x

Berbudi

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 7 Maret 2022 16:33 WIB

Budaya Ngegas, Siapa yang Meneladani?

NGEGAS kini semakin membudaya. Tanpa dipelihara, malah terus tumbuh subur, menjamur. Dilontarkan oleh semua kalangan. Dari anak kecil hingga orang dewasa. Dari rakyat jelata hingga pemimpin Negara. He he. Yah. Ngegas, satu kosa kata bahasa gaul, kini semakin lazim beredar di dunia nyata dan maya. Ngegas=Nyinyir, murah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

NGEGAS kini semakin membudaya. Tanpa dipelihara, malah terus tumbuh subur, menjamur. Dilontarkan oleh semua kalangan. Dari anak kecil hingga orang dewasa. Dari rakyat jelata hingga pemimpin Negara. He he.

Yah. Ngegas, satu kosa kata bahasa gaul, kini semakin lazim beredar di dunia nyata dan maya.

Sejatinya, idiom ini berasal dari kata pedal gas kendaraan bermotor, yang difungsikan jika ingin memacu laju kecepatan. Seiring waktu, ngegas maknanya jadi bertambah, menggambarkan reaksi seseorang yang penuh emosi dan berbicara dengan nada tinggi, marah, akibat dari sesuatu peristiwa.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Nampaknya, ngegas pun menggeser penggunaan kata yang serupa makna seperti nyolot karena dipandang lebih modern atau kekinian. Padahal bentuknya sama saja.

Perilaku ngegas di dalam kehidupan sosial sehari-hari sangat mudah kita temukan. Apalagi dalam konteks politik. Baik di dunia nyata mau pun maya, kedua kubu di +62, kini pekerjaannya malah saling bercuit dengan ngegas.

Rakyat pun dengan telanjang mata, terus disuguhi siaran di televisi yang isinya adegan-adegan ngegas baik dalam siaran langsung mau pun tak langsung.

Di dunia maya, rakyat sangat mudah membaca ungkapan ngegas dalam perseteruan antara netizen, buzzer, dan lainnya di berbagai platform media sosial. Pun dalam kehidupan keseharian di sekitar lingkungan rumah dan kerja kita.

Mengapa ngegas?

Alasan mengapa orang-orang sampai melakukan perbuatan ngegas ada beberapa model. Namun yang lazim adalah ngegas sebagai bagian dari skenario atau manajemen konflik dalam sebuah pekerjaan, instansi, institusi, parlemen, hingga pemerintahan. Tetapi banyak juga yang ngegas karena gagal dalam kecerdasan intelegensi dan personaliti (mental-emosi) sehingga memang tak mampu mengendalikan diri. Tak mampu berbesar hati, sadar diri, tahu diri, rendah hati.

Ngegas bagi sebagian orang yang memang dasarnya tak cerdas intelegensi dan personaliti, maka karena tak mampu mengentrol diri, segala bentuk kekecewaan, masukan, kritikan, hingga sindirin, semuanya akan dianggap sebagai bentuk serangan, merendahkan, memojokkan, menyalahkan, dll. Maka, tanpa ada pemikiran, analisis, langsung tancap gas, bila hatinya merasa tersinggung, berbalik ngegas membela diri, tak terima, marah.

Kelompok orang-orang tersebut, saat ngegas, karena memang belum mampu atau tak mampu mengontrol dan mengendalikan diri, maka kata-kata atau ucapan yang ke luar, akan semakin membuka spidometer keilmuannya.

Banyak kejadian orang ngegas, justru kata-kata dan ucapan yang ke luar, malah membuka aib atau menunjukkan kebodohannya sendiri.

Terlebih dalam situasi politik seperti sekarang. Sangat banyak ditemukan cuitan di medsos yang justru mengesankan si pencuit memang tak cerdas intelegensi dan personaliti.

Berbeda dengan para pencuit yang memang cerdas intelegensi dan personaliti, kata-kata yang dicuit, bagian dari naskah atau skenario untuk memancing, memperkeruh, menggoreng suasana dll. Itu sangat mudah dibaca ke dalaman maksud, arah, dan sasarannya.

Keteladanan ngegas

Ngegas yang kini sering kita baca atau lihat, juga sangat kental dengan nuansa ingin mengatur atau mengubah orang lain, tak mau kalah dengan jalan pikiran orang lain, tanpa berpikir dulu, bagaimana mengubah dirinya sendiri. Menata diri sendiri. Ngegasnya, memaksakan kehendak kepada orang lain.

Lihatlah bagaimana orang-orang di parlemen dan pemerintahan ngegas. Membikin berbagai peraturan, kebijakan, mengatasnamakan rakyat padahal untuk kepentingannya mereka sendiri. Giliran dikritik, diprotes, di demo, mereka justru membela diri, ngegas tak menggubris rakyat.

Coba hitung, sudah berapa peraturan dan kebijakan, serta keiinginan mereka yang harus berjalan, dan rakyat terus jadi korban. Tapi ketika ada rakyat yang membicarakan dan mengkritik, responnya ngegas, marah.

Keteladanan ngegas terus tumbuh subur, hingga rakyat pun ikut-ikutan jadi terbiasa ngegas. Jadi, ngegas itu sekarang murah. Tidak harus punya kendaraan pribadi dulu (motor atau mobil). Ngegas cukup pakai mulut dan jari.

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB