Gemar berbagi melalui ragam teks fiksi dan nonfiksi.

Film Biopik Franz: Simfoni Senyap Waktu dan Kenangan

3 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Franz Kafka
Iklan

Franz Kafka hidup kembali di layar.

***

Agnieszka Holland, sutradara Polandia peraih nominasi Oscar, menghadirkan biopik ambisius berjudul Franz yang diputar perdana di Toronto International Film Festival (TIFF) 2025. Film ini berfokus pada kehidupan penulis legendaris Franz Kafka, menelusuri pergulatan batin, relasi keluarga, dan atmosfer Eropa Tengah awal abad ke-20 dengan pendekatan visual yang modern dan surreal. Holland memilih menyandingkan memori, fantasi, dan realitas sehingga kisah hidup Kafka terasa hidup, mendesak, dan relevan di tengah era digital saat ini.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pemeran utama diisi Idan Weiss yang memerankan Kafka dewasa, dengan dukungan Jenovéfa Boková sebagai Milena Jesenská, Carol Schuler sebagai Felice Bauer, Sebastian Schwarz sebagai Max Brod, dan Katarina Stark sebagai Ottla. Sinematografi Tomasz Naumiuk mempertegas suasana Kafkaesque melalui pencahayaan dingin, bayangan panjang, serta lanskap kota Praha dan Berlin yang membawa nuansa keterasingan.

Setelah pemutaran perdana di Toronto, Films Boutique mengumumkan hak distribusi film ini telah terjual ke berbagai wilayah baru. Ini menandakan antusiasme global terhadap interpretasi segar atas tokoh sastra dunia tersebut.

Pendekatan Holland membuat biopik ini jauh dari format kronologis yang lazim. Alih-alih menjejalkan daftar peristiwa hidup Kafka, film menelusuri trauma masa kecil, konflik batin dengan ayahnya, serta cinta yang tak tuntas dengan Felice dan Milena.

Latar museum Kafka modern, percikan monolog yang terasa seperti email atau tweet, dan adegan metamorfosis menegaskan bahwa keresahan Kafka masih berbicara pada generasi kini. Strategi ini membuat film relevan bagi penonton muda, sekaligus menjaga kedalaman bagi penggemar sastra.

Keberhasilan penjualan internasional pasca-TIFF menandakan bahwa karya ini memiliki daya tarik lintas budaya. Penggemar arthouse menilai Franz bukan sekadar biografi, melainkan tafsir estetika atas “kebebasan” dan “alienasi” yang selama ini melekat pada sosok Kafka.

Para pengamat menyebut film ini menghidupkan nuansa surealis khas penulis The Metamorphosis. Di samping itu, sambil memberi ruang empati pada fragmen manusiawi: kerinduan akan pengakuan, rasa bersalah, dan pergulatan mencari makna.

Peran Franz Kafka di bidang sastra menunjukkan betapa besar pengaruhnya dalam membentuk wacana modernisme. Lahir di Praha pada 1883, Kafka menulis dalam bahasa Jerman, memotret absurditas birokrasi, keterasingan eksistensial, dan ketidakberdayaan individu menghadapi kekuasaan anonim. Novel The Trial (Der Prozess) dan The Castle (Das Schloss) memvisualkan labirin hukum dan struktur sosial yang tak terjangkau. Cerpen The Metamorphosis menjadi ikon alienasi manusia modern. Para peneliti sastra memandang gaya Kafkaesque sebagai kombinasi realisme presisi dan absurditas metafisik, membentuk atmosfir mencekam di mana logika tak selalu berlaku.

Pengaruh Kafka meluas hingga eksistensialisme (Albert Camus, Jean-Paul Sartre), posmodernisme, bahkan budaya populer. Tema keterasingan dan absurditasnya dianggap relevan di tengah era birokrasi digital dan algoritma yang kian dominan.

Dalam pendidikan sastra, karya Kafka kerap digunakan untuk mengkaji hubungan manusia dengan sistem, dilema moral, dan absurditas hidup. Diskursus kontemporer juga menilai Kafka sebagai simbol penulis minoritas yang bergulat dengan identitas: ia Yahudi, berbahasa Jerman di kota berbudaya Ceko, dan hidup di bawah imperium Austro-Hungaria. Kompleksitas identitas ini turut memengaruhi nuansa kegamangan yang meresapi seluruh karyanya.

Biopik Franz mencoba menangkap lapisan itu lewat adegan intim. Tatapan kosong, ruangan arsip yang dingin, percakapan sunyi dengan Max Brod. Simbol visual seperti pintu berulang tanpa akhir, catatan yang tercecer, dan jendela berbingkai besi.

Penonton diajak memasuki ruang batin Kafka alih-alih sekadar menonton kronologi hidupnya. Pendekatan ini sejalan dengan kajian sastra yang menekankan keterhubungan antara trauma pribadi dan narasi global tentang alienasi.

Kehadiran Franz menjadi momentum segar bagi pembaca sastra dan penonton film arthouse untuk kembali menafsirkan relevansi Kafka. Karya-karyanya menembus waktu, mengingatkan bahwa pertanyaan tentang identitas, sistem yang tak tersentuh, dan absurditas hidup belum juga usang. Holland memberi wadah visual untuk kecemasan yang selama ini hanya kita temukan di halaman buku, membuktikan bahwa sastra dan sinema dapat saling menguatkan dalam menyuarakan kejujuran eksistensial. ***

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler