x

Gambar oleh Sunsetrain (www.kaskus.co.id)

Iklan

Annisa Nurul Fadhlillah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 20 Desember 2021

Selasa, 21 Desember 2021 09:53 WIB

Petualangan Hangat Tak Terduga


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Awan kelabu melayang-layang di langit, menutupi sinar matahari yang cerah. Angin yang dingin terus berhembus melewati kampung halaman tempat tinggalku. Suara deburan ombak dapat kudengar dengan jelas dari tempatku berdiri. Di sinilah aku, berdiri di tepi pantai, memejamkan mata sembari menghirup udara dingin yang beraroma khas garam dari laut, suara burung yang berterbangan dan ombak juga menemaniku. Nori, anjingku, sedang senang bermain dengan pasir sambil berlarian. Kelucuannya selalu berhasil membuatku tersenyum.

“Nori, pulang, yuk?” ajakku. Nori menoleh, seakan mengerti dengan ajakanku, ia berlari kecil mendekatiku setelah mengibaskan bulu tebalnya, membuat butiran pasir berterbangan. Aku mulai berbalik badan, berjalan kembali ke rumah dengan Nori di sampingku, sesekali menendang pasir berhamburan. Hingga aku melihat ada sesuatu yang muncul dari gundukan pasir, membuatku penasaran dan mendekati gundukan itu. Nori yang ikut penasaran, menggali barang–atau apapun yang tertimbun keluar dari pasir, yang rupanya adalah botol kaca. Ia mengonggong dan menjulurkan lidahnya, mensyaratkanku untuk mengambil hasil galiannya.

Botol kaca itu ada di tanganku sekarang, di dalamnya terdapat lembar kertas tua yang tergulung. Alisku mengerut, rasa penasaranku meningkat, banyak pertanyaan bermunculan di kepalaku. Kira-kira ini apa, ya? Ini mengingatkanku dengan film-film yang pernah ku tonton. Semoga ini bukan sesuatu yang berbahaya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tanganku tergerak untuk mengeluarkan kertas itu yang untungnya tidak sulit, teksturnya terasa kasar. Dengan hati-hati aku membuka gulungannya, menyipitkan mataku saat ada cahaya yang bersinar sekejap. Kata-kata yang tertulis di kertas tampak seperti emas yang bersinar. Mataku melebar setelah selesai membaca isinya. “Huh…? Aku harus pergi ke tempat yang tidak diketahui untuk menyelamatkan…sesuatu? Apa maksudnya? Haruskah kita lakukan ini?” Aku bertanya-tanya, raut wajahku berubah. Kepalaku memiring ke arah Nori, ia mengeluarkan gonggongannya lagi sebagai tanggapan.

Dari sinilah aku memulai petualangan yang tak terduga, dengan anjingku yang setia di sisiku. Aku mulai mengikuti instruksi menggunakan peta yang ada, kami diantar ke tempat semacam gua. Jalan masuknya terlihat mengerikan, dinding pintu masuknya nampak seperti rahang monster. Dengan ragu-ragu, aku melangkah ke dalam. Nori merintih ketakutan, tetapi tetap mengikutiku di samping.

Dingin. Gelap. Sunyi. Hanya terdengar suara langkahku yang menggema dan tetesan air dari atas, sinar cahaya dari kertas di tanganku juga, uniknya dapat menerangi jalan. Semakin dalam aku berjalan, hawanya semakin hangat, seperti ada sumber panas di tengah-tengah gua. Nori pun merasakannya, dan tiba-tiba ia berlari masuk, aku tersentak dibuatnya. “Nori, tunggu! Nanti kamu bisa terluka!” aku berlari mengikutinya. Pilihan bodoh. Lantai guanya sangat licin dan aku hampir saja terpeleset.

Nori terus berlari ke arah sisi lain gua. Sisi ini terasa lebih hangat dan tidak gelap lagi. Anjingku itu akhirnya berhenti, tepat 1 meter di depannya terdapat sesuatu yang mengeluarkan cahaya yang berapi-api. Aku dengan hati-hati mendekatinya, sangat pelan, takut jika sesuatu yang aku lihat adalah makhluk hidup yang dapat membahayakanku dan Nori, sedangkan ia duduk mengerang. Rasa takut, khawatir, dan penasaran bercampur jadi satu.

Aku mengamati dengan seksama. Rupanya dugaanku benar. Objek bercahaya yang kami lihat ini hidup dan bernafas. Ada kepulan asap keluar dari hidung makhluk berwarna merah tua ini. Ukurannya seperti kucing besar. Kulitnya bersisik seperti kadal. Sayap yang kasar menempel di punggungnya. Ujung ekornya berbentuk layaknya panah. Cakar di kakinya nampak sangat tajam dan siapapun yang terkena itu akan mempunyai luka dalam.

Kakiku melangkah mundur. Otakku masih memproses. “Ini terlihat seperti…,” ucapanku terhenti sejenak, mulutku menganga, terpesona dengan makhluk di depanku, “seekor naga…”

Seolah-olah merasakan kehadiranku dan kawan kecil di sebelahku, seluruh gua yang kami masuki ini bergetar dan bergemuruh, batu stalaktit berjatuhan ke tanah. Nori menggonggong ketakutan dan langsung berbalik arah untuk lari keluar, ke tempat kami datang tadi. Aku yang sangat panik tanpa berpikir lebih lanjut meraih naga kecil itu, menggendongnya di pelukanku.

Aku terdiam sejenak, masih terpesona oleh rupanya yang indah walaupun kulitnya kasar. Untung, kulitnya tidak panas seperti yang kubayangkan. Ia hangat. Hangatnya terasa seperti bantal pemanas yang biasa ku gunakan saat datang bulan ̶  ah lupakan. Lalu aku bergegas lari keluar, menyusul Nori yang menungguku dengan tatapan takut.

Gua terus bergetar, formasi batu-batu masih berjatuhan, semuanya hancur. Dengan cahaya naga yang ada di dekapanku, aku bisa melihat dengan baik dalam kegelapan. Di ujung sana sudah terlihat cahaya dari pintu masuk gua, dengan Nori yang terus mengeluarkan gonggongannya. Aku menghela nafas lega.

Langkahku berhenti tepat di pintu masuk, mengatur nafas dengan kasar. Awan mendung di luar tidak pernah terasa semenyenangkan ini sebelumnya. Jantungku masih berdebar. Aku sedikit merasa pusing karena takut akan terjebak di dalam, atau lebih parahnya, mati di tempat. Bayangan itu membuatku bergidik, gila…kalau aja aku nggak langsung lari kayaknya bakal betulan mati di tempat.

Mataku mengerjap cepat, pandanganku teralih ke naga kecil yang kudekap. Ia sudah bangun rupanya. Kedua mata yang dimilikinya berwarna biru cerah, sangat indah. Sambil tersenyum ragu, aku meletakkan naga itu ke bawah. Kedua sayapnya direntangkan. Ia menatapku dengan sesama lalu mengedipkan matanya padaku sebelum terbang ke udara dengan kepakan sayapnya yang lebar. Makhluk merah itu berputar di langit menembus awan mendung, dan sekilas aku dapat melihat cahaya matahari di balik awan menyinari tubuhnya.

Aku melangkah maju untuk menyaksikan naga kecil itu terbang, namun aku tersandung. Kakiku tidak sengaja menendang sesuatu di tanah. Ternyata ada botol kaca, lagi. Aku meraihnya, berusaha untuk mengeluarkan kertas yang terdapat di dalamnya. Ku buka gulungan kertasnya, huruf-hurufnya sama seperti kertas sebelumnya, warnanya bersinar.

Dengan cepat aku membaca isinya. Aku terkesiap, rupanya aku telah berhasil menjalankan misi yang diberikan padaku 2 jam yang lalu. Pandanganku menemukan anjingku, mulutku terbuka. Nori memiringkan kepalanya, seperti menanyakan ada apa. “Nori! Kita berhasil!” Aku melompat kecil sambil tertawa, tanganku mengibaskan suratnya ke atas. Nori yang melihatku kemudian berlari berputar, menggonggong senang.

Tawaku terhenti, aku menatap langit biru yang sudah kembali cerah, senyuman lebar tidak meninggalkan wajahku, memikirkan makhluk mistis yang kami temui. Dengan satu helaan nafas, aku menoleh ke arah Nori lagi. “Ayo, sekarang kita pulang sungguhan.” Ku ajaknya sambil mengangguk kecil. Anjing itu menggonggong sekali untuk menanggapiku, ekornya terkibas ke kanan-kiri. Ia berlari duluan, aku mengikuti di belakangnya. Selama perjalanan pulang, pikiranku penuh dengan misi singkat namun hangat yang aku dan Nori lakukan.

Ikuti tulisan menarik Annisa Nurul Fadhlillah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler