejak fonogramnya difiksasi.” Lalu, MK diharapkan menyatakan bahwa Pasal 18 dan Pasal 122 UU Hak Cipta dihapus atau setidaknya frasa yang berbunyi “Lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks”. Dan terakhir, menyatakan bahwa Pasal 30 UU Hak Cipta dihapus.

Seperti biasa, sebelum menjatuhkan putusannya, MK akan mendengarkan pendapat dari banyak pihak, termasuk pendapat ahli. Bagi Musica, dugaan saya, mungkin lebih lancar dalam memaparkan argumennya. Yang justru harus berjuang lebih keras adalah pihak pencipta atau musisinya. Salah satu yang cukup penting untuk dimunculkan adalah latar belakang timbulnya beberapa pasal yang menyatakan bahwa setelah 25 (dua puluh lima) tahun hak cipta yang sudah dijual putus beralih kembali kepada penciptanya. Pastilah ini ada hubungan dengan situasi pada saat undang-undang itu dibahas di DPR, dan berkaitan juga dengan falsafah perlindungan hak cipta pada umumnya. Akankah perdebatan nanti bakal membawa-bawa nama John Locke dan Friederich Hegel? Atau dimulai dari adanya ‘Auteurswet 1912’ di zaman Hindia Belanda? Kita tunggu saja.

                                                                       ###

Ikuti tulisan menarik atmojo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler