Judul: Peradaban Tionghoa Selayang Pandang
Penulis: Nio Joe Lan
Tahun Terbit: 2013
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Tebal: x + 364
ISBN: 978-979-91-0528-8
Sejak era reformasi, banyak orang-orang tionghoa di Indonesia yang kembali mencari akar budayanya. Setidaknya mereka tertarik untuk mengetahui seperti apa budaya nenek moyangnya. Perilaku ini terjadi karena mereka telah dijauhkan dari budayanya selama 32 tahun oleh Orde Baru.
Kita tahu bahwa saat Orde Baru berkuasa, orang-orang Tionghoa dilarang untuk menggunakan bahasa, tulisan, kesenian dan ritual agama di ranah publik. Orang-orang tionghoa juga dihimbau (baca: dipaksa) untuk berganti nama. Meski mereka dijauhkan dari budaya dengan alasan supaya orang-orang tionghoa ini bisa berasimilasi lebih cepat, tetapi pada saat yang sama identitas ketionghoaan mereka justru terus dipertahankan oleh negara melalui berbagai aturan. Salah satunya adalah alasan untuk memiliki Surat Bukti Kewarganegaraan Indonesia (SBKRI). Praktik-praktik diskriminasi bagi orang tionghoa untuk bersekolah dan memasuki karir pegawai negeri dan Angkatan bersenjata juga sangat kuat di masa Orde Baru.
Orang-orang tionghoa yang hidup di masa Orde Baru menjadi orang-orang yang kehilangan identitas. Sebab mereka ini sudah secara sistematis dijauhkan dari akar budayanya.
Ketika Orde Baru tumbang, berbagai hambatan untuk memeragakan budaya di ruang publik dikembalikan. Meski ruang publik sudah dikembalikan kepada orang-orang tionghoa, namun orang-orang tionghoa sudah terlanjur tidak memahami budaya nenek moyangnya.
Keterbukaan ini menyebabkan banyak orang-orang tionghoa kembali mempelajari budaya tionghoa sebelum dilarang di masa Orde Baru. Mereka membaca buku, menonton film dan berdiskusi dengan para ahli untuk menyerap kembali budaya yang telah dihilangkan tadi.
Sayangnya bahan untuk belajar tersebut belumlah banyak. Buku “Peradaban Tionghoa Selayang Pandang” karya Nio Joe Lan ini adalah salah satu buku yang sangat baik untuk memulai mempelajari kebudayaan orang tionghoa di Indonesia.
Buku ini bukan buku baru. Buku ini telah ada sebelum Orde Baru berkuasa. Artinya buku ini jelas tidak ditujukan untuk mengisi kehausan orang-orang tionghoa yang ingin tahu tentang budayanya setelah tumbangnya Orde Baru.
Meski tidak secara khusus ditulis untuk tujuan tersebut, tetapi buku ini tetap relevan dan bahkan bisa menjadi rujukan bagi mereka yang ingin mempelajari kebudayaan orang-orang tionghoa di Indonesia.
Buku yang pertama kali terbit tahun 1961 ini memuat berbagai topik tentang budaya orang tionghoa di Indonesia. Topik-topik penting yang dibahas di buku ini diantaranya adalah nama tionghoa, bahasa pergaulan orang tionghoa (dalam berbagai dialek), sebutan-sebutan dalam keluarga besar, religi dan hari raya, shio, nilai-nilai utama dan lain-lainnya. Buku ini juga membahas tentang kesenian dan kesastraan, termasuk karya-karya terjemahan. Buku ini bukan hanya memuat topik-topik yang sudah umum diperbincangkan. Namun juga memuat hal-hal yang jarang diketahui, bahkan oleh orang-orang tionghoa yang masih memegang budaya leluhur. Contohnya adalah topik tentang warna dan artinya, sukaria dan dukacita bagi orang tionghoa.
Meski judulnya adalah “Selayang Pandang,” namun buku ini memberikan informasi penting dan cukup rinci sebagai modal untuk mempelajari budaya orang tionghoa dengan lebih rinci. Tentang tata cara membuat nama tionghoa, misalnya. Buku ini memberikan panduan yang cukup rinci bagaimana menentukan urutan nama tengah dari generasi ke generasi. Demikian juga pembahasan tentang dewa-dewa orang tionghoa dan perannya dalam religi mereka.
Informasi tentang bagaimana memberi nama kepada anak, memanggil kerabat, mengetahui shio adalah pengetahuan yang bisa dipakai oleh orang-orang tionghoa yang tumbuh di masa Orde Baru untuk menekuni kembali budaya yang telah hilang tersebut. Pengetahuan ini membuat orang-orang tionghoa percaya diri untuk kembali menyandang kebudayaan mereka yang hampir hapus.
Semoga nama-nama dengan tiga suku kata akan kembali disandang oleh generasi yang lahir di masa reformasi. Jika nama-nama yang terdiri dari tiga suku kata tersebut kembali muncul, berarti keberanian orang-orang tionghoa untuk kembali menggunakan budayanya sudah mulai bersemi. 660
Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.