x

Commuter menunggu di peron kereta pada suatu hari yang cerah (Sumber: Pixabay)

Iklan

Rizky Ramadhan Fuldya

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 25 November 2021

Rabu, 2 Februari 2022 15:09 WIB

Di Stasiun Kereta Api Aku Menunggu

Bahkan seribu kota yang telah kau lalui, aku akan tetap merasakan hadirnya dirimu dalam mimpiku yang terbuat dari imajinasiku tentang dirimu.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Esok hari kita ketemu di taman kotak itu, katanya

Sudah berjam-jam aku menunggu di taman kotak yang bersemayam ikan bercorak indah hari ini. Di selatan Jakarta aku menunggumu yang menjanjikan kita untuk melepas rindu di akhir bulan Januari ini. Selepas hari yang kita nantikan, saat kau menyatakan kita akan bertemu dengan rindu yang telah kita tempuh selama berbulan-bulan.

Nyatanya kau tak tampak, bahkan batang hidungmu sekalipun tak terlihat di penghujung pagar taman ini.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

engkau pergi entah kemana. sejak itu, aku tak pernah melihatmu lagi. Hari, bulan, dan tahun demi tahun berganti. Aku masih tetap menjaga di taman kotak ini. Tak tahu lagi berapa lama menunggu di sini. Mungkin aku hanya manusia yang angkuh menanti kedatangan seorang yang kuharapkan sampai saat ini.

Aku hanya mengerti apa arti menunggu yang kau maksud di taman kotak. Debu-debu kota yang hanya menemaniku selama aku duduk diam. Suara klakson api saat aku menuju taman itu tak terlupa, hingga petugas keamanan hafal raut waku yang selalu berjalan menuju ke sudut jalan menuju taman kotak.

"Mba, pasti mau ke taman itu lagi ya," sahut petugas kemanan itu.

Aku tak begitunya. Namun, dalam waktu yang lama aku membalas kalimat itu.

“Iya pak, entah tujuanku hanya ke taman itu,” sahutku.

“Masih menunggu yang harus kamu temui ya mba? Jangan sampai mba sakit karena rindu yang tak pasti,” sambungnya.

Aku mematung mendengar apa yang dikatakannya.

Aku hanya membalasnya dengan senyum yang terpahat seolah senang menunggu.

Mengharap lebih apa yang telah terbuka pada saya saat ini. Begitu cerahi seisi gang selatan kota yang penuh riuh manusia bergelut paksa menitih kehidupan mereka. Tetapi, aku begitu benci dengan kisahku ini yang hanya mematung diam di saat manusia lain bahagia. Menerka-nerka kapan kau akan datang dan mengapa kau menghilang dari kalimat terakhirmu.

Aku hanya mengingat wajahmu dengan gambar yang kulukis sendiri, sambil memandangi sekeliling untuk mencarimu. Tetiba waktu yang terus berputar menjelang sore hari memberi angan-angan yang telah terjawab.

"Selamat sakit," sahutnya.

Aku diam, memandangi wajahnya. Seperti orang yang kukenal dulu, tapi entahlah aku harus menjawab salamnya terlebih dahulu.

"Sakit," jawabku ketus.

Lama dia tegak mematung di depanku, angin di sore hari begitu nikmat untuk diresapi. Dengan baju khas berwarna hitam ia terdiam. tatapan terbelalak menoleh ke arahku, tanpa ada halangan memandangiku. Aku hanya mengira itu kau.

“Kamu kenapa selalu disini?” tanyanya

“Aku hanya menunggu orang yang dijanjikan rindunya padaku,” jawabku.

Tanganku dipaut olehnya, tanpa sebab ia mengajakku lari entah kemana tujuannya. Dengan lugu aku hanya mengikuti langkah kaki itu. Menyusuri sudut-sudut gang kota yang penuhi pedagang kaki lima yang bersiap untuk mencari pembeli pada malam hari.

“kau tau? Kota ini sangat beragam, kau hanya terdiam menunggu di taman kotak itu selama berapa lama waktu yang telah kau lewati,” ucapnya.

Aku, kalimat terucap bernada datar.

Ia tersenyum dengan langkah yang begitu cepat menarikku. Bersiul-siul seperti seorang yang sedang bahagia dalam hidupnya.

Langit sudah menggelapkan kota. Matahari menutup diri menuju ufuk barat. Angin malam datang menyergap badanku yang telah menanti-nantikan siang hari. semakin lambat langkahnya setelah berlari jauh. Aku dibawa ke penghujung stasiun kota yang begitu ramai dengan para pekerja yang sedang lelah, menghapus rasa letih menuju rumah untuk bertemu keluarga atau menyendiri di kamar kos yang begitu kecil. Sekiranya hanya 5x5 meter persegi.

Ia melihat sekeliling, sepertinya langkahnya terhenti disini. Aku tidak mengerti mengapa aku terbawa olehnya.

Bingung dibuatnya, suara kereta apa melolong buana ke setiap sudut. Hentakan kaki pejalan kaki menuju tangga penyeberangan terdengar begitu lembut. Tanpa sadar rasa yang khas datang kepadaku.

Wangi tubuhnya seolah aku tau sejak lama, tertiup angin malam yang menusuk kulit. Bintang-bintang berangkat menyinari keindahan malam. Apakah arti dari babilonia yang mengharapkan arti dari pertemuan bintang yang dipimpin oleh raja namrud memiliki arti dari pertemuan? Kurasa aku terlalu jatuh hingga membayangkan kaum babilonia yang berhala dengan caranya.

"Kau masih tetap saja sama," sahutnya.

Aku tak dapat berkata- kata a. Apa maksud yang telah dilontarkannya.

“Aku ini yang kau tunggu selama ini dan kau yang menunggu dengan kisah yang sama,” sambungnya

“Aku tetaplah aku,” jawabku dengan menahan rintih air mata dan suaraku yang sudah mulai serak dalam berbicara.

Kita berbicara sambil melanjutkan langkah. Menuju simpang jalan yang ramai karena adanya lampu lalu lintas yang membuat kendaraan terhenti selama beberapa menit. Ia memandangi langit malam yang bercengkrama dengan bintang-bintang. Entah berapa lama ia memandangi langit, hingga sampai di penghujung jalan yang menuju stasiun kereta.

"Kau masih saja tetap sama seperti dulu, tanpa adanya pesan, kau datang sendirinya," ucapku.

terkejut dengan lontaran kalimatku.

“Tapi kau hanya dirimu yang dulu,” sahutnya.

“Menunggu dengan rasa rindumu,” sambungnya.

“Kau terlihat kaget melihatku melakukan itu,” ucapku.

“Kau hanya rasaku yang dulu, bahkan sampai sekarang aku masih merasakan itu,” sambungku.

Rasa penantianku selama beberapa lama kujalani terjawab. Benci yang membatu hancur dengan hempasan air yang dikirimkan olehnya.

Tiba-tiba ia mengajakku pergi lagi.

“Mau kemana lagi?” bertanya

“ikuti saja langkahku”, perpustakaan.

Aku hanya sumringah melihat dirinya memiliki kabar yang lebih baik dariku. Sinar rembulan jalan kita untuk melangkah menuju tujuan dia. Hari, bulan, dan tahun berlalu, kerinduan yang tertanam dalam imajinasi.

“Sampai sini saja,” ucapnya.

Maksud dari kalimat itu menimbulkan berbagai pertanyaan dalam benakku.

“Apa yang kamu maksud sampai sini saja?” bertanya

Pelan-pelan napasku terengah-engah mendalami udara yang dingin di gerbang stasiun kereta.

“Malam ini aku harus pergi, entah berapa lama. Mungkin hanya sakit sampai malam ini aku bisa melihatmu lagi,” ucapnya.

Ia menunjukkan tiket menuju luar kota. Aku tak bisa berkata-kata.

“Kamu hanya membalas rinduku sewaktu-waktu untuk malam ini, selebihnya aku akan menunggumu lagi. Aku tak tau sampai kapan kau pergi,” ucapku.

“Maafkanlah diriku, aku tau derita yang kau hadapi. Tapi aku masih harus mencari kehidupanku yang kudambakan,” balasnya.

Mataku, pelankan air jatuh dalam riak mukaku. Ia pergi dengan batas waktu yang telah kutunggu selama bertahun-tahun.

Aku hanya melihat bayangan tubuhnya memasuki kereta api yang tak kutahu tujuannya. Apakah aku harus menunggu kisah rinduku lagi untuk bertemu denganmu? Bahkan seribu kota yang telah kau lalui, aku akan tetap merasakan hadirnya dirimu dalam mimpiku yang terbuat dari imajinasiku tentang dirimu.

Ikuti tulisan menarik Rizky Ramadhan Fuldya lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler