x

laptop

Iklan

Joshua Jolly SC

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 23 Februari 2022

Rabu, 23 Februari 2022 19:12 WIB

Mengakrabkan Diri dengan Bahasa Indonesia Akademik Bagi Mahasiswa


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Setiap mahasiswa tentu tidak asing dengan makalah, artikel, laporan, ulasan (review), bahkan skripsi. Itu adalah makanan sehari-hari mereka. Berhubung begitu pentingnya makanan tersebut bagi hajat hidup mahasiswa, sejumlah perguruan tinggi mengadakan kelas “Bahasa Indonesia Akademik” yang menjadi mata kuliah wajib bagi mahasiswa seluruh program studi. Mata kuliah yang identik dengan program studi bahasa dan sastra Indonesia ini wajib dikonsumsi oleh semua mahasiswa. Alasannya, makanan mereka menjadi lebih bermutu dan “bercita rasa akademik”.

Pentingnya mata kuliah ini justru berbanding terbalik dengan minat mahasiswa terhadapnya. Jangankan mahasiswa di luar program studi tersebut, mahasiswa di lingkungan fakultas atau program studi yang menggeluti bahasa, sastra, dan budaya Indonesia acap kali lalai dengan mata kuliah satu ini. Timbul sebuah kesan bahwa mata kuliah yang sarat dengan teori bejibun serta “kesempurnaan akademik” ini memberatkan mahasiswa. Apakah benar demikian?

Penulis berasal dari Fakultas Ilmu Budaya UGM dan senang mengakrabkan diri dengan bahasa Indonesia akademik. Buktinya adalah sejumlah makalah dan artikel berhasil penulis publikasikan dalam berbagai media, terutama jurnal dan seminar nasional atau internasional. Dalam kesempatan ini, penulis, sebagai mantan mahasiswa, ingin membagikan pengalaman sekaligus tips dan trik bagaimana mengakrabkan diri dengan bahasa Indonesia akademik bagi sesama seperjuangan (baca: kawan mahasiswa). Bahasa Indonesia akademik yang njelimet itu seharusnya mudah dan menyenangkan, sebagaimana matematika, kata orang.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pertanyaan pertama dan utama yang harus dijawab sebelum melangkah ke tahap berikutnya adalah “apa dan bagaimana bahasa Indonesia akademik itu?”. Bahasa Indonesia akademik, atau sering disebut “bahasa Indonesia untuk perguruan tinggi” adalah salah satu ragam bahasa Indonesia yang bersifat formal sehingga menekankan tata bahasa Indonesia yang baik sekaligus benar. Ada dua kata kunci di sini, yaitu baik dan benar. Bahasa Indonesia dinilai baik ketika mampu memenuhi rasa atau logika, sedangkan bahasa Indonesia dinilai benar ketika mampu memenuhi kaidah-kaidah kebahasaan.

Sering kali, mahasiswa terjebak dalam dua kata kunci tersebut. Mahasiswa merasa mereka telah menulis secara baik, tetapi belum tentu benar. Mereka pusing dengan kaidah kebahasaan yang dianggap ribet dan kaku. Padahal, kaidah kebahasaan yang benar berfungsi setara dengan rasa dan logika berbahasa yang baik. Terlebih, bahasa Indonesia akademik merupakan ragam bahasa formal yang menekankan praktik berbahasa yang terstruktur.

Setelah menjawab sekilas apa itu bahasa Indonesia akademik, sekarang penulis akan menjabarkan sekaligus memberikan tips dan trik memahami dan mempraktikkan bahasa Indonesia akademik. Dalam berbagai buku panduan bahasa Indonesia akademik yang tersebar luas, beberapa aspek kunci kebahasaan harus dipatuhi, yaitu ejaan, tanda baca, kata, kalimat, hingga paragraf. Kita akan bedah satu persatu lima aspek tersebut.

Aspek yang pertama adalah ejaan. Ejaan yang berlaku di Indonesia mengalami perkembangan, bahkan sebelum Indonesia merdeka. Kita mengenal ejaan a’la Belanda, yaitu ‘oe’ untuk u, ‘tj’ untuk c, ‘j’ untuk y, dan ‘dj’ untuk j. Ejaan tersebut memang tidak berlaku lagi. Akan tetapi, dalam beberapa kasus, terutama bagi mereka yang berkecimpung dalam bidang sejarah, ejaan ini menjadi penting untuk dipahami. Ejaan selanjutnya berkembang hingga pada 2015, Badan Bahasa meluncurkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI) yang menggantikan EyD (Ejaan yang Disempurnakan). PUEBI adalah “buku sakti” yang seharusnya akrab di kalangan mahasiswa, sebab di sanalah panduan praktis berbahasa Indonesia akademik berada. Terlebih, PUEBI telah dipublikasikan secara daring sehingga dapat diakses dengan lebih mudah dan cepat.

Selanjutnya adalah tanda baca. Banyak mahasiswa melakukan kesalahan pada aspek kedua ini. Mereka tidak dapat membedakan, kapan menggunakan tanda titik, tanda koma, tanda titik dua, tanda titik koma, dan sebagainya. Padahal, PUEBI telah menjabarkan penggunaan sejumlah tanda baca tersebut. Akan tetapi, sebagian besar mahasiswa masih beranggapan bahwa hal itu adalah hafalan belaka. Bagaimana cara mengakrabkan diri dengan tanda baca?

Penulis memiliki pengalaman bahwa tanda baca dapat akrab ketika sembari menulis, kita juga membaca. Ketika membaca, penulis akan sadar kapan kalimat akan berhenti sementara (diberi tanda koma atau titik koma) dan kapan akan berhenti tetap (diberi tanda titik atau titik dua). Setelah membiasakan diri berada di tahap itu, penulis melangkah lebih jauh.

Penulis membaca kembali PUEBI untuk melihat penggunaan tanda koma yang sering kali membingungkan, tetapi sesungguhnya dapat dinalar secara mudah. Misal, kata-kata seruan, seperti wah, aduh, dan ya, selalu diawali dan/atau diakhiri dengan tanda koma. Mengapa? Namanya saja kata seruan, sehingga ketika kita membacanya, ada penekanan khusus di sana. Penulis pun kembali ke prinsip berhenti sementara dan berhenti tetap di atas.

Dengan demikian, penulis makin terbiasa membedah kalimat dan paragraf dengan tanda baca yang tepat. Pada akhirnya, penggunaan tanda baca yang tepat tentu memudahkan pembaca menangkap makna kalimat atau paragraf yang disampaikan. Tafsir ganda pun dapat dihindari.

Cobalah perhatikan kalimat berikut ini.

“Dalam wawancara malam itu, Aminah menyebut dengan jelas siapa nama pelaku. “Ari, ya, Ari namanya. Saya ingat betul itu!” ungkapnya dengan sesenggukan. “Saya hanya bisa menahan amarah ketika ia menyangkal semuanya di pengadilan,” pungkasnya. Didampingi sang suami, Agus, Aminah tidak sanggup melanjutkan wawancara tersebut.”

Banyak tanda baca digunakan dalam beberapa potong kalimat  tersebut. Ketika membacanya, makna, bahkan emosi, kalimat dapat dirasakan oleh pembaca. Itulah pentingnya tanda baca.

Aspek ketiga adalah kata. Secara sederhana, ada dua kelas besar kata, yaitu kata dasar dan kata turunan (berimbuhan). Tanpa penulis jelaskan, pembaca dapat menebak apa perbedaannya. Mahasiswa sering kali mengalami kesalahan dalam penulisan kata berimbuhan. Salah satunya adalah perbedaan antara awalan di- dan kata depan di. Ini adalah dua hal yang bertolak belakang. Awalan di- digunakan untuk kata kerja, sedangkan kata depan di digunakan untuk kata keterangan tempat. Jika perbedaan ini terlihat masih membingungkan, perhatikan dua kalimat berikut ini.

“Andi mengunjungi sang ayah di penjara” dan “Andi dipenjara selama sembilan tahun”.

Penggunaan di pada kalimat pertama berfungsi sebagai kata depan sedangkan di pada kalimat kedua berfungsi sebagai awalan. Sepintas terlihat mirip dan tidak terdapat perbedaan yang berarti, tetapi jika bertukar fungsi, makna dua kalimat tersebut menjadi kabur. Kemiripan ini terlihat ketika kata penjara dapat tergolong dalam dua kata sekaligus, baik kata kerja maupun kata keterangan tempat.

Satu kesalahan lain yang juga kerap dilakukan mahasiswa berkaitan dengan kata turunan adalah gabungan kata. Kata “tanggung jawab”, misalnya. Tanggung jawab adalah gabungan dua kata yang memiliki satu makna. Sebagai kata dasar, kata ini ditulis terpisah. Namun, sebagai kata turunan, kata ini dapat ditulis terpisah atau menyatu. Jika gabungan kata hanya diikuti oleh awalan atau akhiran, kata ini tetap ditulis terpisah, seperti “bertanggung jawab”. Sebaliknya, jika gabungan kata ini diikuti oleh awalan sekaligus akhiran, kata ini ditulis menyatu, seperti “pertanggungjawaban”.

Selain itu, mahasiswa masih terjebak dengan kesalahan penggunaan kata baku. Dalam bahasa Indonesia akademik, kata baku menjadi penting. Untuk membedakannya, cara yang paling mudah adalah menghafalnya. Namun, jika tidak mampu menghafal begitu banyak kata baku, mari kita mengakrabkan diri dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Jika dahulu KBBI hadir dalam bentuk kamus besar, sesuai namanya, sekarang KBBI hadir secara daring melalui situs kbbi.kemdikbud.go.id atau aplikasi KBBI resmi dari Badan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dengan demikian, tidak ada lagi alasan untuk tidak akrab dengan kata baku.

“Praktik vs praktek, hafal vs hapal, makin vs semakin, aktifitas vs aktivitas”.

Sudah tahu, bukan, yang mana kata baku dan bukan kata baku? Yuk, akrabkan diri dengan kata baku agar saltik (typo) kalian tidak mengganggu!

Aspek keempat adalah kalimat. Kalimat adalah kumpulan kata yang mencerminkan satu makna dan sekurang-kurangnya terdiri dari subjek dan predikat. Akan tetapi, dalam beberapa kasus, kalimat juga tidak terdiri dari dua unsur tersebut. Bentuk kalimat secara sederhana terdiri atas kalimat tunggal dan kalimat majemuk. Nah, di sini mahasiswa masih keliru.

Mahasiswa acap kali menyusun sebuah kalimat majemuk yang panjang sehingga dapat mengaburkan makna. Solusinya adalah memecah kalimat majemuk tersebut menjadi beberapa kalimat tunggal. Sebaliknya, mahasiswa juga sering menyusun beberapa kalimat tunggal yang seharusnya dapat digabung menjadi satu kalimat majemuk. Dengan kata lain, kalimat harus disusun seefektif dan seefisien mungkin.

Perhatikan dua contoh berikut ini.

Contoh pertama:

“Pada 17 Agustus 1945, Sukarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dengan membacakan teks Proklamasi yang disusun oleh Sukarno, Hatta, dan Ahmad Subardjo di rumah Laksamana Tadashi Maeda pada 16 Agustus malam hingga 17 Agustus dini hari, diketik oleh Sayuti Melik, dan ditandatangani oleh kedua proklamator tersebut.”

Satu kalimat majemuk ini dapat dipecah menjadi beberapa kalimat tunggal.

“Pada 17 Agustus 1945, Sukarno dan Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dengan membacakan teks Proklamasi. Teks tersebut disusun oleh Sukarno, Mohammad Hatta, dan Ahmad Subardjo di rumah Laksamana Tadashi Maeda pada 16 Agustus malam hingga 17 Agustus dini hari. Selanjutnya, teks Proklamasi diketik oleh Sayuti Melik dan ditandatangani oleh kedua proklamator tersebut.”

Contoh kedua:

“Pada 19 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dalam sidang pertama menghasilkan tiga keputusan. Undang-Undang Dasar 1945 disahkan. Sukarno dan hatta diangkat sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dibentuk.”

Beberapa kalimat tunggal tersebut dapat digabung menjadi satu kalimat majemuk.

“Pada 19 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dalam sidang pertama menghasilkan tiga keputusan, yaitu mengesahkan Undang-Undang Dasar 1945, mengangkat Sukarno dan Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden, serta membentuk Komita Nasional Indonesia Pusat (KNIP).”

Aspek terakhir adalah paragraf. Paragraf adalah sekumpulan kalimat yang memiliki satu ide pokok atau gagasan utama. Ide pokok ini dapat terlihat di awal, tengah, atau akhir paragraf. Umumnya, ide pokok terdapat pada awal paragraf. Secara sederhana, ide pokok adalah kalimat utama yang dapat berdiri sendiri atau berdiri bersama kalimat penjelas.

Mahasiswa sering kali keliru menyusun paragraf karena tidak mencantumkan ide pokok atau gagasan utama dalam sebuah paragraf. Akibatnya, paragraf tersebut menjadi sumbang dan maknanya tidak jelas. Oleh sebab itu, salah satu cara untuk membangun paragraf yang baik adalah menetapkan ide pokok di awal lalu dikembangkan lebih lanjut, bukan sebaliknya. Penulis acap kali membaca kembali paragraf yang telah disusun untuk diperbaiki, entah diperingkas, diperpanjang, atau dipecah menjadi paragraf baru. Tujuannya adalah keseluruhan paragraf menjadi padu.

Masih banyak hal seputar bahasa Indonesia akademik yang belum penulis bahas di sini. Namun, lima aspek di atas, jika dikuasai dengan baik, dapat dikembangkan lebih lanjut sehingga pengetahuan dan keterampilan berbahasa mahasiswa makin mumpuni. Pada akhirnya, mengakrabkan diri dengan bahasa Indonesia akademik bukanlah sebuah momok bagi mahasiswa. Sebagaimana namanya, mengakrabkan diri hanya dapat dilakukan dengan membiasakan diri membaca dan menulis. Dengan dua kemampuan dasar itu, mahasiswa mampu membangun argumentasi dan analisis lebih tajam dan mendalam. Muaranya adalah mahasiswa mampu meracik sekaligus menuntaskan berbagai makanan yang menjadi hajat hidup mereka selama berstatus mahasiswa. Cita rasa akademik pastinya tidak kalah maknyus dengan cita rasa kuliner kebanyakan!

 

Referensi lebih lanjut:

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. (2016). KBBI Daring. https://kbbi.kemdikbud.go.id/.

Suyatno, Tri Pujiati, Didah Nurhamidah, dan Lutfi Syauki Faznur. (2017). Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi (Membangun Karakter Mahasiswa melalui Bahasa). Bogor: In Media.

Tim Pengembang Pedoman Bahasa Indonesia. (2016). Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Edisi Keempat. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

 

Penulis adalah Alumus Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada.

Ikuti tulisan menarik Joshua Jolly SC lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB