x

Iklan

Dhien Favian

Mahasiswa Sosial-Politik
Bergabung Sejak: 19 November 2021

Sabtu, 22 Januari 2022 20:49 WIB

Menerka Presidensialisasi Partai di Indonesia Menjelang Pemilu 2024


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sistem presidensial sebagai salah satu sistem pemerintahan yang ada di seluruh dunia telah diterapkan di berbagai negara – termasuk Indonesia – dengan berbagai latarbelakang dan karakterisitik yang beragam di masing-masing negara. Tidak hanya itu, penerapan sistem presidensial di seluruh dunia juga memnawarkan berbagai keuntungan yang didapatkan oleh masing-masing pemerintahan. Presidensialisme memberikan kewenangan sekaligus independensi yang besar bagi presiden untuk menjalankan pemerintahannya. Disamping itu sistem ini tetap mempertahankan aspirasi masyarakat yang diwakili oleh lembaga legislatif berupa parlemen nasional.

Tidak hanya itu, sistem ini juga memperkuat prinsip separation of powers yang digagas oleh Montesquieu. Sebab presiden hanya bertanggungjawab kepada rakyat selaku konstituen. Selain itu pemisahan yang setara antara eksekutif dan legislatif menjamin pelaksanaan pemerintahan secara otonom tanpa adanya tendensi “tirani mayoritas” terjadi dalam sistem tersebut. Jadi, sistem ini banyak dipilih oleh negara dunia ketiga untuk menjamin efektivitas tata kelola pemerintahan di negaranya.

Sistem presidensial menjadi salah satu sistem pemerintahan yang masih eksis di berbagai negara vis-à-vis dengan sistem parlementer yang banyak diterapkan negara Eropa. Sistem ini juga menjadi referensi bagi negara yang memiliki tujuan untuk membangun stabilitas politik terkait tata kelola pemerintahan. Itu sebabnya, sistem presidensial tetap memiliki kaitan erat dengan demokrasi dan sekaligus memiliki keunggulan maupun kelemahan dalam setiap pelaksanaan sistem tersebut.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sistem presidensial menurut definisi umum merujuk kepada eksistensi presiden sebagai pemegang lembaga eksekutif yang mengemban dua fungsi, yakni sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Presiden dalam sistem ini diposisikan sebagai figure sentral dalam pemerintahan, dikarenakan presiden tidak mendapatkan mandatnya dari parlemen sebagaimana sistem parlementer. Konstitusi negara juga menyatakan bahwa kedudukan presiden setara dengan parlemen. Hal tersebut membuat prinsip pembagian kekuasaan antara lembaga eksekutif dengan lembaga legislatif berjalan secara beriringan. Independensi yang diatur dalam prinsip tersebut membuat presiden dan parlemen tidak bisa langsung mengintervensi sepanjang pelaksanaan pemerintahan.

Namun demikian, meski presiden yang terpilih mampu membentuk kabinet dan menjalankan pemerintahannya bersama dengan parlemen, keberadaan presiden dalam mencapai posisinya sebagai pemegang kekuasaan eksekutif tidak bisa dilepaskan dari mekanisme pemilihan umum yang dibentuk oleh masing-masing negara, dimana pemilihan umum yang berkedudukan sebagai “pintu gerbang” demokrasi prosedural harus dijalankan untuk menyeleksi kandidat presiden yang mewakili aspirasi dari masyarakat. Selain itu, pemilu presiden juga harus diselenggarakan oleh lembaga yang independent dan kredibel di bidang kepemiluan untuk memastikan penyelenggaraannya berjalan secara transparan dan akuntabel serta mencegah penyalahgunaan wewenang oleh presiden sebelumnya dalam mengamankan posisinya. Pemilu presiden diselenggarakan oleh setiap negara penganut sistem presidensial dalam jangka waktu tertentu – seperti 4 tahun ataupun 5 tahun – dan pelaksanaan pemilu secara berkala tersebut juga menimbulkan konsekuensi bagi konfigurasi sistem hingga corak kepartaian suatu negara, sehingga penerapan sistem presidensial juga secara langsung mempengaruhi corak dan perilaku partai dalam mempersiapkan pemilu presiden di masing-masing negara.  

Corak tersebut dikenal sebagai presidensialisasi partai atau banyak dikenal sebagai presidential party, dimana corak tersebut menggambarkan sebuah partai yang mengalami perubahan orientasi dari kepentingan kolektivitas untuk mewakili aspirasi konstituen kearah kepentingan individu untuk memenangkan pemilu presiden. Kepentingan individu tertuju pada visi dan misi pendiri partai dalam membentuk satu partai, yang mana partai yang dicirikan dengan kepemimpinan personalistik yang kuat cenderung dimanfaatkan oleh pemimpinnya sebagai mesin politik untuk maju kedalam pemilu presiden dan sentralistik kepemimpinan juga dimaknai sebagai upaya mempertahankan partai dari ancaman internal sekaligus mengonsolidasikannya kadernya untuk mendukungnya dalam pemilu presiden, sehingga partai tersebut hanya terlihat gebrakannya menjelang pemilu presiden. Para ilmuwan politik seperti Kawamura (2010) dan Paul Webb (2005) telah banyak menggambarkan presidensialisasi partai sebagai konsekuensi dari sistem presidensial dimana presiden sebagai figur sentral dalam pemerintahan tentu membuat siapapun yang menguasai kursi kepresidenan akan mendapatkan kekuasaan eksekutif yang besar dan signfikansi presiden dalam sistem tersebut membuat partai politik harus menyesuaikan dirinya dengan corak kepemimpinan presiden dan struktur partai yang mengacu pada pemusatan partai pada pemimpin tunggal untuk mempermudah partai tersebut dalam berkompetisi dalam pemilu presiden, sehingga partai presidensialis kerap muncul dalam kontestasi elektoral untuk membawa kepentingan tersebut.

Paul Webb dan Thomas Poguntkke telah banyak mengkaji dinamika presidensialisasi pada berbagai negara, dimana kedua ilmuwan ini menyatakan bahwa presidensialisasi telah menjadi fenomena umum dalam politik disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu faktor komparatif dan faktor sistematik-historis. Faktor komparatif sendiri merujuk pada eksistensi AS sebagai negara maju yang menganut sistem presidensialisme, dimana sistem presidensial disatu sisi memberikan keuntungan besar terhadap kekuasaan kepemimpinan sebagai akibat dari penempatan presiden sebagai figur utamanya. Kepemimpinan presiden AS yang efektif dalam mengatur politik nasional hingga diplomasi luar negeri disatu sisi mampu menarik partai politik dari negara lain untuk menerapkan kepemimpinan eksekutif sebagai akibat dari efektivitas kepemimpinan tunggal dari presiden yang mampu mencegah fragmentasi internal, sehingga proses presidensialisasi oleh beberapa partai politik di luar AS kerap digunakan untuk mengefektifkan kepemimpinan partai politik sekaligus mendapatkan insentif elektoral dalam pemilu presiden maupun parlemen di negara yang bersangkutan.

Faktor kedua ialah faktor sistematik-historis, dimana presidensialisasi yang dilakukan oleh berbagai negara – termasuk yang menerapkan sistem parlementer – sebagian besar dilatarbelakangi oleh signifikansi sistematik dari sistem presidensial yang dapat diterapkan untuk kepentingan taktis partai politik serta perkembangan politik internasional yang semakin dinamis. Signifikansi yang dimaksud tertuju pada tiga hal, yaitu logika sumber daya kepemimpinan yang memberikan presiden kewenangan untuk mengerahkan sumberdaya dalam memimpin pemerintahan tanpa intervensi partai politik maupun parlemen, otonomi kepemimpinan yang memberikan independensi kepada presiden akan tekanan partai dan sekaligus memaksimalkan otonomi presiden dalam memimpin pemerintahan hingga mengamankan proses elektoral, dan personalisasi proses elektoral yang menandakan pemimpin mampu mengusung citra personalnya untuk menggerakan sumberdaya koalisi dan partai pendukungnya dalam menghadapi kontestasi elektoral, dimana ketiga hal tersebut menjadi keuntungan besar dari pelaksanaan sistem presidensial dan hal tersebut akan menguntungkan partai politik apabila menerapkan presidensialisasi karena efektivitas dari proses tersebut mampu menarik insentif elektoral yang besar kepada partai, sehingga banyak negara yang menggunakan proses tersebut untuk mendapatkan keuntungan tersebut sekaligus mengefektifkan kepemimpinan satu partai politik.

Di Indonesia sendiri, proses presidensialisasi juga menjadi hal yang tak terelakkan dalam politik nasional namun oleh karena sistem pemerintahan yang diterapkan di Indonesia sendiri sudah menganut sistem presidensial, maka proses presidensialisasi hanya tertuju pada kelembagaan partai untuk menghadapi kontestasi elektoral dan sekaligus memaksimalkan kepemimpinan partai dalam menjalankan pemerintahan ketika memenangkan pemilu. Kajian mengenai presidensialisasi partai di Indonesia sebagian besar dipelopori oleh Kawamura (2010), dimana ia melihat corak sistem kepartaian di Indonesia mengalami diferensiasi yang beragam dan keberagaman tersebut juga disatu sisi memberikan perbedaan yang jelas dalam desain insitusional setiap partai hingga kecondongan sebuah partai untuk menjadi partai presidensialis atau justru sebaliknya. Pasca runtuhnya era Orde Baru, proses presidensialisasi pada partai politik lebih banyak dijalankan dengan pelembagaan perilaku partai politik dengan bertumpu pada mobilisasi elektoral dan hal tersebut juga dibarengi dengan eksistensi figur kuat dalam partai yang mampu menggalang semua kadernya sekaligus bertindak diluar garis kebijakan partai untuk menunjuk dirinya sebagai calon presiden dalam kontestasi pemilu presiden.

Kasus tersebut terjadi pada Gerindra dan Demokrat pada beberapa tahun pasca terjadinya Reformasi, dimana kedua partai tersebut dibentuk oleh Prabowo dan SBY pada mulanya ditujukan untuk membentuk blok politik baru yang akan mengakomodasi kepentingan masyarakat kedalam politik nasional dan kedua partai tersebut pada awal pembentukannya juga gencar mempromosikan berbagai program yang akan mewakili asprias konstituennya. Namun demikian, seiring berjalannya waktu, kedua partai ini mengalami perubahan signifikan pasca Pemilu 2004 hingga seterusnya, dimana perubahan tersebut tertuju pada adanya kekuasaan pemimpin partai – terutama SBY dan Gerindra – dalam menggerakkan semua sumberdaya partai untuk kepentingan pencalonan dirinya sebagai capres dan pada Demokrat sendiri hal tersebut juga didukung oleh penunjukkan AHY sebagai “penerus tahta SBY”, sehingga kekuasaan ketua umum ataupun pendiri partai memiliki hal yang signifikan dalam menentukan arah partai.

Pada era transisi demokrasi Indonesia yang mulai mengalami perkembangan dinamis dalam sistem pemerintahan dan kepartaian, presidensialisasi menjadi fenomena umum dalam perpolitikan Indonesia yang mana kedudukan presiden sebagai kepala negara & pemerintahan tentu memiliki independensi dan privilege yang akan didapatkan oleh satu partai dan hal tersebut juga akan memberikan insentif elektoral sekaligus posisi strategis bagi partai tersebut sehingga pemimpin partai pun dapat menanggalkan mekanisme pembuatan keputusan partai secara institusional dan bergerak secara simultan untuk mempersiakan kontestasi tersebut. Disatu sisi, proses presidensialisasi satu partai seperti pernyataan Poguntke akan memperkuat kapabilitas kepemimpinan partai itu sendiri, dimana corak perilaku pemilih yang saat ini mengedepankan figur ketokohan akan menguntungkan partai presidensialis dalam mendapatkan perolehan suara dari konstituennya dan hal ini juga berarti bahwa efektivitas kepemimpinan partai presidensalis juga akan diperhitungkan dalam memaksimalkan pengerahan sumberdaya mereka untuk menarik pemilih, sehingga pergerakan mesin partai akan lebih efektif dalam menghadapai pemilu presiden sekaligus membangun soliditas kekuatan apabila dihadapkan dengan koalisi partai.

Menjelang Pemilu Serentak 2024 yang akan dilangsungkan dalam dua tahun kedepan, keberadaan berbagai partai baru disatu sisi memberikan angin segar bagi masyarakat Indonesia dikarenakan kehadiran mereka dapat menjadi alternatif bagi masyarakat yang sudah jenuh dengan partai status quo yang semakin menampakkan sisi oligarkisnya dan partai baru tersebut juga selayaknya menghadirkan ideologi dan gagasan yang konkret untuk menarik perhatian publik dalam mendukung partai tersebut. Selain itu, dengan ancaman parliamentary threshold untuk Pemilu 2024 yang berada pada kisaran 20%, maka semua partai baru tersebut juga memerlukan basis pemimpin yang kuat untuk mengonsolidasikan semua pendukungnya hingga level terbawah dalam menghadapi pemilu serta akumulasi kapital yang cukup kuat untuk mendanai semua program partai secara signfikan, sehingga tantangan partai baru akan semakin berat dalam menghadapi pemilu sekaligus bersaing dengan partai status quo. Kendati demikian, dikarenakan fokus dari semua partai baru di Indonesia – termasuk Partai Buruh, Partai Gelora, Partai Ummat, dan lain sebagainya – bertumpu pada strategi pemenangan dalam mendapatkan kursi di parlemen, maka proses presidensialisasi kepada partai baru masih belum bisa diidentifikasi lebih lanjut hingga selesainya Pemilu 2024 mendatang.

Seperti yang diketahui bahwa proses presidensialisasi dalam satu partai memerlukan proses konsolidasi dari tokoh kuat partai untuk menggunakan kuasa tunggal terhadap partai tersebut dan konsolidasi tersebut disatu sisi juga menerobos kaidah umum dalam partai, yang mana hal tersebut dapat membentuk partai presidensialis yang hanya difokuskan pada meloloskan capres yang diusung. Namun demikian, hingga saat ini, semua partai baru belum memiliki figure kuat yang benar-benar mampu untuk dicalonkan sebagai capres dan pemimpin partai baru yang terlihat berkharismatik seperti Said Iqbal dalam Partai Buruh atau partai lainnya juga belum bisa diperlihatkan pamornya dalam waktu dekat, sehingga proses presidensialisasi terhadap partai baru kemungkinan besar akan muncul apabila salah satu diantara mereka mampu mendapatkan perolehan suara yang signifikan dan hal tersebut juga perlu pembuktian secara empiris untuk melihat fenomena tersebut dalam 2024 mendatang.

Ikuti tulisan menarik Dhien Favian lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB