x

Gambar oleh icsilviu dari Pixabay

Iklan

Almanico Islamy Hasibuan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 22 November 2021

Sabtu, 25 Desember 2021 09:08 WIB

Semua Akan Baik-Baik Saja

Seorang abang dengan dua adiknya yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya. Dia yang telah menganggap dunia menelantarkan mereka bertiga, diberikan secercah harapan. Harapan yang mengubah hidup mereka bertiga.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

           “Bang, ibu!” Adikku datang dengan panik. Kami berlari ke arah ibu kami yang telah berbaring lemah dengan pisau di tangannya. “Ibuuu!!!!” Kedua adikku menangis, aku sebagai abang menahan semuanya. “Sepertinya ibumu memilih untuk mengakhiri hidupnya. Apakah ibumu bertingkah aneh belakangan ini?” Seorang detektif itu menanyakan hal-hal tersebut, namun aku hanya melihat ibuku yang sudah tidak bersama kami lagi. “Huh. Tidak berguna. Tidak ada gunanya kita bertanya kepada anak ini. Ayo kita coba tanyakan masyarakat sekitar sini.”, ujar si detektif. Mereka semua pergi. Kedua adikku ikut bersama pihak rumah sakit dan aku tinggal di rumah ini membereskan semuanya. “Apa yang harus kulakukan ibu?” Pada hari itu, aku tidak menangis sama sekali.

            “Ayo Budi, lebih cepat kerjanya!!” Aku mulai bekerja di restoran untuk membantu kedua adikku. Hanya kami bertigalah yang tersisa. Akhirnya aku mulai sering tidak masuk sekolah dan terpaksa berhenti. Penghasilanku tidak cukup untuk membiayai kami bertiga. Keluarga kami yang lain? Kedua orang tuaku kawin lari, jadi kami tidak tahu siapa keluarga kami selain mereka berdua. “Kerja bagus Budi. Ini gajimu hari ini.”, ujar bosku. Setelah ini aku punya shift di mini market. Sebelum itu, aku harus mengecek keadaan mereka berdua.

            “Hey! Kalian sudah makan malam?” Tika dan Yusuf datang dengan tangan mereka yang luka. “Ada apa?” Mereka takut untuk mengatakannya. “Maaf bang, kami memecahkan piringnya.”, ujar mereka berdua dengan raut wajah yang sedih. Aku menghela napas lega. “Tidak apa-apa. Tika, obati tangan Yusuf. Kotaknya ada di lemari.”, ujarku. Aku melihat mereka yang telah menyusun makan malam hari ini. “Kalian tidak perlu menunggu abang. Makan aja duluan.”, ujarku. Mereka mengangguk. “Kami ingin makan bersama abang.”, ujar mereka berdua. Oh iya, aku juga tidak pernah makan bersama seperti ini dengan orang tuaku. Ayahku selalu sibuk sebagai kuli bangunan. Ibuku menjadi pedagang sayur. Aku tidak tahu mengapa mereka bisa seperti itu. “Ayolah makan kalau begitu.”, ajakku. Mereka berdua melahap gulai tauco buatan Tika. Enak juga, padahal dia masih kelas 4 SD. Aku sudah memberikan beban kepadanya. Kepada pundak kecilnya. Jika aku membeli gulai ke warung, biayanya pasti akan lebih mahal. Tika juga bersedia memasak, jadi tidak masalah sih. Apanya yang tidak masalah? Apakah kau bodoh? Seumuran dia seharusnya bermain bersama temannya. Bukan memikul beban seperti ini. Abang macam apa aku ini. Aku harus bekerja lebih keras.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

            Kemudian aku menambah shift kerjaku. Aku semakin jarang menghabiskan waktu bersama kedua adikku. Aku kerja keras agar mereka berdua bisa bahagia. Aku tidak ingin seperti kedua orang tuaku. Namun, pemikiranku salah. “Budi, ada telepon kepadamu.”, ujar bosku. Aku membersihkan tanganku dan menerima teleponnya. “Iya, saya Budi.”, ujarku.

            Aku berlari secepat mungkin. “Apakah adikmu bernama Yusuf Achmad?” Mengapa? Bukannya aku seharusnya membuat mereka bahagia? “Adikmu sedang dilarikan ke rumah sakit. Dia tertabrak sepeda motor yang sedang ugal-ugalan di jalan.”, ujar seorang suster. Apa yang harus kulakukan?

            “Bagaimana keadaannya bu suster?” Aku membuka kamarnya dan menemukan Tika yang sedang menangis. “Bang Budi.”, ujarnya sambil berlari memelukku. Dia memelukku dengan kencang. “Maafkan aku bang. Aku meninggalkan Yusuf untuk membeli sayur. Dia ternyata mengikuti aku diam-diam.”, ujar Tika. Aku kembali memeluk Tika dengan erat. “Jadi, bagaimana keadaannya bu?” Ibu itu mencoba menenangkan Tika. “Keadaan adikmu sudah stabil. Mudah-mudahan dia cepat sadar.”, ujar bu suster. Bu suster meninggalkan kami bertiga. Tapi, bagaimana aku akan membayar biaya perawatan Yusuf? Mengapa semua ini terjadi kepada kami? Apa yang telah kami perbuat? Aku tidak tahu. “Bagaimana ini bang? Apakah Yusuf akan baik-baik saja? Ini semua salahku!” Aku tidak tahan semua ini. “Tika, maaf. Abang tidak tahu.”, ujarku. Tika akhirnya melihatku. Melihat abangnya menunjukkan kelemahannya. Aku menangis. Aku bahkan lupa bagaimana sensasinya menangis seperti ini. “Bang!” Dia memelukku. Aku juga memeluknya dengan erat. Tolonglah kami, siapa pun.

            Kami berdua tertidur di samping Yusuf. Aku melewatkan pekerjaanku, padahal kami sedang membutuhkan uang. “Saudara Yusuf.”, ujar seorang dokter. Aku dibangunkan olehnya. “Iya pak. Maaf.”, ujarku. Dia menahan pundakku dan membiarkanku kembali duduk. “Soal biaya perawatan Yusuf.”, ujarnya. Aduh bagaimana ini? Aku tidak punya uang untuk sekarang. “Maaf pak dokter, aku berjanji akan membayar 3, 5 bulan pak. Aku mohon pak, saya hanya pekerja sampingan. Kami bertiga ditinggal kedua orang tua kami. Kami hanya sendirian pak. Aku mohon!” Dokter dan susternya saling tatap-tatapan. “Saya juga ingin membicarakan hal itu. Sebenarnya biayanya sudah dibayarkan.”, ujar si dokter. Apa yang barusan dibilang dokter ini? “Apa pak? Siapa yang membayarnya?” Dokter itu menepuk pundakku. “Saya.”, ujarnya. Huh? Bukannya kau yang seharusnya dibayar? Mengapa kau membayar biaya kami? “Tapi, kenapa pak? Bukannya ini pertama kali kita bertemu?” Dia menunjukkan sebuah foto. Foto ayah dengan seorang remaja. “Itu adalah saya.”, ujar si dokter. Huh? Bukannya itu bapakku? “Maaf pak dokter. Pak dokter kenal dengan ayah saya?” Dia mengangguk. “Beliau menyelamatkan saya saat hampir ditimpa bahan bangunan. Beliau bahkan terluka akibatnya.”, ujarnya. Oh iya, ayah memang seorang kuli bangunan. “Ibumu juga sering memberikan sayur gratis kepada kami.”, ujarnya. Huh? Bukannya dokter seharusnya kaya? “Kau tahu, sebelum saya menjadi dokter, keluarga saya tinggal di rumah kecil di bawah jembatan. Ayahmu yang telah membuat bapak seperti ini.”, ujarnya. Apa maksudnya itu? Kau bercanda kan? “Apa yang dilakukan pria itu? Membuatmu menjadi sukses seperti ini? Bagaimana dengan keluarganya di rumah?! Bagaimana dengan anaknya?! Dia bahkan tidak bisa membuat yang berada di dekatnya bahagia! Tapi bisa membahagiakan orang lain! Jangan bercanda pak tua!” Aku memegang jubah pak dokter itu. “Jangan bercanda. Pikirkan anakmu ketika kau melompat waktu itu. Kami juga ingin makan bersama seperti keluarga lain.”, ujarku dengan tersedu-sedu. Tika kembali menangis. Bu suster mencoba menenangkannya. “Kau telah melewati waktu yang keras.”, ujar pak dokter. Pak dokter hanya mengatakan itu sambil mendengarkanku menangis.

            “Maaf pak.”, ujarku sambil menundukkan badan. Pak dokter itu tertawa. “Tidak apa-apa. Kita boleh menangis, hal itu bisa membuat kita menenangkan diri dan meredakan rasa sakit kita. Hal itu tidak boleh dipendam.”, ujar pak dokter. Aku tidak menyangka dia bisa membacaku seperti ini. “Aku hanya tidak ingin dilihat lemah oleh kedua adikku. Aku sebagai abangnya, tidak boleh terlihat lemah bagi mereka berdua.”, ujarku. Dia menepuk kepalaku. “Tentu saja, sebagai abang, kau harus melindungi adik-adikmu, tapi mereka juga tidak ingin abang mereka menderita sendirian.”, ujarnya. Tiba-tiba Tika dan Yusuf yang telah siuman datang. “Betul bang, kalau abang mau nangis, kami bisa membantu abang.”, ujar Tika. Yusuf mengangguk. “Bang, gantung gendut. Apa itu bang?” Huh? Tebak-tebakan? “Karung yang digantung?” Yusuf menggelengkan kepalanya. “Bukan bang. Jawabannya buah nangka.”, ujarnya. Huh? Apakah Yusuf berusaha menghiburku? Tapi, pfftttt, nangka. “Hahahahaha, iya juga ya.”, ujarku sambil tertawa terbahak-bahak. Aku bertekuk lutut, yang pertama-tama tertawa berubah menjadi tangisan. Aku kira dunia telah menelantarkan kami. Syukurlah, syukurlah.

            “Bang, aku berangkat kerja dulu ya.”, ujar Tika dengan baju susternya. “Kerja yang bagus ya. Nanti malam kita makan mie ayam pojok.”, ujarku. Dia senyum dan pergi berangkat. “Bagaimana perlengkapanmu Yusuf? Sudah siap?” Siapa yang menyangka, cedera di kaki yang dialami Yusuf menjadi sebuah kelebihan. Dia menjadi sangat jago bermain sepak bola. Hari ini dia debut di tim yang cukup terkenal. “Abang akan menontonnya di televisi.”, ujarku. Dia senyum dan memelukku. “Doakan aku bang nyetak hattrick!”, teriaknya. Aku senyum dan mengusap kepalanya. “Kudoakan pun dapat quattrick.”, ujarku. Dia senyum dan pergi berangkat. Aku melihat rumah kami, syukurlah kami bisa sampai seperti ini. “Kerja bagus nak.”, ujar seseorang. Huh? Siapa itu? “Itu baru anak ibu.”, ujar seseorang. Tidak mungkin, kau ada-ada saja Budi. “Baiklah, saatnya bekerja.” Kedua orang tuaku menatap kami bertiga dari kursi mereka berdua di rumah kami. Itulah yang aku bayangkan sebelum berangkat tadi. Walaupun semua hal yang terjadi, aku tetap menyayangi mereka. Sampai sekarang, aku harap mereka bisa bahagia di sana. “Aduh, aku tidak boleh terlambat!” Aku pergi dengan sepedaku.

Ikuti tulisan menarik Almanico Islamy Hasibuan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler