x

cover buku Etnis Tionghoa di Madura

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 26 Januari 2022 17:27 WIB

Etnis Tionghoa di Madura

Paparan proses terbentuknya interaksi sosial,simbol-simbol terjalinnya harmonisasi interaksi sosial, dan modal sosial dalam interaksi etnis tionghoa dengan etnis Madura di Sumenep.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Etnis Tionghoa di Madura

Penulis: Muhammad Ali Al Humaidy, dan kawan-kawan

Tahun Terbit: 2020

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Jakad Media Publishing

Tebal: xii + 182

ISBN: 978-623-7681-84-7

 

Tidak seperti kebanyakan buku tentang tionghoa lainnya, buku “Etnis Tionghoa di Madura” karya Mohammad Ali Al Humaidy dan kawan-kawan ini lebih menekankan kepada keserasian hubungan antara etnis Tionghoa dengan etnis lokal dimana mereka tinggal. Biasanya buku-buku tentang etnis tionghoa lebih banyak mengemukakan konflik daripada keserasian hubungan sosial. Dengan mengungkap keserasian hubungan sosial, maka kita bisa belajar faktor-faktor positif yang sangat berguna bagi pembangunan bangsa ke depan.

Buku ini merupakan pengembangan lebih lanjut dari disertasi  Muhammad Ali Al Humaidy saat penulis mendapatkan gelar doktor dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) di Universitas Muhammadiyah Malang. Tema tionghoa di Madura, khususnya di Sumenep adalah tema yang sangat jarang diteliti oleh para peneliti sosial. Dengan demikian menyajikan disertasi doctoral dalam bentuk buku, menyebabkan hasil penelitian bisa dinikmati oleh khalayak yang lebih luas.

Muhammad Ali memfokuskan penelitiannya pada tiga aspek interaksi sosial antara etnis tionghoa dengan etnis Madura. Ketiga aspek tersebut adalah: 1. proses terbentuknya interaksi sosial, 2. simbol-simbol terjalinnya harmonisasi interaksi sosial, dan 3. modal sosial dalam interaksi. Hasil penelitian terhadap tiga aspek ini dilakukan selama 2 tahun (hal. v). Selain mengumpulkan bahan-bahan tertulis - yang ternyata sangat terbatas, Muhammad Ali juga melengkapi penelitiannya dengan oral history dan wawancara dengan sumber utama, yaitu para etnis tionghoa yang ada di Madura, khususnya Sumenep. Di Kabupaten Sumenep ditemukan banyak wilayah pecinan.

Setelah memaparkan bahwa Sumenep adalah kawasan yang dihuni oleh berbagai etnis sejak jaman dulu, Muhammad Ali menjelaskan tentang kehadiran etnis tionghoa di wilayah ini. Orang tionghoa masuk ke Madura saat tentara Kublikhan dikalahkan oleh Raden Wijaya. Sebagian dari tentara Mongol ini dibawa oleh Arya Wiraraja ke Madura yang saat itu menjabat sebagai Adipati di Sumenep (hal. 82). Jadi etnis tionghoa suda masuk ke Sumenep pada tahun 1290. Kedatangan orang tionghoa ke Sumenep gelombang kedua adalah saat dakwah Sunan Ampel (hal 86). Gelombang ketiga terjadi pada tahun 1740, ketika terjadi Perang Cina-Jawa melawan Belanda. Gelombang keempat kedatangan orang tionghoa di Madura terjadi di masa kolonial. Berbeda dengan para perantau tionghoa di masa kolonial di Jawa yang umumnya berprofesi sebagai pedagang, etnis tionghoa yang bermigrasi ke Madura di jaman kolonial memilih berbagai profesi, misalnya menjadi guru di wilayah perkebunan atau pertambangan (hal. 83).

Kedatangan orang tionghoa di Sumenep disambut dengan baik. Salah satu yang menyambut baik adalah Sultan Abdurrahman. Itulah sebabnya di masa kepemimpinan Sultan Abdurrahman populasi orang tionghoa mencapai 3-4%. Sayang sekali pokok ini tidak dibahas lebih lanjut oleh Muhammad Ali dalam buku ini.

Selain membahas secara umum tentang kedatangan etnis tionghoa di Sumenep, Muhammad Ali juga memaparkan secara khusus etnis tionghoa di Desa Pasongsongan dan daerah Dungkek. Kedua wilayah yang banyak dihuni oleh etnis tionghoa sampai sekarang ini diperkirakan terbentuk sejak jaman dakwah Sunan Ampel (hal. 86). Di kedua wilayah ini, orang tionghoa pada umumnya sudah memeluk agama Islam.

Berdasarkan kepada cerita rakyat, Muhammad Ali menyebutkan beberapa tokoh perintis yang mengawali kedatngan orang tionghoa di Pasongsongan dan Dungkek. Diantara tokoh tersebut adalah King Pang King dan Biangseng. Namun sayang pembahasan kedua tokoh ini kurang mendalam. Misalnya King Pang King disebut sebagai menantu keluarga Kerajaan Sriwijaya. Sedangkan Bianseng adalah menantu dari Pang King. Bianseng disebutkan belajar agama Islam di Ampel. Informasi ini jelas sangat sulit untuk dijelaskan dalam kronologi sejarah. Sebab Kerajaan Sriwijaya berasal dari abad 7, sedangkan Ampel hidup di abad 15.

Tokoh lain yang diulas dalam buku ini adalah Lauw Oia Ngo). Lauw Pia Ngo adalah imigran yang berprofesi sebagai arsitek. Lauw diminta oleh Panembahan Sumolo (Raja Sumenep) untuk membangun Masjid Jami di kompleks Keraton Sumenep (hal. 96).

Perkembangan etnis tionghoa di kedua wilayah tersebut semakin tergambar melalui perdagangan di abad 16 dan 17. Para perantau tionghoa ini menjalin hubungan dengan pedagang setempat (hal 89). Karena hubungan yang dekat, maka orang-orang tionghoa ini pada akhirnya tidak hanya berdagang. Mereka banyak yang menetap, memilih masuk agama Islam dan menjalankan berbagai profesi. Pada saat ini ada orang tionghoa yang membuka bengkel seni, berprofesi sebagai dokter.

Hubungan yang harmonis antara etnis tionghoa dengan etnis Madura di Sumenep digambarkan oleh Muhammad Ali dalam berbagai bentuk. Pertama, kepedulian etnis tionghoa dalam mengembangkan kesenian dan membiayai pengembangan kesenian tersebut (hal. 89). Kedua sifat dokter tionghoa yang suka menolong orang Madura (hal 90). Ketiga – yang menurut saya sangat penting, adalah symbiosis pedagang tionghoa dengan masyarakat Madura (hal. 92). Orang tionghoa menjadikan orang Madura menjadi mitra kerja (hal. 93). Hubungan ini membuat terbentuknya hubungan sosial yang asosiatif. Meski demikian, karena orang tionghoa memiliki kemampuan berdagang yang lebih baik, ada juga kecemburuan orang Madura terhadap etnis tionghoa yang dominan dalam sektor perdagangan.

Selain dari sektor jasa dan perdagangan, Muhammad Ali juga menyajikan hubungan sosial dari sisi budaya. Muhammad Ali menyatakan bahwa telah terjadi akulturasi budaya. Orang-orang tionghoa di Madura menggunakan Bahasa Madura dalam berkomunikasi. Orang tionghoa juga ikut melaksanakan praktik budaya setempat seperti tradisi pelet kadung (hal. 95).

Keintiman interaksi sosial antara etnis tionghoa dengan etnis Madura di Sumenep dibuktikan dengan adanya simbol-simbul budaya sebagai hasil interaksi tersebut. Masjid Jami di Keraton Sumenep, Istana di Keraton Sumenep, bentuk bangunan labeng mesem adalah diantaranya.

Bukti lain bahwa orang Madura menerima kehadiran etnis tionghoa adalah adanya bangunan-bangunan seperti kelenteng dan gereja.

Muhammad Ali menjelaskan bahwa hubungan harmonis ini bisa terjadi karena adanya: 1. sikap saling terbuka (hal. 113), kejujuran (hal116) dan 3. peran pemerintah, tokoh agama dan FKUB sebagai benteng membangun kerukunan antar etnis (hal. 117). Ketiga modal sosial inilah yang harus terus dijaga supaya hubungan antara etnis tionghoa dan etnis Madura di Sumenep bisa terus berlangsung dan produktif. 650

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler